Hari ini, 18 September 2007, adalah ulang tahun Aslam yang ke-2. Kalo dalam pertanggalan Qomariyah, ulang tahun Aslam tepat betul dengan Nishfu Sya’ban (15 Sya’ban 1426 H).
Tidak ada perayaan meriah. Hanya pembacaan doa sederhana selepas tarawih. Nampaknya dia juga belum mengerti betul apa artinya ulang tahun.
Selamat ulang tahun ya Nak. Doa ayah bunda senantiasa menyertaimu…
Archive for ◊ 2007 ◊
Seingatku hari itu Selasa, 7 September 1999. Aku baru hendak masuk ke kelas Bahasa Indonesia yang akan dimulai pukul 2, ketika ia menyodorkan sebuah surat bersampul coklat kepadaku. ‘Buat Sahabatku Nurul Halida’.
‘Apa ini?’ tanyaku.
‘Baca aja sendiri’
Aku lantas bergegas ke Gedung B, di mana kelasku berada. Setelah mendapat tempat duduk di belakang di kelas besar itu, dengan rasa tak sabar yang meluap-luap aku segera merobek sampul surat itu dan membaca isinya. Dan ternyata dugaanku tak meleset! Meski tak ingin merasa GR duluan, tapi aku punya feeling akan ke arah sanalah isi surat ini menuju.
…
Setelah merenung sekian lama, aku berkesimpulan bahwa aku harus menyegerakan pernikahan. Semakin lama aku menundanya, semakin besar peluangku untuk jatuh dalam kemaksiatan. Aku ingin menjaga kehormatan diriku melalui pernikahan.
Akhirnya aku sadar hal itu perlu persiapan yang matang. Banyak hal yang harus dilakukan sebelumnya. Dan aku juga sadar, untuk beberapa hal aku belum punya persiapan. Namun, aku yakin, jika apa-apa yang kulakukan demi mencapai keridhoan Allah, pasti Allah akan membantu.
Dan semenjak aku mengenal Nurul, ada perasaan mungkin Nurul adalah orang yang tepat bagiku. Nurul dalam pandanganku adalah seorang wanita yang selalu berusaha menjaga kehormatan diri, seseorang yang berusaha mematuhi perintah Tuhannya. Seorang wanita yang mau meluangkan waktu untuk memahami Islam dengan lebih baik, dan menjadikan dakwah sebagai salah satu tugas utama.
…
Aku ingin memilih Nurul untuk menjadi pendidik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin menjadikan Nurul sebagai tempatku berkeluh kesah saat ditimpa kesulitan, menjadi penasehat kala aku kebingungan, menjadi penghiburku ketika bersedih, memberiku semangat ketika motivasi untuk melakukan sesuatu tak kunjung datang, dan menjadi penyejuk pandangan ketika hati ini gundah gulana.
Mungkin angan-anganku tentang sebuah keluarga terlalu berlebihan. Tapi yang pasti, setiap orang berhak punya cita-cita. Dan tak ada yang mustahil jika kita mau berusaha. Semoga Allah memberiku surga di dunia berupa keluarga yang sakinah.
…
Aku tak tahu pasti apakah aku tergesa-gesa ingin menikah ataukah ingin menyegerakannya. Mudah-mudahan aku termasuk orang yang ingin menyegerakan.
Jika Nurul yakin dan memberiku kepercayaan, insya Allah aku akan menjaga amanah yang diberikan kepadaku. Jika Nurul tidak cukup yakin dan masih ragu-ragu, mungkin kita bisa berta’aruf untuk lebih mengenal. Dan jika Nurul menolak, mungkin kita bisa menjadi sahabat yang baik dengan saling nasihat menasihati. Apapun jawaban Nurul, aku akan berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada.
Seandainya Nurul menerima ajakanku ini, kita bisa segera mempersiapkan diri sejak awal menuju pernikahan. Mungkin akan memakan waktu yang lama. Tapi yakinlah, persiapan yang matang jauh lebih baik daripada ketergesa-gesaan.
…
Begitulah penggalan surat 5 lembar yang sontak membuatku bingung itu. Reaksi spontanku waktu itu adalah kaget dan terharu berkaca-kaca. "Waduh gimana nih caranya bilang ke ortu. Baru 18 udah ada yang ngajakin nikah". Akhirnya surat itu kuberitahu ibuku seminggu setelahnya. Ibuku pun kaget seolah tak percaya sambil setengah meledek anaknya yang masih bau kencur ini.
