Archive for ◊ 2009 ◊

12 Jul 2009 How I Manage My Routines
 |  Category: My Kids, My Self  | 5 Comments

Banyak hikmah yang kurasakan sejak kehilangan asisten pada 13 April 2009 lalu. Sungguh, di balik kejadian itu aku sangat bersyukur pada Allah yang berkenan membolak-balik keadaanku dari bentuk semulanya yang stagnan menjadi lebih hidup dan bermakna. Dia berkenan memangkas ranting kering tak berguna dalam kehidupanku, sehingga pohon diri ini dapat tumbuh lebih segar dan subur.

Sebelumnya hariku berjalan sangat santai karena hampir semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh asistenku. Mulanya pekerjaan memasak masih aku yang mengerjakan sendiri, tapi begitu dia sudah pintar, dia pun dengan sukarela mengambil alih tugas itu. Aku paling hanya mengerjakan tugas ringan sesekali. Waktuku banyak habis di depan komputer. YM ngalor-ngidul, browsing sana-sini, tidur, menemani anak. Meski banyak waktu luang, tapi tak banyak pekerjaan produktif yang kulakukan. Aku malas membaca buku dan mandul pula dalam menulis. Dan tanpa kusadari emosi batinku seringkali terkuras karena suka makan hati pada asisten yang tentu saja lumrah punya kekurangan karena dia manusia. AstaghfiruLlah…

Setelah mbakku tidak ada, beginilah ritme baruku dalam menjalani rutinitas harianku. Setelah Sholat Shubuh, kalau tidak kesiangan, aku akan belanja ke pasar kecil yang hanya digelar tiap pagi di depan komplek perumahan. Meski pilihannya agak terbatas –seperti daging yang jarang ada- tapi inilah pasar terdekat yang mudah kujangkau dalam waktu singkat. Pulang belanja aku akan menyiapkan sarapan. Kalau aku bangun agak kesiangan, aku akan menyiapkan sarapan dulu, baru kemudian belanja kalau anak-anakku yang kecil sudah bangun. Kalau mereka belum bangun, biasanya aku akan berjaga menunggu Pak Penjual Sayur Bermotor yang biasa lewat di depan rumah. Dulu, waktu mesin cuciku sempat rusak, spare waktu antara menunggu anak-anakku terbangun dan Alfath serta ayahnya telah pergi beraktivitas, kugunakan untuk mencuci. Tapi sejak mesin cuciku sudah ‘sembuh’, aku hanya tinggal menjemur pakaian yang telah dicuci malam sebelumnya. Aku memang biasa memperkerjakan mesin cuciku malam hari karena pasokan air yang deras dan lancar sehingga tidak merusak mesin.

Setelah krucil – Halim Si 2 Tahun dan Aslam Si 3,5 Tahun- bangun, aku memandikan mereka. Memberi susu dan sarapan. Dan setelah itu memulai aktivitas memasak. Belakangan aku sering memakai jasa catering. Terus terang aku sangat terbantu bila memesan catering. Ada 3 pekerjaan yang bisa ku-skip. Aku tak perlu belanja, tak perlu memasak, juga tak perlu mencuci peralatan memasak. Tentu saja ada pula kekurangannya. Kadang menu tak cocok, terlalu sedikit sehingga tetap harus menambah dengan membeli makanan lagi di luar, dan aku juga tidak bisa memastikan bahan makanan apa yang masuk ke perut keluargaku. Apakah cukup sehat seperti bebas MSG, dlsb.

Oh iya, terus terang saja, hingga kini setelah 8 tahun menikah, rasanya progressku dalam memasak tak banyak berubah. Masih setia dengan menu-menu sederhana dan simpel, yang kadang membosankan. Tidak rumit dan sophisticate. Bayam, kangkung, sawi, sop, aneka balado dan tumis-tumisan dan sebangsanya yang berputar-putar itu-itu saja. Tambahan lagi anakku juga suka pilih-pilih makanan, sehingga pilihan bahanku makin terbatas. Masak ikan ini itu Alfath ribut amis. Tempe gak suka. Dan lain sebagainya. Aku juga tak pernah bikin kue. Cemilanku buat anak-anak paling-paling seputaran jelly, agar-agar, pudding, es krim dari bubuk instant. Haha…ini ceritanya sharing atau buka aib sih 🙂

In the middle of the cooking process yang dimulai sekitar jam 9-an itu , aku biasanya menghidupkan computer dan modemku. Mencari sedikit hiburan lewat facebook, Multiply dan cek e-mail. Untuk YM, sekarang nyaris tak pernah kulakukan karena sangat menuntut fokus perhatian yang intens dan tak bisa ditinggal. Anak-anakku pada saat itu biasanya asyik main, menyusun-nyusun mainan dan memanggilku untuk melihatnya hasil karyanya bila sudah jadi. “Bunda…Bunda…liat deh, Acam bikin rumah…”, atau “bikin keretaan” atau “bikin robotan” atau asyik menonton VCD anak-anak, atau asyik main pasir atau main air di luar.

