Archive for ◊ 2008 ◊

31 Dec 2008 Refleksi Tahun Baru
 |  Category: Refleksi  | One Comment

Bagaimana teman-teman memaknai tahun baru? Apakah hanya sekedar hura-hura, melakukan counting down dan bersiap-siap meniup terompet keras-keras ketika jam menunjuk pukul 00.00? Ataukah ada yang lebih dalam dari sekedar itu?

Alhamdulillah diberi umur sampai penghujung 2008 yang kira-kira tinggal 4 jam ini. Mudah-mudahan sampai ke permulaan 2009 nanti. Mudah-mudahan 2009 bisa diisi dengan kebajikan yang lebih, dengan perbaikan atas kekurangan 2008 di sana-sini.

Setelah 00.00 lewat, sedetik kemudian, kira-kira apa rasa yang mungkin timbul? Mungkin biasa saja. Toh, detik demi detik berjalan seperti biasa. Kecuali bahwa mulai detik itu kita akan menuliskan 2009 ketika mencantumkan tahun. Atau sebaliknya, justru merasa luar biasa bagaikan ada energi baru yang mengaliri darah, ada tekad baru untuk menjadikan hari ke depan menjadi lebih baik.

Sebetulnya detik yang berharga itu tak hanya pada detik pergantian tahun baru, di mana kita mengadakan counting down di hotel, tempat-tempat hiburan, dengan konvoi di jalan, atau bahkan sekedar berkumpul dengan keluarga di rumah saja. Tiap detik adalah berharga.

Ada sebuah perkataan bijak yang pernah saya dengar. Allah menciptakan waktu selalu baru. Tiap detik adalah fragmenyang terpisah satu sama lain. Jangan terberati oleh masa lalu. Jangan dipusingkan dengan masa depan. Sekarang adalah sekarang, yang ada di depan mata kita. The Power of Now, demikian tulis Eckhart Tolle. Bertobatlah jika ingin bertobat. Tak pernah ada kata terlambat. Menjadi baiklah, tak usah dipusingkan kita ini dulunya apa dan bagaimana.

 Akhir kata:

 

Selamat Tahun Baru 1430 Hijriyah

 

Selamat Tahun Baru 2009

 

*should be posted at 20.00 yesterday. But again, connection error.

28 Aug 2008 Beli Suasana
 |  Category: My Self  | 2 Comments

Sby, August 28, 2008, 16.11

Kok mendadak kepingin sneak out ke warnet walaupun di rumah tersedia internet acces dengan mudah dan gratis (maksudnya suami yang bayar gitchu…)

Yaaa sejam dua jam tak apalah. Di dekat rumah ada dengan tarif 3000 rupiah/ jam.

Kenapa begitu? Bukankah mubazir saja mencari di luaran apa yang sudah tersedia di dalam rumah.Tak lain tak bukan adalah tak efektifnya dudukku di depan komputer ini yang walaupun kelihatannya berjam-jam tapi sungguh banyak sekali interupsi di tengah jalan.

Sedikit-sedikit Halim minta pangku. Minta mimi. Minta naik-naik ke atas meja komputer. Kadang-kadang Aslam ikut-ikutan. Kadang-kadang dua-duanya berebutan. Pfiuuhhh…..!

Begitu Alfath pulang, gantian dia yang pingin main game.

Belum habis buka dan baca sesuatu diusik lagi dengan segala tetek bengek keperluan. Aslam minta susu lah, mau pipis lah, lengkap dengen rengekannya yang otomatis bikin spanning meninggi.

Baru duduk sebentar ada lagi yang mesti kukerjakan.

Kalau malam ayahnya yang butuh perhatian. Agaknya seperti ga tau diri masih membuka komputer katika suami pulang. Habis gimana? Kadang-kadang baru malam itu lah keadaan agak tenang.

Kemarin dulu aku suka sesekali ke warnet ketika komputer lagi ngadat. Tapi sekarang aku sedang mempertimbangkan, mungkin sesekali juga tak mengapa ke warnet walopun komputer di rumah sedang sehat wal afiat. Karena sesungguhnya, yang kubeli di warnet adalah suasana, bukan sekedar akses internet.

26 Aug 2008 Cita-cita : Menikahi Cowok Pintar!
 |  Category: My Husband, My Self  | 7 Comments

Yup, benar! Itu memang cita-citaku. Never clearly stated tapi setelah kupikir-pikir sepertinya itu yang terinternalisasi dan mengendap jauh di dalam diri. Yang pasti, kriteria ini yang terutama dibanding kebagusan rupa. Apalagi kalau kulihat list ‘para pencuri hatiku’ dulu.

Terus terang aku sangat awam masalah lelaki. Tak cukup punya banyak pengalaman hasil trial and error. Jadi jujur saja, daftarku teramat pendek. Only few selected person. Tapi yang jelas, my husband is not my first love.

Apa indikator pintar jaman sekolah dulu? RANKING. Itu menurut pikiran polos naifku. Namanya juga cinta monyet toh. Cinta anak ingusan. Maklum saja kalau masih berpikiran begitu sempit. Lupakan saja dulu tentang: sholih, dewasa, bertanggung jawab, deelel.

