Ngerasain full-time di rumah, kadang-kadang terbesit juga keinginan untuk bekerja di luaran. Tapi jujur saja, pilihan itu pun kalau dipikir-pikir berat juga untuk dijalani. Sepertinya di jaman sekarang lebih riskan meninggalkan anak sendirian di rumah tanpa pengawasan. Apalagi kalau dengar berita-berita di tivi. Anak ingusan sudah berani berbuat cabul dan asusila. Kalau sudah dengar berita seperti itu rasanya benar-benar ingin di rumah saja dan tak ingin kemana-mana kecuali mengawasi dan menempel ketat anak. Rasanya tidak bekerja di luar pun sudah begitu banyak peluang yang bisa membuat kita sebagai orang tua kecolongan, apalagi kalau harus bekerja di luar rumah. Ya… hidup memang meniscayakan adanya pilihan, dan tiap pilihan ada trade-off-nya masing-masing. Hidupku kini, apa yang harus kupilih?
Archive for ◊ 2007 ◊
Seorang teman berulang tahun berdekatan hari. Aku tanya: “Apa hadiah ulang tahunmu dari suami?” Dia jawab: “ Ingat pun dia tidak!” Kasihan. Tapi apa perlu dia dikasihani? Sedang dia pun telah menerimanya sebagai nasib. Lalu aku berpikir tentang kebahagiaan. Apakah dia bahagia bersama suaminya? Apakah agak bahagia? Setengah bahagia? Bahagia? Sangat bahagia? Apakah bahagia bisa diukur? Kebahagiaan adalah masalah rumit. Rumah tangga, apalagi, adalah masalah yang sangat rumit. Bisa saja bahagia di rumah tangga bersama anak, tapi tidak begitu bahagia bersama suami. Tapi bagaimana, suami kan bapaknya anak-anak. Pasti ada kebahagiaan saat dulu berbagi cinta bersama suami menghasilkan anak. Tapi apakah memang kebahagiaan bisa diukur dari penampakan luar? Ketika sepasang kekasih memang pendiam, dan membangun hubungan dalam diam, apakah sebetulnya mereka tidak bahagia, walaupun kelihatannya memang tidak bahagia? Aku dulu punya bayangan bahwa suamiku nanti adalah seorang yang pendiam. Aku sampai seringkali berpikir, bila suami istri bertemu dan berbicara tiap hari, apakah mereka tidak akan kehabisan bahan pembicaraan? Apakah hubungan mereka yang pada awalnya hangat dan menarik berangsur-angsur menjadi begitu kaku, dingin, dan membosankan karena pembicaraan yang hanya ngalor ngidul ke itu-itu saja? Kini aku sudah bersuami. Sudah 4 tahun malah. Ketika aku dulu menceritakan ini pada suami dia tertawa saja, dia malah berujar: “Ade’ dulu membayangkan seperti itu? Kenyataannya gimana? Beruntung kan kau dapat suami yang hangat dan romantis!” Dia benar. Ya, aku memang beruntung!
Begitu banyak berkah kasih sayang dalam kehidupanku. Ini kusadari sejak awal sekali pernikahan kami. Ada kehangatan yang menjalari hati saat menyadari bahwa hal pertama yang selalu dia lakukan saat aku membangunkannya di malam hari adalah tersenyum. Bangun dari lelapnya tidur sambil mengejap-ngejapkan mata dan langsung tersenyum. Betapa ringannya dia tersenyum. Duhai Allah, sungguh kurasakan kasih sayang- Mu melalui kasih sayangnya.
Begitu banyak momen yang harus kusyukuri. Begitu ringan pernikahan ini kujalani. Inikah yang disebut pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah? Aku tidak tau. Yang kutau adalah aku selalu merasa tenang bersamanya, selalu merasa dicintai dan disayangi, selalu merasa dirangkul sebagai teman hidup sejati.
Sepertinya setiap hubungan niscaya punya pasang surutnya. Well, too bad, sepertinya masa surutlah yang kualami sekarang. Without any particular reason, kadang-kadang hubungan kami as cold as an ice. Kami lebih banyak diam ketimbang bercakap tanpa tahu apa yang ada di pikiran masing-masing. Kadang-kadang itu adalah suatu ketaksengajaan karena kelelahan yang luar biasa setelah bekerja seharian. Kadang- kadang itu menular karena kediaman salah satu sehingga yang lainnya merasa diacuhkan padahal ia merasa tidak punya kesalahan apa-apa. Akhirnya dua-duanya saling diam. Mungkin itu hanya salah pengertian saja. Tapi kadang-kadang aku merasa kesal juga karena sudah merasa bersikap baik tetapi dia sepertinya kehabisan stock senyum untukku. Mungkin itu juga yang dia rasakan. Seringkali mencoba menunjukkan perhatian dan ingin diperhatikan dengan mengelus lembut tetapi aku terlalu letih untuk membalas elusan itu. Well, almost 4 years we’ve been married. Mungkin semua itu adalah lika-liku untuk mengerti dan mengenal satu sama lain, atau mungkin … karena setiap kita adalah pribadi yang unik, kita memang tidak akan pernah benar-benar mengenal satu sama lain?
Srengseng, Saturday, December 23, 2006, 21.32
Bila diary adalah catatan hidup, mungkin sebaiknya dilampiri dengan latar tempat agar sempurna melengkapi ingatan kapan dan di mana ia dibuat. Karena ingatan manusia amat sangat terbatas terutama bila ia kelak melimpah ruah karena panjangnya perjalanan hidup yang terekam di dalamnya.
Ada-mungkin banyak- orang yang anti menonton sebuah film lebih dari sekali. Mungkin dipikir, apa serunya? Toh klimaks, antiklimaks, serta jalan cerita keseluruhan sudah bisa ditebak sehingga hilang sudah suspense yang membuat film itu jadi seru ditonton dan diikuti dengan seksama.
Apakah pernikahan seperti itu? Sebagian mungkin begitu. Ketika pacaran, rasa cinta dan sayang menggebu-gebu karena ada bagian dari diri kekasih yang belum terjamah dan karenanya masih mengundang misteri. Ketika menikah dan kekasih telah menjadi bagian dari diri seutuhnya, kita lantas jadi merasa begitu mengenal dia luar dalam dan pernikahan sedikit banyak lalu kehilangan misteri dan suspensenya. Ia menjadi dingin dan membosankan. Analogi ini mudah-mudahan salah. Karena toh, film bukan manusia dan manusia bukan film yang sekali ada seperti itu untuk selamanya. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling dinamis dan misterius.
Aku mencintaimu sungguh. Dan ingin menulis banyak tentangmu. Seringkali ada luapan perasaan yang begitu menggebu yang ingin kutuangkan dalam tulisan. Aku ingin meresapi rasa cinta yang ada antara kita. Ingin mendata dan mengurai setiap momen detil dalam kehidupan cinta kita. Kau adalah jawaban dari doaku. Kukira takkan pernah lagi mendapatkan seorang yang lebih baik darimu. I received the utmost.