Terkadang bingung dengan diri sendiri. Susah sekali lepas dari hawa nafsu dan syahwat. Selalu menuruti keinginan padahal tahu ada yang lebih baik dipilih daripada itu. Kebenaran-kebenaran sederhana yang diketahui tetapi tidak dikerjakan. Seperti: jangan buang-buang waktu. Kerjakan hal yang lebih berguna. Dunia tempat beramal. Tiap segala sesuatu ada hisabnya. Waktu adalah sesuatu yang amat berharga yang hilangnya tak mungkin kembali. Gunakan kesehatan sebaik-baiknya sebelum datangnya sakit. Padahal sudah tahu: Kerjakan yang kamu ketahui, niscaya Allah akan mengajari apa yang tidak kamu ketahui. Padahal tiap berbuat sesuatu selalu ada yang membisikkan: “I should’ve done better than this.” Tapi kenapa senangnya bersantai tanpa beramal. Kenapa tidak mementingkan apa kesukaan Allah. Duh Allah, maafkan kelalaian hamba, kebodohan hamba, ketidakpedulian hamba. Padahal banyak sekali nikmat yang Engkau curahkan padaku. Padahal suka berpikir, akan ada suatu masa di mana kesehatanku ga sebaik ini. Seharusnya aku banyak beribadah saat aku mampu. Tapi ini? Mengaji setengah jam, bermain games berjam-jam. Bersedekah seperak, memboroskan uang berlipat banyaknya. Padahal tahu, merugi orang yang hari ininya tidak lebih baik atau bahkan lebih buruk dari kemarin. Duh, Allah. Padahal tahu hari akhirat itu berat, perbanyaklah beramal. Tapi selalu tenggelam dalam kelalaian. Sekali lagi. Dan lagi. Dan lagi. Padahal tak tahu kapan jatah hidup di dunia ini habis. Padahal tanda-tanda kematian sudah banyak datang. Rambut yang ubannya terus bertambah. Tulang yang linu. Sendi yang kaku. Penglihatan yang memburuk. Tapi tetap saja, tak membuat diri ini sadar dan bertaubat nasuha. Selalu mengentengkan dosa dan berangan muluk akan ampunan Allah. Bermaksiat terus-menerus padahal tahu Dia Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Duh, bodoh sekali jadi makhluk rasanya. Padahal suka ada bisikan: Ayo berhenti bersantai, berusahalah, berjihadlah, hawa nafsu itu dilawan! Ayo belajar! Tanda orang bertaubat itu adalah mau belajar. Tapi tetap saja, tak ada yang berubah hari demi hari. Allah, tunjuki hamba yang bodoh dan lalai ini. Bantu ia menemukan shirath mustaqimnya.
Ada orang yang sepertinya sholeh, baik dalam pandangan manusia, tapi sesungguhnya dia jauh dari Allah. Tak punya apapun yang bisa diandalkan sebagai bekal di hari akhir nanti. Tak terhubung dengan Dia kecuali dengan ibadah-ibadah fisik saja yang entah diterima atau tidak. Ibadah hati entah tertinggal di mana. Sibuk dan lalai dengan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Padahal kain kafannya telah dirajut benang demi benang. Untuk menjadi pakaiannya entah kapan waktunya. Wahai diri yang lalai! Engkau dicipta itu untuk sesuatu! Bukan kebetulan bagai judi lemparan dadu. Bukan sebuah karya keisengan Dia Yang Maha Tinggi dan Sempurna. Engkau dicipta untuk sesuatu! Jangan pernah lupakan itu!
I’ve come so far, but still questioning: “What’s in it for me?”
