Archive for ◊ 2008 ◊

21 Jun 2008 What Do I Expect from A Child…
 |  Category: My Kids  | One Comment

Setiap orangtua pasti punya pengharapan atau ekspektasi terhadap anak-anak mereka. Kalau kupikir-pikir rasanya ini deh what I want the most for my children. Mmm…bingung juga, how to describe it in one sentence…? Aku mau anakku menjadi anak yang baik dalam kriteria Allah dan Rasul-Nya. Apakah itu cukup merangkum semuanya?

Terserah lah apa pilihan hidup mereka masing-masing, mau jadi apa pun mereka kelak, yang penting semua pilihannya masih dalam koridor Allah, asalkan mereka baik dalam timbangan dan pandangan Allah. Walaupun pastinya aku seneng kalau anak-anakku nanti jadi orang yang kaya harta. Tapi bagiku, sedehana asal jujur lebih baik daripada gelimang harta tapi curang.

Aku cukup merasa sukses sebagai orang tua kalau anak-anakku berakhlak baik, bisa mandiri tanpa merepotkan orang lain, syukur-syukur bisa berkelebihan untuk membantu yang lain. Bisa bermanfaat bagi orang lain dan bisa menunjukkan bahwa adanya mereka lebih baik daripada tiadanya. Mudah-mudahan pandanganku nanti ga jadi kabur ya, dalam artian misalnya, lebih membanggakan anak yang jadi pengusaha kaya ketimbang sodaranya yang jadi guru miskin (No offense ya Bapak/Ibu Guru, kalo di Indonesia ini kan kesejahteraan guru memang masih jauh dari cukup). Seharusnya mereka semua sama mulia di mataku asalkan mereka jujur dan memberi yang terbaik dari diri mereka sendiri bagi dunia ini.*Giving the very best of themselves to this world*

Kalo kata Nabi kan: "Khoirukum anfa’uhum linnaasi" alias "Yang paling baik di antaramu adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain".

What about you, My Friends…What do you expect from your child/ren?

05 Jun 2008 Makan tuh Gengsi!
 |  Category: My Husband, My Self  | One Comment

Sorry for being sarcasm. Abis ngomong2 soal finansial sama seorang teman yang dilanda kekhawatiran untuk menikah karena merasa belum mapan. Tulisan ini bukan tentang dia. Hanya terpicu darinya. Jadi inget pengalaman beberapa tahun silam. Saat kami masih tinggal di sebuah kota industri yang sedang pesat berkembang. Dari perbincangan antar ibu-ibu teman TK anakku, berkembanglah sebuah regular conversation. "Suaminya kerja di mana Bu?" And then bla…bla…bla… "Oh, tetangga saya juga kerja di sana. Bagian security. Hebat ya Bu kesejahteraannya. Habis bangun rumah. Rumahnya paling tinggi sendiri. Habis ngambil motor juga, and bla..bla..bla.." Dalam hati membatin: Wah security aja hebat banget ya, seharusnya ‘The Assistant Manager’ …? Hehe, spontan muncul sebentuk keangkuhan primordial.

Seingatku aku lantas cerita ke suami. Lupa apa yang dia bilang waktu itu. Intinya yang teringat: Jangan silau dengan apa yang dipunyai orang lain. Kita kan ga pernah tahu bagaimana keadaan ‘dapur’ orang lain. Begitu ujarnya. Kalo misalnya gaya hidup jauh melebihi penghasilan dan ga ada pemasukan dari sumber lain, ya…kita bisa menebak-nebak dari manakah asalnya ‘uang lebih’ itu. Credit card perhaps…? Ups, semoga bukan Anda!

We never know what happen behind the close door. Begitu bahasanya Oprah. Bukan rahasia kan kalo banyak orang yang terjebak dalam lilitan utang kartu kredit. Kartu sudah off-limit semua, bunga semakin membengkak, sementara kemampuan bayar, bahkan untuk tagihan minimum sekalipun, tak ada. Akhirnya terpaksa jual asset. Rumah akhirnya dijual murah karena BU. Walah…walah…Celaka 13!

