Archive for ◊ 2009 ◊

27 Dec 2009 Happy Mother’s Day
 |  Category: My Family, My Self  | Leave a Comment

Life is so full of surprices especially when you are a mom, taking a snap of nap and leaving your toddler alone. Here’s my today story. Sebelum tidur siang sebentar aku membuatkan susu untuk dua balitaku, Aslam dan Halim. “Bunda, tidur sebentar ya Nak. Kalo pipis siram yang banyak ya. Jangan berantem terus ya.”

Dan ketika baru saja bangun, selalu ada saja ‘kejutan’ yang kudapati. Hari ini adalah bongkahan p*p yang tersebar di beberapa tempat. Kalau aku kilas balik kejadian yang dulu-dulu, kejutannya bisa beraneka macam. Pernah aku mendapati sofa yang penuh berlumur debu dan tanah, serbuk minuman yang berserakan lengket karena tercampur dengan air seni, atau bak mandi yang putih butek (bukan bening) karena dituangi hampir sebotol bedak, dan lain sebagainya.

It’s never been easy of becoming a mom. Tapi dalam kebanyakan kasus itu, karena tubuhku sudah segar sehabis istirahat, maka aku bisa membereskan semuanya dengan tenang. Yang membuat uring-uringan adalah ketika aku lelah misal karena keasyikan terlalu lama duduk di depan komputer. Too much of doing something can surely makes your life imbalance.

Aku menulis ini dalam rangka merayakan Hari Ibu yang tepat jatuh tanggal 22 Desember. Selamat Hari Ibu, semua. Selamat menikmati suka duka menjalani peran mulia ini…

Surabaya, Tuesday, Dec 22, 2009, 12.35

27 Dec 2009 Alirkan Apa Yang Kau Punya
 |  Category: My Self, Serba-serbi  | 2 Comments

Aku sedang berusaha mencermati bisikan-bisikan yang datang ketika ingin sedikit berbagi pada orang lain. Setan seperti tak pernah rela kita berbuat secuil kebajikan. Seolah ada 1001 alasan yang membenarkan/meligitimasi kita untuk urung melaksanakan niat baik itu.

Berikut contoh-contoh dalil setan yang terdengar jelas membisik di hatiku:

•“Jangan kasih yang itu, itu masih bagus” –> Akhirnya kita jadi hanya memberi suatu barang yang kita sendiri pun memicingkan mata padanya (ayatnya di Qur’an surat berapa ya? Ada yang mau melengkapi)

•“Jangan kasih itu, kamu mungkin membutuhkannya sewaktu-waktu –> Padahal barang itu sudah mengonggok lama di lemari, diingat pun tidak, tapi begitu mau diberikan ke orang, kok sepertinya sayang ya…(Hmm…dahsyat bener bisikan setan).

•“Jangan kasih yang itu, harganya mahal loh…” –> Akhirnya kita cuma rela ngasih barang yang murahan.

•“Ngasih segitu kebanyakan, segini aja juga sudah cukup…” –> Akhirnya kita jadi ngasih secuil, padahal punya seabrek.

•“Kamu sendiri masih kekurangan, kok sok-sok belagu ngasih orang lain” –> Kalo nunggu sampe kaya banget, lantas kapan mau berbagi sama orang lain? Padahal sekaya apapun, bisikan itu pasti akan selalu datang.

•“Jangan ngasih terus-terusan, ntar jadi manja dan ngandelin loh” –> Padahal itu urusan dan tanggung jawab orang yang bersangkutan. Urusan kita hanya semata dengan Allah. {(Bagaimana dengan para pengemis yang terorganisir dan seperti memanfaatkan kebaikan kita? Kalo ngomongin ini jadi panjang, soal ini dikecualikan dulu ya). Tapi aku percaya bahwa memang ada ‘ilmu memberi’: (bagaimana memberi yang tepat sasaran, memberi kail dan bukan ikan, tidak memberi dengan alasan mendidik, etc). Lagi-lagi karena takut terlalu panjang dan melebar, tentang ini sebaiknya dikecualikan dulu}

•Atau malah sebaliknya. Bisikan itu mengencourage untuk memberi banyak dengan niat ingin dipuji, riya, bangga diri. Wadow…susah bener ya jadi orang ikhlas.