Tapi proses selanjutnya tidak semulus yang orang kira. Begitu banyak pergolakan batin dan pikiran yang berkecamuk dalam diriku. Yang terutama adalah perbedaan pola pikir (fikroh) antara kami. Aku yang sebenarnya amat pemalu kepada lawan jenis ini, sampai nekat mengorek-ngorek informasi dari orang-orang yang kunilai cukup dekat dengan si dia ini. Mulai dari teman satu asrama, sampai kakak kelas yang sering jadi teman diskusinya. Saking seriusnya, pake surat-suratan segala lagi dengan sang nara sumber.
Karena begitu banyak keragu-raguan, hubungan kami jadi sempat tarik ulur antara iya dan tidak. Sampai akhirnya dia memberi ultimatum tanggal 13 Mei 2000. Kalau aku menjawab tidak, maka dia akan memulai proses dengan seseorang yang lain demi mencapai niat tulusnya untuk menyegerakan pernikahan.
Alhamdulillah, saat itu aku menjawab iya. Dan kusadari kini bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat sepanjang hidupku. He’s the best thing ever happenned to me.
Ternyata segala kecemasan, kekhawatiran dan ketakutanku dulu sama sekali tak terbukti. Malah kalau aku flash back lagi sekarang, aku merasa konyol dengan segala paranoia ku yang berlebihan dulu.
He’s everything I can hope for and more…
Ini nih perdebatan yang kagak ada matinye. Minggu lalu aku nonton ini di Oprah. Can women have it all?
Dalam polling di Oprah.com ada 15.000 ibu bekerja dan IRT ikut berpartisipasi. Hasilnya : Dua pertiga ibu bekerja sebenarnya ingin tinggal di rumah seandainya keadaan memungkinkan. Lebih dari 90% working women ini mengatakan alasan mereka bekerja karena financial reasons.
Sebaliknya, sepertiga stay-at-home moms wished they worked outside the home.
Yang didedel kali ini adalah kisahnya Elizabeth Vargas, yang stepping down dari posisinya sebagai anchor dalam World News Tonight di ABC News. Padahal posisi bergengsi yang jadi incaran semua orang itu diraihnya dengan merintis karir selama 20 tahun. Keputusan ini diambil setelah dipikirkan masak-masak sejak kehamilan anak keduanya (anak pertama sudah berusia 4 tahun).
Biarpun nongol di TV cuma sebentar tapi ternyata there’s a lot of efforts di baliknya. Ngantor jam 08.00 am- 08.00 pm untuk nyiapin berita adalah sesuatu yang mutlak dan ga bisa ditawar-tawar lagi.
Sekarang dia megang acara mingguan 20/20 di ABC yang jam kerjanya lebih fleksibel.
Again, can women have it all? Kalo kata Mpok Oprah sih bisa, but not at the same time. Meanwhile kalo kata sejawatnya Dr. Robin, untuk bisa dapetin kedua-duanya mah cuma ilusi. Ya tentu donk, dalam hidup ini kan semua harus ada trade off-nya. Mau ga mau, bagi ibu yang bekerja akan kehilangan beberapa moment berharga dalam perkembangan anaknya. Sementara untuk IRT, mungkin ada aspek self-development yang harus dikesampingkan dulu demi mendahulukan anak.
Kalo kata DR. Robin sih, masalah yang begini ini ga bisa dipukul rata dan dilihat secara hitam putih. Pada dasarnya kan, semua ibu ingin yang terbaik untuk anak-anak dan keluarganya. Biarpun si ibu bekerja, yang penting kan mereka tetap attuned alias connected dengan anak-anaknya. ‘Stay connect’ itu kata yang menjadi kunci.
Ada juga pengakuan ibu-ibu yang menyesali pilihan hidupnya yang lalu. Yang bekerja menyesal karena kehilangan banyak momen berharga bersama anaknya (seperti melihat anaknya berjalan ato berbicara untuk pertama kali). Dia merasa tidak menjadi ibu yang baik dan menganjurkan anak gadisnya untuk di rumah saja setelah menikah. Yang ternyata saran ini ditolak mentah-mentah oleh anaknya yang merasa dia ga pernah merasa kekurangan cinta meski si ibu bekerja. Yang di rumah saja juga menyesal karena meskipun anak-anaknya menganggap dia super mom, tapi dia pribadi merasa kepentingannya selalu harus dikorbankan demi suami dan anak-anak.
