Archive for ◊ 2007 ◊

07 Jun 2007 Life Seeking 2
 |  Category: Oprah Show, Refleksi  | One Comment

Monday, March 25, 2007, 02.42

Everyone search for something in their life. The reason for being in this world.  When there’s no such fulfillment, emptiness and hollow grabbed you. Faking, shopping, gossiping is some way to make your self feel complete. Aku mendapati perspektif ini di Oprah Show. Sangat sufistik sekali. Jadi, siapapun kita, apapun status sosial, budaya dan sistem kepercayaan kita, pertanyaan  tentang kejatian diri adalah pertanyaan mendasar dalam diri tiap manusia. Ada suatu kekosongan bila itu tidak terpenuhi.  Lalu kita berusaha menutupinya dengan melakukan apapun yang dapat menyenangkan diri kita (meski sesaat), melakukan apapun yang kita kira dapat mendatangkan kebahagiaan sejati, apapun yang dapat membuat kita merasa utuh.

BAPAK merangkumnya dengan singkat: MISI HIDUP.

You must know ‘who are you’ before you can ask ‘what you can get’ in this life. Jadilah diri sendiri dengan melakukan apapun yang kau suka. Oprah pernah ingin menjadi seperti Diana Ross. Lalu ingin seperti Barbara Walters. Dia tidak pernah benar-benar hebat sampai dia memutuskan untuk menjadi dirinya sendiri dengan mencari nafkah melakukan apa yang dia suka dengan cara yang dia suka.

Para pejalan membahasakannya: manusia dimudahkan untuk apa dia diciptakan.

29 May 2007 A Mother’s Controversial Confession
 |  Category: Oprah Show  | 2 Comments

Friday, June 9, 2006, 22.

A Mother’s Controversial Confession is one of a title on The Oprah Show that most relevant to me now. Seringkali wanita terjebak dalam sebuah ketidakseimbangan antara peran sebagai istri dan ibu. Naluri keibuan menjadikan mereka cenderung mengutamakan anak di atas suami. The children are their center of universe where all the romantic entanglement terpaut pada mereka while husbands are tend to be neglected.  Lantas terjadi disconnection dalam sebuah pernikahan di mana hubungan suami istri lambat laun menjadi hambar. And it said that sex is one of the symptoms. Truly, sex before and after having a child is different! Istri seringkali merasa too exhausted to serve their husbands. Mereka menganggap itu semata merupakan duty atau bahkan burden yang melelahkan dan tidak bisa dinikmati. Sementara itu timbul anggapan salah bahwa keintiman dan kemesraan dengan suami bisa ditunda dan di-catch up nanti setelah anak-anak mulai dewasa dan bisa dilepas sendiri. Tapi sayangnya, bak kerupuk yang telah melempem, pernikahan itu telanjur menjadi hambar dan suami istri menjadi begitu berjarak dan asing satu sama lain. Pernikahan itu ibarat otot, bila tidak dilatih maka akan semakin melemah.

Salah satu cara orang tua mengayomi dan membuat anak merasa aman adalah dengan menunjukkan hubungan kasih sayang yang kuat di antara mereka.

The fact is, istri mengganggap suaminya lebih seksi bila ia dapat berperan dengan baik sebagai ayah. Tetapi kadang istri tidak memberi cukup ruang bagi para suami untuk berperan lebih besar sebagai ayah dengan memonopoli anak.

Meanwhile ada kemarahan terpendam (slow burn anger) di lubuk hati para istri yang harus merelakan karir mereka demi mengurus rumah tangga dan anak-anak.

28 May 2007 Pembantu Juga Manusia
 |  Category: Serba-serbi  | 8 Comments

Sunday, May 27, 2007, 17.24 (revised May 29, 2007, 09.32)

Ada suatu scene dalam film Ada Apa dengan Cinta yang kerap kali tergambar di kepala saya terutama kalau lagi agak-agak bete sama ‘asisten’ di rumah. Saya membahasakannya sebagai: tuntutan peran PRT versi Rangga dan Cinta. Saya mencoba menuliskannya dalam bentuk dialog yang mungkin tidak tepat benar redaksinya.

Rangga : “Di rumah pasti semua-muanya pembantu yang ngerjain ya?”

Cinta   : “ Ya enggak sih…, tapi kalo ada pembantu kenapa nggak dikasih kerjaan..?”

