Archive for ◊ 2009 ◊

15 Nov 2009 Jin Kura-kura
 |  Category: Refleksi  | 2 Comments

Aku ingin menulis tentang sedikit memoriku di waktu kecil. Di awal penayangannya dulu, aku dan adik-adik sangat antusias menantikan serial Dragon Ball yang ditayangkan setiap Minggu pagi. Lama-kelamaan, tentu saja kami menjadi bosan dengan ceritanya yang sangat panjang yang diputar kesana-kemari. Jadi semakin tak jelas juntrungannya.

Entah kenapa aku teringat pada Jin Kura-kura. Guru Sun Go Kong yang nyentrik dengan kacamatanya dan dikenal genit terhadap wanita. Di awal pengajarannya, Jin Kura-kura mempersyaratkan Go Kong membawa beban yang teramat berat di punggungnya. Mulanya Go Kong merasa sangat keberatan dan kepayahan. Untuk berjalan pun ia susah, apalagi berlatih jurus andalan.Tapi semakin hari Sang Guru terus menambah beban latihan muridnya itu. Lama-kelamaan Go Kong menjadi mahir berloncatan di atas pepohonan dengan membawa beban berat itu. Sampai tiba masanya Go Kong diperbolehkan melepas beban itu. Ajaib, ia langsung merasa tubuhnya ringan bagai angin. Ia bahkan mampu melompat setinggi langit dengan amat lincah. Tanpa sadar, kemampuannya telah meningkat berlipat ganda. Dengan diberi beban berat, ia ditempa menjadi kuat.

And there goes my story. Dulu, waktu baru punya 1 anak, aku merasa terikat tak bebas berbuat apa-apa. Repot sekali harus mengurus seorang anak bersamaan dengan menjalani kesibukan kuliah. Seringkali, anak kutitipkan ke orang tua kalau sedang ada quiz, ujian, atau tugas makalah. Lalu lahirlah anak kedua, ketiga, dan keempat yang baru lahir sebulan lalu. Memang repot dan melelahkan. Bohong kalau aku berkata mengurus 4 anak itu tidak repot. Melayani kebutuhan dan permintaan mereka yang seakan tak ada habisnya. But I survive anyway. Apa yang awalnya terasa amat berat, perlahan menjadi makin mahir kulakoni. Serupa Sun Go Kong dalam cerita di atas. Dengan diberi beban berat, aku ditempa semakin kuat. Alhamdulillah.

Sunday, November 15, 2009, 07.15

05 Nov 2009 Bagaimana Besok?
 |  Category: Refleksi  | 4 Comments

Aku mengalami ini tepat pada malam Senin, malam sebelum kepulangan orangtuaku ke Jakarta. Nuri terjaga agak lama. Wajar, dia sudah tertidur pulas seharian. Ia tidur bila kugendong, dan membelalak begitu dibaringkan. Tengah malam itu aku sudah sangat lelah. Berharap suamiku dapat bergantian menjaga. Tapi rupanya saat itupun dia sangat lelah dan tak mampu bangkit dari tidur. Lantas aku menggendong sambil duduk menangis, memohon kekuatan dari Dia Sang Maha Kuat.

Di ruang tivi, Aslam dan Halim tidur ditemani kakeknya. Halim yang memang manja kepada kakek neneknya rewel tak henti-henti. Tidurnya tak tenang. Minta ini dan itu. Minta ‘putih dingin’ alias air putih dingin. Minta garuk. Minta elus. Minta susu berulang kali. Aku saja sampai sebal mendengarnya. Tapi ayahku melayani sebisa mungkin dengan sabar.

Lantas terpikir: Bagaimana besok seandainya orangtuaku sudah tak ada? Rasanya tak sanggup kalau aku harus menjaga semuanya sendirian. Padahal hanya malamlah waktu istirahatku. Siang hari ada setumpuk pekerjaan menunggu. Terlebih, usai kepulangan orangtuaku, aku benar-benar jadi single fighter. Bagaimana besok seandainya…? Bagaimana besok sekiranya…? Tiba-tiba aku sadar telah berpanjang angan. Setan telah mempertakutiku dengan kekhawatiran akan masa depan. Aku telah tak berpijak pada kekinian. Mengapa harus menangisi kesusahan akan datang yang belum tentu terjadi? Lucu sekali aku ini. Lantas aku menghapus air mataku. Ketakutan akan hari esok kadang membuat kita menjalani ‘sekarang’ dengan kurang kebersyukuran.

Kenyataannya, keesokan malamnya, Halim tidak serewel yang aku kira. Ia hanya terbangun sesekali. Jauh dari yang sebelumnya aku khawatirkan. Alhamdulillah ya Allah, atas pelajaran hari ini.