Kalo menurut gw sih emang semuanya tergantung pribadi si ibu masing-masing, mana yang cocok untuk diri dia pribadi dan keluarganya. Kondisi orang kan beda-beda. Kalo gaji suami ga mencukupi untuk hidup layak sesuai standar yang diinginkan, ya mau ga mau si istri ikut kerja juga. Kalo suaminya sudah mencukupi tapi si istri tipe yang jutek dan sumpek kalo di rumah mulu dan bawaannya pingin ngomel terus ke anak-anak, ya mungkin sebaiknya dia mending kerja aja meski secara finansial sebenernya udah berlebih. Iya toh, daripada di rumah tapi anak jadi korban kekesalan doank karena si ibu menyimpan slow-burn anger dalam dirinya.
Kalo si ibu kerja tapi pikirannya di rumah mulu inget anak, ya mungkin lebih baik memilih di rumah aja biar punya banyak waktu bersama dengan anak.
As for me, alhamdulillah suami udah bisa mencukupi. Biarpun aku ga kerja, yang penting kan bisa hidup seadanya. Mo shopping ada (uangnya), mo nyalon ada, mo rekreasi ada. Mo arisan ada. Hehe… enak banget ya??! (Boonk denk,belum semakmur ini kok, yang belanja ga pake mikir karena udah kebanyakan duit). *Kami masih penganut setia tight money policy kok*
Besides, mau kerja ga dibolehin sama anak (baca: Alfath). Mungkin dia seperti diriku dulu, yang nyaman mendapati ibunya ada di rumah sepulang sekolah.
So. ibu-ibu sekaliyan, apa pilihan hidup anda masing-masing?
Apapun itu, nikmatilah dan jangan pernah menyesalinya!
Anakku yang rambutnya lain sendiri ya si Aslam. Rambutnya halus dan agak berombak. Rambut kriwil, begitu kami menyebutnya. Setelah digundul barengan Halim waktu Aqiqah kira-kira 5 bulan lalu, rambutnya udah mulai gondrong dan ga rapi.
Senin lalu (3/9) aku bawa ke tukang cukur. Tapi entah lantaran kepagian (jam 08.30) sehingga masih tutup, atau karena memang kebetulan sedang tutup, kami akhirnya pulang lagi. Di rumah aku iseng ga ngapa2in karena komputer lagi ngadat, akhirnya terpikir untuk botakin sendiri pas Aslam lagi bobo pagi (dia bobo siang 2x sehari: jam 9 an dan jam 2 an). Jadilah aku alih profesi sebagai tukang cukur. Kurang lebih 1 jam aku bergerilya pelan-pelan dengan silet cukur supaya dia ga terbangun, akhirnya alhamdulillah misiku sukses juga. Kepala anakku langsung botak plontos.
Kayaknya tanganku masih gatel juga untuk cari mangsa lain. Mengingat dulu Aslam Halim botaknya barengan, maka sekarang pun pingin kubotakin juga sekalian.
Jam 1 siang gantian Halim kubotakin sambil tidur dalam gendongan mbaknya. Alhamdulillah kali ini lebih cepat, 45 menit beres.
Hasilnya: luweechu buanget. Halim langsung menjelma jadi Bo Bo Ho. Andaikan bisa kupajang di sini… Sayang kameranya lagi dibawa ayahnya.
Aku banyak membaca blog yang dibuat oleh para mommy dedicated to their beloved children. Untuk melihat, mencatat dan mencermati pertumbuhan dan perkembangan Sang Buah Hati. Untuk mencatat every milestone yang dilalui putera puteri mereka hari demi hari. Rasanya bahagiaaa sekali menjadi seorang ibu. Children are their centre of universe.
Melihat senyum dan mendengar tawa renyah anak-anak memang bagai heaven on earth bagi seorang ibu.
Setelah melongok sejenak ke kehidupan orang lain melalui jendela blog, aku jadi seolah dipahamkan bahwa banyak sekali yang harus kusyukuri dalam hidup ini.
Meski kadang jenuh berada di rumah saja, tapi aku pun mungkin akan banyak mengeluh juga jika seharian harus berada di luar, jauh dari anak-anak.
Ketika akan memejamkan mata malam tadi aku menangis. Terharu memandangi wajah polos anak-anakku yang pulas di sampingku. Teringat betapa mereka adalah the most precious things in my whole life.
Jika seorang ibu bisa begitu bahagia dengan kehadiran seorang anak, maka tidakkah seharusnya aku jauh lebih bahagia dengan 3 buah hati yang dihadirkan-Nya untukku?
I should triple the happiness…
*dedicatedforAlfath,Aslam,Halim,theloveofmylife*