Ada nasehat bijak dari Suze Ormon, O magazine editor. We always trying to impress everybody, bahkan yang kita ga kenal sekalipun, dengan menunjukkan apa yang kita punya. Ada 3 hal yang harus Anda pikirkan sebelum membeli sesuatu. Apakah sesuatu itu memang BAIK, apakah memang BUTUH, apakah memang BENAR. Means that kalau ternyata ga punya daya beli a.k.a UANG , berarti ga bener kalo memaksakan beli.

Lain soal if you can afford it. Tapi teteeep, gw punya issue (bahasa yang sering dipake Pak Noer) sama sesuatu yang berlebihan, though you can afford it. Suka ga habis pikir sama orang yang punya tas atau sepatu sampai berrak-rak. What a waste! (Bagi gw)

03 Jun 2008 Reason of Living
 |  Category: My Husband  | 3 Comments

Aku tak pernah berani mengintip sejenak untuk melihat isi dalam ‘sarang’ orang lain. Yang satu ini terpikir karena kata-kata anakku.

"Bunda, rumahnya Mas Anu berantakan banget. Baju berserakan di mana-mana. Rumahnya kotor banget."  Anak-anak memang kerap bebas lepas bertandang untuk bermain bersama. Dan kepolosannya membuatnya tak sungkan membeberkan laporan pandangan mata atas apa yang dilihatnya.

Lantas ini membuatku terpikir. Dasar melankolis sejati, tak pernah melewatkan sesuatu tanpa memikirkannya dalam-dalam. Andai aku dia, mungkin aku pun demikian. Keluarga ini terpecah karena Sang Bapak memilih hidup bersama wanita lain. Anak pertama ikut dengan Bapaknya karena Sang Ibu  tak mampu membiayai. Tinggallah si bungsu yang menemani ibunda.

"Dia ini semangat saya, Mba…"katanya padaku suatu kali, menunjuk pada si anak. "Kalau ga ada dia, ga tau gimana saya…" Bahkan di puncak depresinya, pernah tercetus keinginan untuk mengakhiri hidup.

Aku mengandaikan seperti dia. Bukan tragedinya yang miris, tapi menempatkan diri seolah kehilangan orang terkasih. Pasti semangat hidupku akan menurun drastis. Bahkan ditinggal beberapa waktu saja, semisal untuk tugas, ada suatu atmosfir beda terhirup. Jadi (agak) malas masak, (agak) malas bersih-bersih. Seolah semua kulakukan demi dia. Maka ketika dia tiada, seakan tak ada alasan untuk melakukan itu.

He’s my reason of living.

29 Apr 2008 Am I a Good Mother?
 |  Category: My Kids, My Self  | 4 Comments

Yes, I’m a good mother, dengan sifat amarah yang masih butuh banyak didikan. Yang belakangan paling sering menguji kesabaran adalah rengekan Aslam. Maafkan Bunda ya Nak. Kadang amarah dan rasa tak sabar begitu menguasai Bunda. Terlebih kalau Bunda tak bisa memahami permintaan dan rengekanmu. Yang sering terjadi adalah aku melotot padanya menunjukkan kemarahanku. But still, dia adalah anakku yang paling manis dan manja. Ya Allah, anugerahkanlah kesabaran padaku. Aku tak ingin jiwa polosnya terkotori oleh amarahku yang bodoh dan tak pantas.

I’m a good mother. Sebenarnya aku adalah ibu yang baik, dengan ketidaksempurnaan yang masih harus diperbaiki. Yang buruk bukanlah diriku  sejatinya, hanya sifat jelek yang harus kutanggalkan.

Sinead O’Connor  penembang Nothing Compares To You yang sempat hits tahun 80’an  menempel tulisan di kulkasnya, in order to remind herself: “It Doesn’t Have To Be Perfect!”

She’s a mother of  4, had been taken years of routine medication to repress her bipolar disorder. Suatu sindrom yang ekstrim: ekstrim kalo sedang naik atau manic tapi ekstrim juga kalau sedang down.

Anak  bahagia adalah bentukan ibu  bahagia. Yang bisa menerima dan mencintai diri sendiri apa adanya. Yang bahagia, puas dan merasa cukup dengan dirinya. Tidak berkeinginan menjadi seperti orang lain. Cukup menjadi diri sendiri.