Dan berdasarkan ranking, di 12 tahun sekolah formalku dulu (tidak termasuk kuliah) ternyata hanya 2 orang cowok saja yang kuakui keunggulannya di atasku. And guess what, 2 orang itulah yang sukses menjadi (ehemm- ehemm) my so-called love-list.

Daftar ini begitu pendek, karena di jaman hormon puber tengah meledak-ledak, alias masa-masa SMP, aku berada di penangkaran khusus wanita alias boarding school. Jadi ga ada sasaran empuk yang bisa ditaksir.

Kalau diinget-inget sekarang lucu ga sih, naksir cowok karena NEM nya beberapa poin di atasku. Atau kepincut sama juara kelas sementara aku terpaksa takluk di posisi runner-up. Lah wong, apa korelasi seseorang bisa jadi suami yang baik berdasarkan nilai NEM dan ranking. Hahahaha….

Tapi Allah Yang Maha Baik memang senantiasa mendengar doa hamba-hamba Nya. Terutama yang melantunkan doa tulus saat sedang sekarat dalam derita cinta. Dia memberi yang jauh lebih baik.

Ini contohnya. Kecenganku dulu mengantongi NEM 45. Yaaa…lumayan lah ketimbang aku yang jeblok di 37,66 (salahkan boarding school? Soalnya segitu udah termasuk tinggi di sana). AlhamduliLlah masih masuk di SMA Negeri walau dengan peringkat buntut (312? Sungguh nyarisss…). Meski kemudian aku sukses meraup 7 piagam juara kelas di SMA. Tapi aku ternyata berjodoh dengan suamiku yang kemudian kutahu NEMnya 52. Haha…terkabul kan cita-citaku? In terms of PINTAR menurut versi jadulku.

Allah Yang Maha Baik memang selalu mengikuti persangkaan hamba-Nya. Even better….

12 Aug 2008 Bukan Sulap Bukan Sihir
 |  Category: My Self  | 2 Comments

Memang ajaib ya seorang ibu itu. Makhluk bertangan (hanya) dua yang mampu menyelesaikan seabrek tugas dan setumpuk pekerjaan.

Suatu kali aku berkunjung ke rumah bibiku. Seorang full-time mom dengan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Karena keterbatasan ekonomi dia tidak memperkerjakan ART dan malah mengambil pekerjaan serabutan yang bisa dikerjakan di rumah. Pekerjaannya sejenis handcrafting, yaitu membuat aksesoris dan pernak-pernik yang sedang in. Misalnya bikin kalung, gelang, ikat rambut, sarung HP, deelel. Pokoknya apa saja yang lagi musim. Dia mengambil kerjaan borongan itu di tetangganya dan dibayar tergantung berapa banyak dia bisa menyelesaikan. Pekerjaan yang sungguh honornya tidak seberapa. Yaa…itung-itung membantu suami dan untuk uang jajan anak-anak.

Jujur saja, rumahnya yang sederhana itu bak kapal pecah ketika kusambangi. Baju kotor berserakan di mana-mana. Bahan kain dan retsluiting untuk membuat sarung HP juga bertebaran tak karuan. Anak-anak masih cemen dan rebek karena belum mandi. Sampai-sampai aku berpikir: "Apa suaminya (aka pamanku) ga marah dan pusing ya kalo pulang kerja lihat rumah berantakan kayak gini?"

Singkat cerita aku main ke rumah bibiku yang lain yang tinggalnya sangat berdekatan. Mungkin hanya setengah jam aku ngobrol dan duduk-duduk di situ. Sampai akhirnya bibiku yang tadi itu menghampiriku sambil menggendong dan menyuapi anaknya yang sudah rapi bersih. Tak lama aku berpamitan pulang. Dan aku terkesima dengan rumahnya yang kini bersih dan kinclong. Semuanya tertata rapi dan enak dipandang. Sangat berbeda dengan keadaan setengah jam yang lalu. Seingatku waktu itu aku lantas berpikir begini: "Ck…ck…ck…How marvelous is what a mother can do…"

06 Aug 2008 Cerita Lama tentang Aku dan Dia
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 9 Comments

Waduh, orang melankolis ekstrim kayak aku gini memang paling suka meretas jalan kenangan. Kenangannya cuma sepanjang jalan itu, tapi diudek-udek terus dihilir-mudiki bolak-balik. Entah kenapa, ada perasaan hangat menjalari setiap mengingatinya. Yang ini masih cerita lama. Tadi kok iseng baca-baca, dan sepertinya lumayan menarik untuk ditulis di blog. Daripada hilang ketika diary nya lapuk dimakan usia atau dimakan rayap. Yang ini bener-bener ditulis seada-adanya. An uncut version.

Tadi gue ketemu ma’ Firman dan Imam. Gue ceritain aja masalah gue (Nggak tau deh seharusnya boleh apa nggak?)

