Archive for ◊ 2007 ◊

25 Jun 2007 Life Seeking 3
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Thursday, March 16, 2006, 23.25

Yang paling menyakitkan dalam hidup ini adalah, kehilangan makna tentang arti hidup itu sendiri. Motivasi timbul ketika kita tahu kemana harus menuju.

Mensyukuri hidup adalah mensyukuri adanya kita di sini dan saat ini. Menghargai setiap momen dalam detil kehidupan kita, dan menikmati dengan syukur setiap helaan dan hembusan nafas.

Sungguh, itu semua adalah anugrah. Dia menciptakan kita untuk suatu alasan di sini, didasari dengan Ilmunya yang Haqq. Bukan dengan kebathilan.

18 Jun 2007 Syalom in The Home
 |  Category: Oprah Show  | Leave a Comment

Monday, June 18, 2007, 13.15

Ini tajuk sebuah reality show di AS yang dibahas di Oprah. Acara ini dipandu oleh Rabi Schmuley (kalo aku ga salah eja), seorang rabi dengan 8 orang anak. Pakem acara ini adalah sang rabi selaku host, masuk dan mengintervensi langsung ke dalam sebuah rumah tangga Amerika untuk memberi solusi permasalahan yang tengah dihadapi keluarga itu.  Ada beberapa pelajaran dan kata-katanya yang kuingat karena sangat berkesan.

Kasih sayang orang tua itu punya dua tangan. Tangan kanan adalah unconditional love. Cinta tanpa syarat. Love their kids for the reason of being, not for the reason of doing. Mencintai anak bukan karena apa-apa yang mereka lakukan, melainkan mencintai mereka karena mereka ada dan hadir memang untuk dicintai.

Tangan kiri adalah yang bertugas mendisiplinkan, set boundaries for the kids. Memberi batasan dan limit untuk anak-anak. Yang harus dicamkan adalah, mencintai dan menyayangi anak bukan berarti memberikan apapun yang mereka minta. Over indulging can only spoilling the kids.

Orang tua yang kelewat sibuk bekerja di luar rumah, kerapkali merasa bersalah karena merasa tidak punya cukup waktu untuk anak-anak dan kemudian mengkompensasinya dengan memberikan apapun yang anak minta. Instead of giving themselves, mencurahkan dirinya untuk keluarga, parents tend to giving things to replace their absence. Efek lebih jauhnya, tindakan orangtua demikian yang menumbuhsuburkan budaya konsumerisme dan materialisme di generasi setelah mereka. Karena anak-anak lantas belajar mengisi kekosongan diri dengan barang.

Para ayah juga harus mendefinisikan ulang kesuksesan. Kesuksesan bukanlah semata pencapaian prestasi di luar rumah, melainkan juga kesuksesan dalam rumah tangga.     

18 Jun 2007 Master of Ceremony
 |  Category: My Kids  | 3 Comments

Monday, June 18, 2007, 01.34 (revised 11.20)

“Teman-teman dan para hadirin yang saya hormati, setelah kita dengarkan bacaan doa-doa harian yang dibaca oleh adik-adik Play Group, marilah kita saksikan Tari Sarapan Pagi yang dipersembahkan oleh anak-anak Kelompok A, dilanjutkan dengan pidato Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, yang ditampilkan oleh E*** dan A*****. Tepuk tangan para hadirin…”

That’s what I suppose to hear dari mulut anakku kemarin pagi di acara pelepasan siswa PG-TK tempatnya menuntut ilmu.

Semua anak dapat kesempatan tampil setidaknya sekali. Ada yang ikut pembacaan doa, marching band, menari, pidato, fashion show dan MC. Anaku kebagian yang disebut terakhir. Ia sudah giat berlatih menghafal di rumah sejak 2 minggu yang lalu.

Sudah sangat hapal sekali. Tapi anehnya, I have a bad hunch akan ada ‘sesuatu’ terjadi berkenaan penampilannya. Yang mulanya terpikir sih ia akan grogi dan kelupaan teks. 

Sebelum tiba gilirannya, ia berlarian kesana-kemari dan bercanda khas lelaki yang agak kasar. Hingga akhirnya terjatuh, menangis dan mengantuk. Acaranya juga ternyata berlangsung agak lama dan giliran Alfath ada di tengah-tengah.

Ternyata benarlah, mungkin karena agak mengantuk, bercampur juga dengan rasa takut dan grogi, anakku yang memang pada dasarnya gampang bete itu,  menolak tampil dan menangis sekencang-kencangnya ketika dibujuk naik panggung oleh ayah dan guru-gurunya (sementara aku duduk di bangku penonton bersama si baby).

Kecewa? Iya pastinya. Sementara orang tua  lain sibuk merekam atau memfoto anak-anak mereka ketika beraksi di panggung, kami kehilangan kesempatan itu.

Dan ini bukan kekecewaanku yang pertama. Dulu, kira-kira setahun yang lalu, ia pun menolak untuk mengikuti satu pun perlombaan  acara tujuhbelasan. Padahal sebelumnya aku sangat berharap ia bisa memenangkan lomba. Mengingat cerdas dan lincahnya ia di rumah. Tapi ternyata ikut pun tidak.