Thursday, November 05, 2009, 17.34

03 Nov 2009 Focusing on What Important
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Terus terang, aku agak eneg mendengar berita yang terus-menerus membahas tentang Cicak vs Buaya, tentang penahanan BSR dan CMH. Belum lagi ajakan untuk bergabung dengan grup ini dan itu di fesbuk yang seringkali aku ga ngerti esensinya itu apa. Kemarin mendadak terselip pikiran: Saat ditanya di akhirat nanti tentang “Man Robbuka?”, apakah ‘hot news’ yang kita ributkan di dunia ini memang benar bermakna bagi kehidupan akhirat nanti. You can call me ignorant, tidak pedulian atau apa lah. Yang jelas aku malas untuk ikutan latah, ikut arus, dan mengurusi apa yang bukan urusanku.

29 Oct 2009 Tak Layak Berkata Lagi
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Suatu pagi, entah kapan persisnya (harusnya aku mengingatnya sebagai salah satu pancang dalam hidupku) aku menuntashabiskan membaca catatan seorang pencari di jalan Allah yang biasanya terlewat begitu saja. Setelah usai, aku menangis karena kedalaman hikmahnya. Catatan berisi hikmah dari para penemu diri. Tentang untaian Kalam Qudsi dari Allah, tentang keteladanan RasuluLlah, tentang tenggelamnya seorang hamba dalam Allah, tentang keRahman Rahiman Shifat Allah. Dan tentang segala sesuatu yang ujungnya mengingatkan tentang Allah.

Ada yang lain setelah itu. Bagai tuangan segar yang mengisi kekosongan batinku. Membuatku menoleh pada-Nya. Membuatku merasa betul-betul diamati. Segala hal lalu seperti hanya jelas terjadi antara Dia dan aku. Tak penting yang lain lagi. Aku menjadi segan menulis yang remeh temeh lagi. Aku sontak malu pada segenap kesombongan diri ini, pada segenap kelalaian yang bertumpuk mengotori fitrah jiwa.

Tuhan, segalanya hanya antara Kau dan aku. Aku tak layak berkata lagi.

Thursday, October 29, 2009, 23.15

10 Aug 2009 Aku Tak Mengapa Tuhanku
 |  Category: My Self  | One Comment

Akhirnya tangisku tumpah juga. Minggu ini demikian berat. Halim mulai panas sejak Senin malam. Panasnya tidak berlangsung terus-terusan hingga Sabtu ini. Tapi naik turun tak menentu. Tidak terlalu tinggi memang. Hanya kombinasi dari batuk, pilek, dan disusul mencret belakangan, membuatnya kehilangan nafsu makan dan minum susu sehingga badannya langsung menyusut. Hanya teh manis yang sesekali dimauinya. Tak hanya Halim, Alfath juga nyaris kehilangan suaranya, meski selain itu dia baik-baik saja. Aku dan ayahku juga sempat panas pusing selama 2 hari dan hari ini masih tersisa batuk dan pileknya. Mas tampaknya juga mulai menyusul terserang pilek. Hanya Aslam yang, alhamdulillah, sejauh ini masih tetap sehat ceria.

Sakit ini membuat Halim begitu manja. Ingin selalu berada di dekatku. Terus memanggilku. Minta ditemani dan dipeluk. Pagi, siang, sore, malam. Aku berusaha menurutinya. Tapi biasanya setelah 2-3 jam berselang, bila dia masih tetap rewel juga, aku jadi kehilangan kesabaran dan mulai menyahutinya dengan nada meninggi. Aku capek. Berharap bisa beristirahat sejenak dalam jam tidur yang singkat. Kondisi kehamilan yang semakin membesar juga membuatku agak susah tertidur. Perut semakin mengencang bagai ditarik. Adek sangat lincah menendang dan bergerak kesana kemari. Kram kaki juga makin sering menyerang. Ligamen melunak sehingga badan mudah pegal. Juga tuntutan berkemih yang semakin sering.

Secara mental, pikiranku juga agak terbebani untuk menyelesaikan beberapa surat dan dokumen yang menjadi tanggung jawabku selaku sekretaris di organisasi wali murid sekolah Aslam.

Aku sadar, ini semua adalah cara-Nya untuk membuatku semakin tengadah tangan kepada-Nya. Menundukkan hati, merendahkan diri. Memohonkan semua hanya kepada Allah Ta’ala. Mungkin ini salah satu pembersihan diri dalam rangka menyambut Bulan Suci Ramadhan yang penuh berkah. Karena ada dosa-dosa yang tidak dapat terhapus kecuali melalui tempuhan ujian dan musibah.

Akhirnya tadi pecahlah tangisku. Sebuah penyerahan diri utuh pada-Mu. Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecuali dari-Mu. Aku menangis tapi aku tak mengapa ya Robb. Aku tak sedih. Hanya ingin merebahkan tubuh kecilku kepada-Mu.

Written: Saturday, August 08, 2009, 22.51