Rangga : “ Ya kalo bisa dikerjain sendiri kenapa mesti nyuruh pembantu?”

Cinta   : “ Kalau ada pembantu kenapa mesti dikerjain sendiri?”

Pembantu juga manusia. Kalimat itu yang berulangkali saya tanam di kepala kalau sedang ‘panas’ karena tidak puas dengan kerjaan mbak di rumah.

Kalau sedang baik hati dan good mood, biasanya saya mengambil posisi seperti Rangga. Yang utama mengerjakan semuanya adalah saya, lalu tugas pembantu memang benar-benar hanya membantu. Tapi kalau lagi rajin gini nih, biasanya si setan yang ga pernah suka kalau kita berbuat baik bisikin begini: “Bego lu, ngapain capek-capek ngerjain itu sendiri. Kan lu bayar orang emang untuk ngerjain kerjaan itu, lagipula dia emang bersedia kok. Tinggal nyuruh aja lagi.”

Tapi sisi kanan saya lantas berujar: “Kalo semua yang ngerjain pembantu, mana dong pahala untuk diri kamu sendiri? Allah kan ga pernah keliru masukin pahala ke rekening akhirat masing-masing kita. Dalam setiap keringat dan susah payah mesti ada ganjarannya loh.” Akhirnya aku kembali bekerja dengan happy.

Tapi syetan rupanya ga tinggal diam, selalu ngomporin hati ini biar panas. Apalagi kalo akunya lagi sibuk ngerjain kerjaan rumah yang lumayan berat, sementara si mbak lagi nyuapin anak-anak, sambil gendong si baby, sambil nonton tivi. Kerjaan yang kelihatannya sepele, padahal sebenernya enggak juga. Wuih rasanya geregetaan banget (ni mulut ampe gatel pengen nyuruh, padahal kalo lagi adem aku sadar juga bahwa itu sebenernya kerjaan juga, bayangkan kalo ga ada si mbak, nyuapin 2 anak 3 kali sehari berarti 6 kali, ditambah ga bisa ngerjain apa-apa kalo babyku nangis yang berarti harus digendong terus. Apa ga kiamat kalo gitu? Boro-boro ngenet. Kagak bakal sempet dah!).Seringnya sih si setan yang menang. Akhirnya itu kerjaan kukerjain dengan beres tapi dengan hati dongkol. “Huh, harusnya bukan gue nih yang ngerjain, tapi pembantu!” Naudzubillah min dzalik. Udah capek ga berpahala pula.

Tulisan ini saya buat pas lagi adem, lagi ada secercah kesadaran. Buat ibu-ibu yang suka kesel sama asisten di rumah, coba deh trik berikut. Sekali waktu coba sisihkan waktu untuk terjun langsung turun tangan ngerjain kerjaan rumah sendirian, mungkin dengan merasakan kepayahan yang dirasakan pembantu, membuat kita lebih mudah memaklumi bila ada kerjaannya yang kurang beres atau ga sesuai dengan standar kita. There’a a lot to do di balik terhidangkannya semangkuk opor ayam di meja makan kita. Buat ibu-ibu yang suka masak pasti ‘ngeh’ deh, sama yang saya omongin. Coba di list (sekalian biar bapak-bapak yang baca tulisan ini lebih menghargai istrinya). Beli ayam, cuci ayam, blender kelapa, peras santannya, kupas bawang merahnya, kupas bawang putihnya, siapin bumbu lainnya, lalu diblender, nyalain kompor, panasin minyak goreng, tumis bumbunya, aduk-aduk sampai harum, tuang santannya, terus aduk biar santannya ga pecah, deelel, deelel (nulisnya aja capek, apalagi ngerjainnya).

Pembantu juga manusia. Punya cara kerja sendiri yang khas dan unik. Punya rasa bosan dan malas sesekali. Punya hati yang akan terluka bila disakiti.

So ibu-ibu, mari lebih hargai pembantu kita di rumah.

*mudahmudahanmbakkubetahdansabarmenghadapimajikannyayangkadangsukajutekini.amiin

27 May 2007 Ask Me to Write, Not to Speak
 |  Category: My Self  | 4 Comments

Sunday, May 27, 2007, 22.05

Buat teman-teman yang pernah bertemu muka langsung dengan saya pasti berpendapat bahwa saya ini pendiem banget. Waktu SD, ada sekelompok temen-temen cowok yang sekongkol menjauhi saya. Padahal dalam hatinya mungkin mereka naksir saya juga (ini baru ketahuan setelah saya mondok di pesantren, dari surat yang dikirim oleh mantan temen SD yang cewek yang se-SMP dengan mereka).