Pusing deh ih pusing! Gimana kelanjutannya hubungan gue sama Noer. Susah juga kalo the trouble maker temen sekampus. Temen satu profesi, pula!

Dia sih kayaknya nyantai-nyantai aja. Gue sendiri kali yang kelimpungan. Perasaan kanan-kiri salah. Kalo gue keseringan ngobrol pasti bakal dicap ada apa-apanya. Dan ini bakal jadi preseden buruk bagi FSI. Lho, anak FSI kok pacaran?

Kalo nggak, kok ya gue merasa sayang banget gitu. Kayaknya banyak banget yang bisa gue dapet dari pertemanan gue dengan Noer. Gue bisa meniru dan belajar banyak hal ttg keoptimisannya dia, tentang rencana-rencana ajaibnya, tentang tips-tips belajarnya, tentang pemikiran-pemikirannya yang terkadang agak ‘aneh’ dan melangit, tentang macam-macam pengetahuannya dari hasil pengeksplorasian berbagai buku, termasuk juga tentang kepeduliannya untuk membagi Islam ini pada semua. Gue akan merasa sangat kehilangan ini semua kalo menjauh darinya. Tapi gue juga mafhum benar akan rentannya hati ini dari serbuan penyakit yang dapat melalaikan. Sementara gue anggap ngobrol sama dia membawa kebaikan, padahal ternyata Allah benci banget sama perbuatan ini. Jangan-jangan alasan-alasan di atas sekedar pelegitimasian dari pengumbaran hawa nafsu yg nggak terkekang?

So, what could be the best solution?

Gue udah mesti sholat istikhoroh nggak ya?

Noer pernah bilang langsung ke gue kalo dia udah siap dan lagi nyari akhwat yg siap. He asked my opinion about getting marry. Sesuatu yang tadinya begitu jauh dari pikiran gue tapi sekarang sering jadi hal yang gue jajaki kemungkinan terjadinya. Dia bilang tinggal nyari kerjaan. Dia tanya, menurut Nurul gimana? Ya, gue jawab aja pake teori di buku: harus disegerakan tapi jangan tergesa-gesa. Kesulitan mungkin ada tapi jangan disulit-sulitkan. Nungguin gelar termasuk menyulit-nyulitkan nggak,ya? NURUL HALIDA, SE. Wisuda lalu bekerja. Suatu bayangan cerah orang tua akan masa depan anak. Apa mesti begitu? Apa kaya dan bahagia cuma bisa didapat lewat jalur itu? Tak bisakah misalnya, kami berjuang sama-sama dalam naungan ridho Allah krn ikatan yg syah, lalu memulai segala-galanya dari bawah? Entah kenapa gue merasa dia somehow akan berhasil karena keoptimisannya, karena tekad kuatnya, dan karena kelurusan niatnya.

Dia berniat menyegerakan untuk menjaga diri bukan, ya Allah? Hatiku terkesan karena itu. Ia mau bekerja keras dan menabung demi menyegerakan niat baiknya.

Aku baru 18. Belum cukup umur kata orang. Meski sebenarnya kedewasaan tidak semata-mata ditentukan dari umur.

Selasa, 24 Agustus 1999

Background

Ini nulisnya waktu Mas belum menyatakan terang-terangan nih. Udah mulai pdkt tapi belum eksplisit bilang. Jadi masih meraba-raba maksud dia dan ga mau ke GR an duluan. (See posting: 7 September, 8 Tahun Lalu).

Btw, karena sebaya, dulu aku manggil dia by his name only. Tanpa "MAS". Beberapa bulan sebelum nikah he insist me to call him Mas Noer. Tapi aku ga bisa. Bener-bener kagok. Kayaknya kerongkongan seperti tercekat. Kupikir ketika sudah sah sebagai istri nanti pasti otomatis langsung bisa. Kedua kalinya dia nyuruh pas mamanya datang. Seingatku bulan Desember 2000. Tapi tetep belum bisa. Kadang-kadang bisa sesekali, tapi keseringan lupa nya. Intinya masih sungkan banget lah. Jadi tetep bandel dan ngeyel tuh manggil namanya aja. Bukan maksud hati untuk nantang. Tapi memang ga bisa karena ga biasa. Ternyata sodara-sodara, di suatu malam di rumah teman ketika kita lagi merancang undangan nikah berdua, dia serius bicara dengan tampang yang tegas dan galak: "Jangan panggil Noer, panggil nya  Mas!!!" Oalah, langsung pias deh aku diseriusin dengan bentakan dan diultimatum gitu. Ga pernah-pernahnya aku liat wajahnya sesyerem itu. Mungkin karena dia udah geregetan juga kali ya, ni anak udah dibilangin beberapa kali kok ga ngerti-ngerti juga. Udah nyaris banget mo nikah (sekitar Jan 2001) masih manggil calon suami dengan namanya thok. Kesannya kurang berwibawa dan kurang respek. Setelah itu aku langsung diam dan ga banyak omong lagi. Ajaibnya, setelah dishock therapy gitu, baru deh besokannya lancar manggil Mas Noer :))