Jam setengah satu Alfath pulang sekolah. Dulu, PC di rumah langsung berpindah tangan begitu dia pulang. Tapi sekarang karena ada komputer satu lagi, jadwalku jadi agak leluasa. Halim biasanya tidur jam segini. Aslam kadang tidur kadang tidak setelah kusuapi makan siang. Alfath juga kadang masih kusuapi barengan Aslam. Sehabis itu aku mandi dan Sholat Dhuhur. Setelah itu aku istirahat tidur siang, karena kalau kurang istirahat biasanya aku jadi uring-uringan, jadi sensitive dan gampang marah. Apalagi dalam keadaan hamil begini. Aku sangat butuh istirahat sejam dua jam.

Agar tidurku tenang, pintu rumah kukunci dam Halim kupakaikan diapers. Karena Alfath jarang sekali tidur siang, adik-adiknya pun terkadang suka skip their nap time atau hanya tidur sebentar saja. Tapi sering juga para krucil itu tidur bareng aku. Sementara Alfath sibuk main game computer setelah sholat Dhuhur atau menggambar kalau dia sedang ingin. Kadang dia tertidur juga bila kelelahan.

Aktivitas soreku mulai sekitar jam tiga atau setengah empat. Yaitu: Sholat Ashar, memandikan anak, nyapu dan mengepel, masak nasi, mengangkat jemuran, menyuapi anak. Biasanya selesai sekitar jam 5 sore atau menjelang Maghrib (Maghrib di Sby sekitar jam 17.30). Mencuci piring biasanya makan waktu beberapa menit saja. Karena kulakukan sering-sering tiap ada yang kotor jadi tak sampai menumpuk.

Nah, jadwal sore yang sibuk ini juga yang suka jadi pikiranku. Kalau dulu anakku Halim tiap sore diajak main ke luar oleh Si Mbak. Sekarang dia tak pernah main jalan-jalan ke luar, hanya main di rumah saja. Apa Halim ga suntuk ya seharian di rumah saja?

Sehabis Sholat Maghrib aku terkadang baca Al-Qur’an dan mengajari Alfath mengaji (sayangnya sekarang sering bolong-bolong, Alfath suka beralasan dia sudah belajar ngaji di sekolah, *mungkin akunya juga yang malas mengajar sehingga tak berkeras memaksanya. Don’t mean to blame on him. Hehe..*). Kegiatan baca Qur’an ini kadang kulakukan tengah malam. Satu kebiasaan baikku yang sejak dulu kulakukan adalah, aku tak pernah mengaji tanpa membaca terjemahan. Walaupun sedikit-sedikit mengerti Bahasa Arab karena sempat mengenyam bangku pesantren dulu, bagiku mengaji kurang afdol kalau sekedar membaca teks Arabnya saja. Walaupun hanya mengaji beberapa ayat yang penting kita tahu artinya.

Setelah Maghrib biasanya Si Bapak pulang kantor. Setelah makan malam, Mas biasa main, bercengkrama dan besenda gurau bersama anak-anak.

Aku biasanya membuka komputer lagi setelah keadaan santai. Pekerjaan yang termasuk shift malamku adalah: mencuci piring untuk terakhir kalinya, menyetrika baju yang tak pernah alpa kulakukan tiap hari agar tak menumpuk, dan memasukkan cucian ke mesin cuci. And tomorrow, I’m ready for the new day … 🙂Memulai siklus ini sekali lagi.

Sepanjang malam aku akan terbangun beberapa kali untuk membuatkan Halim susu bila ia terbangun dan minta susu. Dan pada waktu tengah malam beginilah, di suasana yang sunyi ini, biasanya aku bisa dengan lancar menuangkan ideku dalam tulisan. Rasanya aku lebih produktif menulis setelah menjalani hidup yang aktif.

Aku berterima kasih pada-Mu ya Allah…atas waktu dan tenagaku yang telah Kau karyakan.