I do enough. I have enough. I’m enough. 

21 Apr 2008 Adapt…Adapt…Adapt…
 |  Category: My Self  | 5 Comments

A friend asked me: "Repot ga sih punya anak 3?" Menurut lo??? Ya pasti repot lah. Apalagi kalo masih kecil-kecil kek gini.Kalo buat aku sekarang ini sih ga terlalu repot karena ada asisten yang bantuin, jadi ya…masih sempet lah ngenet sejam dua jam. Tapi kalo seandainya ga ada yang bantuin sekalipun, aku yakin somehow pasti bisa juga anak-anak keurus, meskipun banyak ‘tapi’nya. Misal: tapi gue jadi ga bisa tidur siang, tapi mungkin ngomelnya agak banyakan, tapi begitu maghrib langsung kaki pegel-pegel dan seluruh bodi berasa mau patah. But we’ll survive anyway…

Aku percaya manusia adalah makhluk yang fleksibel. Bisa beradaptasi dalam segala keadaan, apalagi kalau terpaksa. Legowo hidup dari penghasilan jutaan, tapi juga bisa bertahan dengan recehan. I’ve been there …

Alhamdulillah kali ini dapet asisten yang lumayan betah. Sudah 14 bulan ia di sini. Empat orang sebelum Rini, rekor terlama hanya 2 bulan. Dalam sejarah kerumahtanggaanku yang sudah 7 tahun lebih ini, 5 orang mungkin masih terhitung sedikit. Apalagi kalo masing-masing masa kerja mereka diakumulasikan. Yang pertama cuma kerja sehari (yang ini sih kayaknya emang ga niat kerja ya?) Yang kedua, 2 minggu, genit, banyak cowoknya, seneng keluar malam. Ketiga, 3 minggu, izin pulang kampung alasan keperluan keluarga, ga taunya jadi TKW di HongKong. Keempat, masih sodara jauuuh banget, tapi kangen anak dan ga mau ikut ke Surabaya.

Kalo ga ada PRT otomatis ga ada yang bisa diandelin. Kerjaan ya semuanya kita yang ngerjain. Dulu sih langganan nyabut ortu, kadang-kadang bokap, kadang-kadang nyokap. Berhubung adek2ku ketiganya udah lajang gede, jadi mereka bisa hidup dari telor goreng dan Indomie. Ke (resto) Padang sekali-kali kalo lagi ada uang.

Aku ga bisa tidur pules kalo kerjaan belum beres. Nonton TV mana sempat. Mendingan tidur. Kalo masih ada kerjaan nyisa, misal setrikaan masih ada, pasti terbangun tengah malam buat nyetrika. Pokoknya ga boleh ada kerjaan hari ini yang disisain untuk besok. Karena besok pasti ada lagi kerjaan baru. Makanya dulu terbantu banget pake catering, jadi ga harus repot masak dan cucian piring jadi sedikit. Suamiku untungnya orangnya ga rewel sama makanan. Apa aja cocok (atau dicocok-cocokin, demi istrinda…).Tapi lama-lama ya bosen juga. Ya…sekali-sekali masak. Sabtu – Minggu kadang-kadang makan di luar. Baju ga usah semua disetrika. Cukup baju pergi dan baju kerja aja.

Yang bikin jenuh dan capek sebenernya karena kita ga punya waktu untuk diri sendiri. Trus ga ada temen ngobrol. Mau ke salon, ga ada yang pegang anak. Mau senam, boro-boro bisa, kepikiran aja nggak dulu mah. Mo jalan ke mall, udah keburu males duluan karena repot bawa buntut serendel. Itu tuh yang bikin suntuk dan jenuh sebenernya. Cuma dapur, sumur, kasur (yang disebut terakhir susah terjadi pula kalo kebanyakan anak.. :)) )

Tapi kalo keadaan memaksa, ya apa boleh buat. Bisa kok, insya Allah. Sekali lagi, manusia adalah makhluk yang fleksibel. So, adapt…adapt…adapt….