Dunia ini sungguh melalaikan. Ingin bersantai tapi suka kebablasan. Suka lupa bahwa Allah Maha Mendengar Maha Melihat. Maha Mengetahui Maha Adil. Maha Pengasih Penyayang tapi juga Maha Perkasa. Dunia ini permainan dan senda gurau tapi ya jangan kebanyakan main juga. Jangan lupa mengusahakan kebaikan dalam jatah usia yang diberikan. Ambil jeda bila jemu karena Allah tidak akan jemu hingga manusia yang merasa jemu. Kenapa ya seringkali hal-hal yang sudah diketahui baik masih terasa berat dikerjakan, dan dosa yang dilarang malah justru dikerjakan? Tinggalkan ghibah, membuang-buang waktu, mengurus apa yang bukan urusanmu, berlambat-lambat ibadah. Tapi tetap aja lalai. Sementara tahu ibadah A, B, C, D ganjarannya besar dan dicintai Allah, justru malas dikerjakan dan tak bergiat diri. Duh, diri… engkau hendak ke mana?
Waktu ibarat batu es. Dipakai atau tak dipakai ia akan habis meleleh juga. Jangan jadi orang merugi yang tidak cukup mengusahakan kebaikan selama hidup di dunia.
Pada suatu hari, Rasulullah saw sedang berkumpul dengan para sahabatnya. Di tengah para sahabatnya, tiba-tiba Rasulullah saw tertawa ringan sampai-sampai terlihat gigi depannya. ‘Umar bin Khaththab ra yang berada di situ, berkata, “Demi engkau, ayah dan ibuku sebagai tebusannya, apa yang membuatmu tertawa, wahai Rasulullah?”
Rasulullah saw menjawab, “Aku diberitahu bahwa pada Hari Kiamat nanti, ada dua orang yang duduk bersimpuh sambil menundukkan kepala mereka di hadapan Allah. Salah satunya mengadu kepada Allah sambil berkata, ‘Ya Rabb, ambilkan kebaikan dari orang ini untukku karena dulu ia pernah berbuat zalim kepadaku.’
Allah SWT berkata, ‘Bagaimana mungkin saudaramu ini bisa melakukan itu, karena tidak ada kebaikan di dalam dirinya?’
Orang itu berkata, ‘Ya Rabb, kalau begitu, biarlah dosa-dosaku dipikul olehnya.’”
Sampai di sini, mata Rasulullah saw berkaca-kaca. Beliau saw tidak mampu menahan tetesan air matanya. Beliau menangis. Lalu, beliau saw berkata, “Hari itu adalah hari yang begitu mencekam, di mana setiap manusia ingin agar ada orang lain yang memikul dosa-dosanya.”
Rasulullah saw melanjutkan kisahnya.
Lalu Allah SWT berkata kepada orang yang mengadu tadi, “Angkat kepalamu!” Orang itu mengangkat kepalanya, lalu dia berkata, “Ya Rabb, aku melihat di depanku ada tempat yang terbuat dari emas dan istana-istana yang terbuat dari emas dan perak bertatahkan intan permata. Istana-istana itu untuk Nabi yang mana, ya Rabb? Untuk orang jujur yang mana, ya Rabb? Untuk syahid yang mana, ya Rabb?”
Allah berkata, “Istana-istana itu diberikan kepada orang yang mampu membayar harganya.”
Orang itu berkata, “Siapakah yang bakal mampu membayar harganya, ya Rabb?”
Allah berkata, “Engkau mampu membayar harganya.”
Orang itu terheran-heran, sambil berkata, “Dengan cara apa aku membayarnya, ya Rabb?”
Allah berkata, “Caranya engkau maafkan saudaramu yang duduk di sebelahmu, yang kau adukan kezalimannya kepada-Ku.”
Orang itu berkata, “Ya Rabb, kini aku memaafkannya.”
Allah berkata, “Kalau begitu, ambil tangan saudaramu itu, dan ajak ia masuk surga bersamamu.”
Setelah menceritakan kisah itu, Rasulullah saw berkata, “Bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya kalian saling berdamai, sesungguhnya Allah mendamaikan persoalan yang terjadi di antara kaum muslimin.”
Kisah di atas terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim, dengan sanad yang shahih.
Pekerjaan hati yang nilainya tinggi di hadapan Allah adalah meminta maaf, memberi maaf, dan saling memaafkan.