Padahal kita telah diajari bahwa:

•Allah sebaik-baik Pemberi Rezeki, yang menanggung rezeki semua makhluk-Nya.

•Allah sebaik-baik Pemberi Ganjaran, yang membalas kebaikan hamba-Nya dengan berkali-kali lipat banyaknya.

•Apa yang di Sisi Allah itu akan kekal, sementara apa yang ada di tangan kita akan rusak binasa.

Tips of the day: lawan segala bisikan itu!

•Kalau dibilang ‘nanti’ berarti ‘sekarang aja!’

•Kalau dia bilang ’segini aja’, jawab: ‘segitu aja deh….’

•Kalau dia bilang ‘nanti kamu butuh…’ Jawab aja: ‘Nanti insya Allah diganti sama Allah dengan yang lebih baik.

You give it and don’t ever look back.

Saya juga masih belajar. Amalkan apa-apa yang kamu ketahui, Allah akan mengajari apa-apa yang tidak kamu ketahui.

Thursday, December 17, 2009, 06.40

09 Dec 2009 In What Should We Compete In?
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Aku ingat betul saat anak-anakku masih bayi, aku selalu mencatat rinci berat badan mereka tiap kali ke klinik atau posyandu untuk imunisasi. Bila berada bersama ibu-ibu lain, ada rasa bangga menyelinap ketika membandingkan bahwa anakku kelihatan lebih montok dibandingkan bayi-bayi lain. Ketika mereka beranjak besar, urusan berat badan nampaknya tak penting lagi.

Ketika aku sekolah dulu, urusan ranking dan pencapaian nilai akademis rasanya penting sekali buatku pribadi. Terus terang aku jarang belajar, tidak cinta belajar dan mengakui bukan seorang pembelajar. Belajarku rasanya hanya sekedar mengejar nilai. Tidak sampai ke esensi belajar itu sendiri. Hanya sekedar hapalan untuk mengisi kertas ulangan.
Dan ketika sudah ‘lulus’ seperti sekarang ini, urusan ranking yang dulu dikejar setengah mati, sekarang nampaknya tak penting lagi.

Sekarang apa lagi yang diperlombakan? AlQur’an menyitir bahwa manusia senantiasa berlomba-lomba dalam hal banyaknya harta dan anak. Bahasa gaulnya: “Oh ya, gue udah punya ini, ini, dan ini. Lo punya apa?” Atau: “Anak gue segini segitu , yang satu udah jadi ini, yang satu lagi jadi entu, yang satu lagi jadi anu.” Weleh, weleh… cappee deh… ga ada habisnya.

So, in what do we have to compete in? Fastabiqul khoiroot, bahasa Qur’annya. Berlomba-lomba dalam kebaikan (aku ga punya cukup ilmu untuk mengelaborasi makna sebenarnya dari kata ‘khoiir’).

Kata Nabi SAW: “Orang yang cerdik adalah orang mampu menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk kepada Allah.” (HR. Abu Daud).

Sesungguhnya, segala pencapaian di dunia tak ada artinya bila itu tak dapat menjadi bekal untuk kehidupan akhirat.

Thursday, December 03, 2009, 02.18

09 Dec 2009 God Bless You, My Dear …
 |  Category: My Husband, My Marriage  | Leave a Comment

Tepat pukul 1 dinihari saat aku menulis catatan ini. Badan lumayan segar, setelah tidur selama beberapa jam tadi. Mumpung ada ide, tak apalah bilasan kutinggal sebentar. Sebelum idenya mabur entah ke mana.

Sebelum Maghrib tadi aku menelpon Mas. Berharap ia tak berlama-lama di kantor karena badanku tak kuat lagi. Lelah. Akumulasi dari kekurangan tidur sejak kemarin. Nuri bangun tiap ditaro tapi tertidur pulas bila digendong. Barusan menangis kejer saat kutinggal Ashar sebentar saja. Ashar di penghujung waktu. Telfonku tak terjawab. Ternyata semenit kemudian mobilnya tiba di depan pagar.