Waktu SMA, seingat saya, ga satupun temen cowok yang berani ngajak ngobrol duluan atau bahkan sekedar say ‘hi’. Mungkin karena segan pada saya yang kelewat pendiam. Sampai-sampai ortu sempat khawatir, ‘apakah anak gadisnya ini akan ‘laku’ lantaran kalau jalan saja selalu menunduk.

Waktu kuliah, yang berani ngajak ngobrol itulah yang sekarang jadi suami.

Saya dan teman2 wanita di Rohis SMA pernah menginap (mabit) bersama dan membuat sebuah game yang tujuannya untuk lebih mengenal satu sama lain. Kami duduk melingkar dan menuliskan kesan, pesan, nasihat dan/atau uneg-uneg apapun kepada masing-masing tanpa mencantumkan nama. Dan seperti bisa ditebak, kesan dan pesan terhadap saya hampir seragam. Saya terlalu pendiam. Padahal teman-teman beranggapan saya punya potensi besar yang belum tergali.

Entah kenapa, saya memang merasa lebih nyaman untuk menulis ketimbang berbicara. Dan ini baru benar-benar saya rasakan belakangan ini, bahwa menulis bukan sekedar pelepasan ekspresi bagi saya, melainkan juga makanan jiwa yang menyegarkan. Yang tanpanya saya merasa kehausan dan kelaparan secara intelektual. Kram otak.

Kalau ngobrol sama orang, saya kerapkali ‘mati topik’ dan merasa diri bukan teman ngobrol yang menyenangkan. Tapi kalau menulis surat, berlembar-lembarpun oke lah.

Alhasil, teman-teman yang mengerti saya lewat ngobrol sangatlah sedikit dan bisa dihitung dengan sebelah jari tangan.

So, my dear friends, please ask me to write, not to speak…

27 May 2007 Humble (Secuplik Tentang Dia)
 |  Category: My Husband  | One Comment

Sunday, May 27, 2007, 20.00

Lucky me to have a very humble husband. Sederhana, bersahaja, dan ga pernah neko-neko menyangkut soal penampilan luar dan barang-barang pribadi (ex: HP, baju, sepatu, wristwatch, dll). Ga berlebihan. Seadanya. Belum akan ganti kalo belum rusak. Dan beli barang bukan karena gaya dan gengsi melainkan benar-benar karena fungsinya. Contohnya HP. Meskipun sebetulnya si bapak ini can afford to buy HP yang ‘wah’, tapi tentengannya selama beberapa tahun belakangan ini tetep Siemens jaman jebot yang casingnya aja udah ga jelas (baru-baru aja ganti ke O2  seken karena emang perlu fungsi PDAnya). Itu ‘orang besar’ sesungguhnya menurutku. Harga dirinya tidak tergantung dari barang apa yang dia pake. Dia sudah besar dengan sendirinya karena percaya diri bahwa ‘nilai intrinsik’ dirinya jauh melebihi nilai barang-barang yang dia kenakan. Ini tentu tanpa bermaksud sama sekali mengacuhkan dan mengecilkan arti penampilan. Pokoknya asal rapi dan bersih, tetep pede lah datang ke acara-acara resmi seperti kondangan dengan baju lama. Tidak harus selalu baru.

Yo wis, alhamdulillah, cocok banget sama aku kalo gitu. Ga suka dandan dan ga suka tampil heboh dan menonjol. Biasa ajalah. (Believe it or not, bedak aja aku ga punya lantaran ni muka berasa panas kalo bedakan. Apalagi lipstik dan segala tetek bengek kosmetik lainnya).

“Jadi aja diri sendiri dan jangan pusing sama apa pendapat orang. Capek loh kalo ngikutin apa kata orang.” Begitu katanya tadi di resepsi khitanan anak tetangga kami yang amat mewah yang digelar sejak pagi sampai malam ini.

Lagi-lagi, seperti berulang kali sebelumnya, aku merasa sangat beruntung dapat pelajaran hidup yang berharga dari Masku tersayang. The most mature man I know.

Love you honey. Forever and ever…