Sepulangnya kami menasehatinya untuk lebih berani dan bertanggung jawab di  waktu mendatang. Dan aku, rasanya lebih dari sekedar menasehati, setengah mengomel tepatnya. Dan sisa hari itu kujalani masih dengan sebuah ganjalan kekesalan dan kemarahan potensial yang untungnya masih agak bisa kutahan.

Singkat cerita, ayahnya mengajak Alfath sholat Maghrib di mesjid. Sepulang dari mesjid, melihatnya berpakaian koko rapi lengkap dengan pecinya jadi tiba-tiba tercetus ide untuk merekam Alfath beraksi sebagai MC.

Akhirnya jadilah ia 2 kali kurekam. Dia minta direkam lagi, tapi kubilang 2x cukuplah (yee..ni anak  kalo di rumah malah ketagihan!). Hehe…tak ada rotan akar pun jadilah. Tak dipanggung, di rumah pun jadilah. Lumayan, sedikit mengobati kekecewaan tadi siang.

Tengah malam, setelah lebih tenang dan dapat mengambil jarak dari masalah, aku mulai merenung.

Duhai anakku, bacaan Iqro’mu yang lembar demi lembar bertambah tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.

Goresan pensil dan sketsamu adalah juga sebuah pencapaian.

Kata demi kata baru yang kau serap tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.

Maafkan Bunda anakku, bila menuntut terlalu banyak darimu.

15 Jun 2007 Tragedi Kunci (Antara Cikarang dan Srengseng)
 |  Category: My Husband, My Self, Serba-serbi  | 8 Comments

Saturday, August 27, 2005, 21.49

Computer jammed. Sudah lama sekali aku ga nulis. Minggu, 21 Agustus 2005 ada kejadian luar biasa yang memberi pelajaran yang amat berharga bagiku. Kunci rumah tertinggal di rumah ibu dan itu kami sadari setelah sampai di rumah. Ingin langsung balik ke sana tapi ayah bilang ga usah karena ayah yang akan mengantar kunci itu. Hampir tiga jam menunggu di dalam mobil dengan dikerubungi sedemikian banyak nyamuk, eh ternyata kunci yang dibawa ayah salah!!! Masya Allah! Aku ga kuat lagi menahan tangis. Pokoknya ga bisa digambarkan gimana perasaanku saat itu. Aku merasa it’s all completely my fault. Kasihan sekali lihat ibu, Alfath dan terutama Mas yang sudah begitu lelah, ngantuk dan kehabisan tenaga karena kami sudah seharian jalan dan pastinya yang tertinggal adalah tenaga sisa-sisa.  Belum lagi terbayang jauhnya perjalanan yang harus kami tempuh kembali, borosnya bensin dan tol yang harus kami keluarkan dan lelahnya badan yang tidak tidur semalaman. Wuih, pokoknya berat banget deh! Seingatku aku ga pernah mengalami kejadian seberat ini sebelumnya. Rasanya sampai saat ini pun masih terasa nyesss banget kalau ingat kejadian itu. Aku tau bahwa itu adalah sarana pembersihan luar biasa yang dirancang Allah untuk kami. Tapi kok rasanya pahiit sekali dan sepertinya aku ga kuat kalau harus menjalani kejadian serupa itu sekali lagi.

Anyway, sebenarnya kejadian itu juga membawa hikmah besar yang bisa membuatku menangis dan terharu berkali-kali sampai saat inipun. Aku merasa dilimpahi berkah dan karunia yang luar biasa dengan kehadiran seorang suami yang begitu baik, penyabar dan penyayang. Tak satupun keluar dari mulutnya  kalimat yang bernada kekesalan atau menyalahkan. Padahal aku sendiri dalam hati geregetan menyumpahi ketololanku atas kesalahan fatal yang kuperbuat meskipun aku tau semua ini terjadi atas Kehendak- Nya juga. Rasanya Mas sudah dapat ‘menelan’ dengan baik apa yang disuguhkan oleh-Nya. Kebaikannyalah yang membuatku menangis terharu berkali-kali. Kupikir mungkin suami lain akan menempeleng atau paling tidak mengejek dan memaki-maki istrinya bila menghadapi kejadian serupa. Tapi tidak demikian halnya dengan Masku tersayang.

Aku pernah mengatakan ini pada seorang teman: “Andaikan aku mati, lalu diberi kesempatan hidup sekali lagi,  aku pasti akan memilihnya kembali menjadi pendamping hidupku.”

*Ini kejadian dulu, waktu msh di Cikarang. Dari Srengseng jam 21. Sampe Cikarang sekitar 22.30 (jarak tempuh 1,5 jam kalo pake mobil pribadi). Baru sadar kalo kunci ketinggalan sekitar jarak 1 km dari rumah Cikarang. Sampe depan rumah, aku udek2 dan obrak-abrik semua barang bawaan untuk nyari kunci itu barangkali keselip (berusaha nyenengin diri). Padahal tiap ke Srengseng kl weekend, barang bawaan selalu segudang kayak orang mudik sebulan. Akhirnya kita cari makan dulu sambil nenangin diri dan nelfon ke ayah dan adik-adik di Srengseng (actually cuma Mas yg makan nasi goreng waktu itu, kalo aku: mana ketelen lagi stress gitu!).