Tentu saja aku masih jauh dari sempurna dalam menjalani peranku sebagai ibu, istri dan pribadi. Masih banyak sekali kekuranganku. I didn’t do gardening. I didn’t do dusting kecuali bila telah diingatkan suami akan betapa telah kotor dan berdebunya perabotan kami yang cuma sedikit itu. Aku tak bisa ingat kapan terakhir kali aku membaca bacaan serius dan bermutu. Aku suka menyerah pada instant junkfood yang kurang sehat tapi enak untuk anak-anakku. And I do a little bit too much facebooking…. 🙂

Forgive me. I’m only human…

Saturday, July 11, 2009, 22.55

04 Jul 2009 Life Plan
 |  Category: My Self, Oprah Show, Refleksi  | 4 Comments

Ketika seorang teman mengatakan bahwa ia telah membuat rencana pribadi bagi dirinya untuk 10 tahun ke depan, aku lalu bertanya-tanya sendiri rencana pribadi yang bagaimana yang kuinginkan untuk diriku sendiri.

Pernah juga seorang teman menanyakan apakah aku masih berkeinginan untuk kuliah lagi. Dan kujawab bahwa sampai saat ini belum tercetus keinginan untuk itu. Keadaan sekarang memang belum memungkinkan untuk itu. Aku mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi andaipun mereka sudah agak besar, aku juga tidak dapat memikirkan ide lain -setidaknya sampai saat ini- kecuali bahwa kemungkinan aku akan menambah anak lagi sampai usia produktifku usai. Let say 40 years may be. So, college may be out of option. Tapi alasan terutama bukan itu. Bukan karena aku saklek terlampau antusias menambah jumlah anak. Aku hanya belum menemukan minat pada suatu bidang yang begitu kuat yang bisa menarikku kembali ke bangku sekolah.

My passion is in writing. Personal writing. Dan rasanya aku tak perlu terdaftar dalam kelas jurnalistik manapun untuk sekedar mampu menuangkan isi kepala dan hatiku. Just write what I want to write.

Sampai saat ini belum terpikir mau dan akan mengikuti kelas-kelas informal yang dapat menambah skill tapi bukan menjadi minatku, seperti kursus memasak, membuat kue, atau menjahit. Mungkin suatu saat kelak. Tapi lagi-lagi aku tak punya timeline untuk itu.

Sebenarnya aku dalam posisi yang nyaman sekali untuk memulai suatu rencana yang besar. Insya Allah anak keempatku akan lahir ketika usiaku belum lagi menginjak 29. Aku rasa belum terlambat untuk memulai merintis mimpi ketika usiaku memasuki 30. Empat adalah jumlah yang cukup untuk menyemarakkan suasana rumah. Just stop right there. Focusing only on raising them, tanpa menambah anak lagi, dan mulai meluangkan waktu untuk pengembangan pribadiku. Lagipun rasanya suamiku sangat supportif untuk mendukung apapun rencanaku baik secara mental maupun finansial. Tapi lagi-lagi, sampai saat ini aku tidak terpikirkan hal lain selain berada bersama anak-anak. Dan pelajaran tentang bagaimana mendampingi anak-anak dengan baik adalah pelajaran yang bisa didapat secara informal dari sumber manapun dan melalui pengalaman pribadi sehari-hari.

Modal paling penting untuk mendampingi anak-anak adalah kesabaran. Andai ada sekolah sabar, aku pasti ingin terdaftar ke dalam situ. Karena yang kuinginkan adalah aku bisa lebih sabar menghadapi dan melayani anak-anakku. Memperlakukan mereka selayaknya harta yang paling berharga dalam hidupku. Tapi masalahnya, sabar tidak ada sekolahnya. Kecuali mungkin ada teorinya dalam acara rohani atau pengajian yang kita ikuti. Tapi sabar adalah sesuatu yang harus dijalani secara nyata dalam penggemblengan hidup sehari-sehari.

Jadi sampai saat ini belum ada kesimpulan tentang kemana sebenarnya arah rencana hidupku (personal life plan). I just go with the flow. Menjalani hariku sebegini adanya. Berusaha memupuk dan menambah kesabaran setiap hari. Sometimes I succeed, sometimes I failed. Jatuh bangun dalam perjuangan itu setiap hari.

Mungkin peranku di luar tidak banyak. Sumbanganku ke masyarakat tidak nyata. Tapi setidaknya kehadiranku besar bagi anak-anakku sendiri. Barangkali melalui peranku sebagai ibu anakku kelak bisa memberi kontribusi peran yang lebih nyata ke dunia luar. Semoga.