Aku langsung ‘menyerahterimakan’ Nuri ke gendongannya. Baru teringat bahwa aku belum makan. Padahal tangki perlu diisi karena aku harus memberi ASI.. Sambil memaksa mata terus terbuka, aku menyuapi anak-anak makan malam setelah sebelumnya agak memaksa mereka bangun. Jadwal tidur mereka kacau karena susah menyuruh mereka untuk tidur siang. Akhirnya mereka tidur sore karena kelelahan.

Sekitar setengah tujuh aku pergi ke pulau kasur. Toh, ada bapaknya anak-anak yang bersedia stand-by. Jam sembilan aku baru bangun. Mata masih terbuka setengah. Belum poll rasanya. Tapi aku tahu Mas sudah kelelahan. Nuri ditaro dan langsung beranjak ke atas ke ruang kerjanya. Jam dinasnya usai. Sekarang giliranku. Sudah waktunya aku bangun. Sebenarnya kasihan juga dia. Setelah lelah di kantor seharian, pulang-pulang masih harus menjalankan ‘peran domestik’. Tapi kan memang seharusnya begitu. Saling bahu-membahu satu sama lain. Lantas aku menambah tidur 1 jam lagi sebelum benar-benar merasa segar, sambil mengeloni Nuri yang tertidur di sampingku.

Berputar-putar saja ceritaku. Sebenarnya yang ingin aku tekankan adalah, aku bersyukur punya suami yang begitu baik yang bersedia ringan tangan membantu tugas istrinya. Tak peduli sehebat apapun jabatan seorang lelaki di luar sana, ia haruslah dinilai dari bagaimana cara ia memperlakukan keluarganya. Istri dan anak-anaknya. Banyak lelaki yang kelihatannya hebat, tapi tak tahu bagaimana cara mengenakkan istrinya. Boro-boro membantu, memuji saja irit. Lebih parah lagi yang mentally abusive, menggerogoti mental istri dengan celaan dan cemoohan yang menjatuhkan harga diri. Mungkin suami macam itu lupa betapa beratnya tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu. Bukannya membantu, justru membebani pikiran dan perasaannya. Ini bukan soal KDRT. Sudah parah kalau suami memperlakukan istri kasar secara fisik.

Alhamdulillah, beratnya tugasku diperingan oleh kesediaan suamiku untuk membantu.
Kata Nabi SAW: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”

God bless you, Mas…

Saturday, November 21, 2009, 01.00

18 Nov 2009 What Is The Hardest Part of Having A Baby?
 |  Category: My Kids, My Self  | Leave a Comment

What is the hardest part of having a baby? Begitu pertanyaan dalam ruang pikiran yang tak henti berkelebatan. Susui bila haus lapar. Bersihkan badannya agar nyaman.Timang-timang bila menangis bosan. As simple as that. Sungguh aku takut terdengar sombong mengecilkan masalah. Karena setiap perkataan pasti diuji. Semua orang tahu beratnya jadi ibu. Pekerjaan yang tak mengenal kata libur dan cuti.

Tips of the day. Jangan pernah mencoba untuk sempurna. Kekecewaan itu timbul bila ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Cuek sedikit tak mengapa. Lupakanlah tentang rumah yang harus selalu bersih cemerlang. Aku mencermati bahwa aku selalu jadi kesal dan judes pada anak-anak bila kelelahan berulang kali menyapu tapi rumah kembali kotor lagi dan lagi. Hari ini moodku sedang bagus. I’am loosen up a little bit. Tetap tenang walau banyak barang berserakan tak pada tempatnya. Toh nanti ada waktunya juga semua kekacauan itu akan kubereskan.

Aku pernah menulis tentang how I manage my routines. Well, setelah kehadiran amanah baru, apa yang dulu rutin kujalani pastinya berubah sedikit banyak. Sekarang, kadang aku mengerjakan sesuatu hal single-handedly. Bukan kiasan tapi benar-benar single-handed karena tangan yang satu kugunakan untuk menggendong Nuri yang kebetulan bobot tubuhnya masih ringan. Menyapu dan mengepel mungkin saja bukan, dilakukan sambil menggendong?

Jadi, jangan risau dan stress Dear Mommies. You are not alone. Enjoy aja. Keep it simple. Jangan diperumit. Segala sesuatu itu terasa sulit kalau kita menjadikannya sulit. Kita pasti selalu punya cara untuk menghadapi apa yang ada di depan mata hari ini.

Wednesday, Nov 18, 2009, 11.00