Yang nerima telp adikku Obon, satu-satunya yang belum tidur. Sedangkan yang lain udah tidur semua. Kata Obon, Ayah bilang ga usah balik lagi karena ayah yang akan nganter ke Ckrg. Rupanya karena ngantuk, mata masih merah, konsentrasi kurang dan nyawa belum nyatu, ayah main samber aja tanpa teliti kunci yang diserahin Obon. Trus langsung jalan. Rupanya si Obon ga tau persis kunci rumahku yang mana, dia main asal ambil aja kunci yang geletakan. Ga taunya yg keambil kunci kamar kost Eja. Ejanya lagi tidur jadi ga bisa ngasih tau kalo itu kuncinya dia. Herannya kok si ayah bisa ga ngeh kalo kuncinya salah, padahal dulu yang nyatuin serendel kunci itu ayah sendiri. Emang nasib dah, ini nih yang namanya ujian kehidupan. Skenarionya kayaknya perfect banget. Dan suka bikin ga habis pikir! Emang dah, kalo Alah udah berkehendak, ga ada yang bisa cegah.

Tiga jam kami nunggu di mobil. Dan ternyata kuncinya salah!!!

Mas lagi tidur di mobil pas ayah sampe sekitar jam 3 (naik angkot tengah malem gitu loh, waktu tempuhnya sekitar 2,5-3 jam, ga kebayang kan?) Begitu tau salah, ayah langsung balik lagi ke Srengseng (naik angkot lagi). Tadinya kukira Mas tidur-tiduran doang dan sebenernya tau kedatangan ayah, ternyata dia bener-bener ga tau kedatangan ayah alias lelap bless.

Mas yang ga lama kemudian terbangun, akhirnya mutusin untuk balik ke Srengseng saat itu juga. Jadi kami semua ke tujuan yang sama dengan kendaraan yang beda.

Akhirnya kami sampe Srengseng lagi jam 4.30. Sementara ayah yang ngecer angkot belum sampe. Abis Sholat Shubuh langsung cabut ke Cikarang lagi. Mulanya Mas seger, tapi menjelang pintu tol Cikarang Barat matanya dah ngantuk berat (secara yang tadi malam cuma tidur setengah jam gitu loh!)

Sampe rumah langsung tepar ambruk dan ga kuat ngantor. Akhirnya Mas yang jam masuk kantor resminya 7.30, hari itu ngantor jam 10.00

Meanwhile si ayah baru sampe Srengseng jam 6.30 pagi. Karena subuh-subuh, angkot masih pada ngetem dulu cari penumpang. Ga kebayang kan? Bisa-bisa bolos ngantor kalo ngandelin si ayah. Kalo balik lagi ke Cikarang, sampenya bakalan jam berapa coba? Meanwhile kitanya udah stress banget ngejogrok di teras depan. Sholat Shubuhnya gimana? Plus malu sama tetangga karena harinya udah terang.

Aku lagi hamil tua 8 bulan lebih pas kejadian ini.

Weleh. Weleh. Sekarang tiap kemana-mana aku jadi lebih waspada. Always make sure that the keys is in the bag…

11 Jun 2007 Fitrah
 |  Category: Oprah Show  | 4 Comments

Monday, June 11, 2007, 21.43

Lagi ngantuk dan capek gendong si baby yang belum pulas kalo belum jam 11 ke atas. Mesti bangun kalo ditaro di kasur, tapi merem kalo digendong. Jadi inget ulasan masalah kesehatan oleh Dr. Mehmet Oz beberapa waktu lalu di Oprah. Katanya ada 4 kebutuhan dasar manusia yang tidak tergantikan yang mau ga mau harus dipenuhi: lapar, haus, ngantuk dan seks. Kalau lapar ya makan. Kalau haus ya minum. Kalau ngantuk ya tidur. Kalau berhasrat ya menikah. Dr. Oz sendiri menyarankan healthy monogamy marriage sebagai hubungan yang paling sehat.

Tiba-tiba click. I’ve got an idea. Jadi teringat tentang sebuah kisah di zaman Nabi Muhammad SAW. Ada 3 orang yang mencoba melampaui Nabi, yang berpikir bahwa apa yang mereka lakukan bisa menjadikan mereka lebih hebat daripada Nabi.

Orang pertama berpuasa terus-menerus tanpa berbuka.

Orang kedua beribadah terus menerus dengan terjaga tanpa tidur sedikitpun.

Orang ketiga memilih hidup selibat tanpa kawin.

Setelah hal ini dilaporkan kepada Nabi SAW, beliau marah. Beliau keluar seraya bersabda, yang artinya: “Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golonganku”. (HR: Bukhari dan Muslim).

Makes me think: How marvellous Islam is. Begitu paripurna tanpa mengebiri fitrah.