Rasa itu ya rasa. Rasa yang tak bisa dihilangkan dengan cara merasa-rasa. Dirasakan saja sehingga memudar rasanya. Rasa itu menipis lalu menghilang. Kadang menjadi kebal karena terlalu terbiasa merasakan itu.
Kadang-kadang kepedihan terasa lebih baik dibanding mati rasa.
Kangen nulis. Days are passing by. Hari-hari ke depan yang masih menjadi misteri. Menanti kabar kelulusan anak-anak. Akan berada di mana sekolah mereka nanti. Dalam alur waktu yang terus berjalan. Berita yang dinanti menjadi kejutan sedih gembira, beberapa waktu kemudian akan jadi cerita untuk dikenang saja. The rest is history. Anak-anak akan membesar dan mendewasa. Lalu kita menua dan mati.
Hari-hari belakangan ini sedang menanti putriku akan bersekolah di mana, dan putraku akan berkuliah di mana. Berita kegagalan mungkin akan menjadi kekecewaan, tapi di masa depan kita akan mengenangnya sebagai salah satu episode hidup yang memang harus berjalan demikian. Saat satu pintu tertutup, pintu yang lain akan terbuka. Mengalirkan takdir kehidupan sesuai yang Dia kehendaki. And we’ll just go with the flow. Berjalan mengikuti kehendak-Nya.
Terkadang bingung dengan diri sendiri. Susah sekali lepas dari hawa nafsu dan syahwat. Selalu menuruti keinginan padahal tahu ada yang lebih baik dipilih daripada itu. Kebenaran-kebenaran sederhana yang diketahui tetapi tidak dikerjakan. Seperti: jangan buang-buang waktu. Kerjakan hal yang lebih berguna. Dunia tempat beramal. Tiap segala sesuatu ada hisabnya. Waktu adalah sesuatu yang amat berharga yang hilangnya tak mungkin kembali. Gunakan kesehatan sebaik-baiknya sebelum datangnya sakit. Padahal sudah tahu: Kerjakan yang kamu ketahui, niscaya Allah akan mengajari apa yang tidak kamu ketahui. Padahal tiap berbuat sesuatu selalu ada yang membisikkan: “I should’ve done better than this.” Tapi kenapa senangnya bersantai tanpa beramal. Kenapa tidak mementingkan apa kesukaan Allah. Duh Allah, maafkan kelalaian hamba, kebodohan hamba, ketidakpedulian hamba. Padahal banyak sekali nikmat yang Engkau curahkan padaku. Padahal suka berpikir, akan ada suatu masa di mana kesehatanku ga sebaik ini. Seharusnya aku banyak beribadah saat aku mampu. Tapi ini? Mengaji setengah jam, bermain games berjam-jam. Bersedekah seperak, memboroskan uang berlipat banyaknya. Padahal tahu, merugi orang yang hari ininya tidak lebih baik atau bahkan lebih buruk dari kemarin. Duh, Allah. Padahal tahu hari akhirat itu berat, perbanyaklah beramal. Tapi selalu tenggelam dalam kelalaian. Sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Padahal tak tahu kapan jatah hidup di dunia ini habis. Padahal tanda-tanda kematian sudah banyak datang. Rambut yang ubannya terus bertambah. Tulang yang linu. Sendi yang kaku. Penglihatan yang memburuk. Tapi tetap saja, tak membuat diri ini sadar dan bertaubat nasuha. Selalu mengentengkan dosa dan berangan muluk akan ampunan Allah. Bermaksiat terus-menerus padahal tahu Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Duh, bodoh sekali jadi makhluk rasanya. Padahal suka ada bisikan: Ayo berhenti bersantai, berusahalah, berjihadlah, hawa nafsu itu dilawan! Ayo belajar! Tanda orang bertaubat itu adalah mau belajar. Tapi tetap saja, tak ada yang berubah hari demi hari. Allah, tunjuki hamba yang bodoh dan lalai ini. Bantu ia menemukan shirath mustaqimnya.
Ada orang yang sepertinya sholeh, baik dalam pandangan manusia, tapi sesungguhnya dia jauh dari Allah. Tak punya apapun yang bisa diandalkan sebagai bekal di hari akhir nanti. Tak terhubung dengan Dia kecuali dengan ibadah-ibadah fisik saja yang entah diterima atau tidak. Ibadah hati entah tertinggal di mana. Sibuk dan lalai dengan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Padahal kain kafannya telah dirajut benang demi benang. Untuk menjadi pakaiannya entah kapan waktunya. Wahai diri yang lalai! Engkau dicipta itu untuk sesuatu! Bukan kebetulan bagai judi lemparan dadu. Bukan sebuah karya keisengan Dia Yang Maha Tinggi dan Sempurna. Engkau dicipta untuk sesuatu! Jangan pernah lupakan itu!