Kemarin pagi baru saja kudengar Oprah berkata. Ada banyak orang-orang besar yang namanya tercantum dalam sejarah. Tapi ada lebih banyak lagi orang besar dengan peran besar yang namanya bahkan tak tercantum dalam buku sejarah manapun. Aku ingin termasuk ke dalam situ.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa memberi sedikit arti bagi sejarah keberadaanku.

Saturday, July 04, 2009, 00.48

28 Jun 2009 Have You Comb Your Hair Today?
 |  Category: My Self  | One Comment

Have you comb your hair today? May be this is just a simple question. Sudahkah Anda menyisir rambut hari ini? Tapi coba tanyakan ini pada ibu rumah tangga yang tidak harus keluar rumah setiap hari. I bet, tidak semuanya akan menjawab ‘sudah’. Dan aku mengaku termasuk satu di antaranya. I don’t know, is this just me as a lazzy stay-at-home mom yang –sayangnya- tidak begitu memperhatikan penampilan, ataukah ada ibu-ibu lain yang juga mengalami hal demikian? Yang kutahu ibuku seringkali begitu. Membiarkan rambutnya kusut tak tersentuh sisir dan hanya mengikatnya seadanya saja. Dan pernah seseorang yang kukenal juga berkata: “Nyisir aja ga sempet…” So I guess, I’m not alone in this.

Yang ideal tentu saja setiap hari menyambut suami dengan penampilan terbaik. Wajah kinclong, bermake-up bila perlu, rambut tertata rapi, tubuh segar dan wangi sehingga enak didekati dan dipeluk mesra (though my husband still did this eventhough I’m rather ‘smelly’, hahaha. Thank you, Honey…). Entahlah, meski tahu yang ideal seperti apa, kadang rutinitas seolah membuat terlupa. Atau mungkin ini hanya sekedar masalah habbit, dan fokus perhatian yang memang tidak ke arah situ (buktinya, toh, aku masih sempat facebooking, hehe).

Tapi mungkin akan datang masanya aku memang benar-benar tak sempat untuk sekedar berkaca di depan cermin. Contohnya mungkin kelak dengan hadirnya my upcoming baby. Pasti sempat sebenarnya menyisir rambut yang notabene cuma menghabiskan waktu beberapa menit saja. Hanya saja, karena itu seringkali berada di luar prioritas, maka seringkali terlupa atau terlewatkan begitu saja.

Memang kadang tidak mudah menyeimbangkan peran sebagai ibu, istri dan diri sendiri. Diri sendiri seringkali be put behind everything else. Jadi prioritas yang melulu belakangan, bahkan kadang tak masuk daftar prioritas. Too shame to admit.

Jadi jangan ditanya ya, kapan terakhir kali aku ke salon (bahkan ingat kapan pun aku tidak). Karena rambutku tersentuh sisir pun sudah untung.

So, ladies especially mommies, have you comb your hair today?

Sunday, June 28, 2009, 09.14

24 Jun 2009 Istimewa
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Hati bisa demikian cepat berbolak-balik. Sesaat merasa sedemikian kering, tapi kemudian terasa sejuk bagai disirami hujan. Ini kejadian berharga yang kualami hari ini.

Tadi sore, seperti biasa, aku berhadapan dengan serangkaian tugas dan pekerjaan rumah. Kondisi badan cukup segar, karena baru saja beristirahat siang. Hanya secara emosi memang merasa agak rapuh karena sedang bosan dengan rutinitas yang ada. Kadang merasa bahwa semua yang kulakukan tiap hari tanpa henti bagai tak ada sambungannya ke ‘atas sana.’ Life is just a bunch of routines. Meski secara teoritis kita pasti tahu bahwa ini semua harus dilakukan karena Allah. Tapi tetap saja aku tidak bisa memakan teori itu untuk menekan kekeringan yang tengah terasa. Kita bisa ‘tahu’ tanpa bisa ‘merasa’. Padahal ‘rasa’ itulah yang penting.

Puncaknya terasa saat aku yang baru saja usai sholat Ashar mendengar anak-anak- Aslam dan Halim- berantem seperti yang biasa mereka lakukan. Lumrah, namanya juga anak-anak. Halim menangis kencang, padahal ia tengan minum susu. Dan seperti kebiasaannya, ia seringkali muntah kalau menangis kencang. Akhirnya memang itulah yang terjadi. Lantas kumandikan ia dan abangnya sekaligus. Di dalam kamar mandi mereka berdamai. Saling mengelus, berjabat tangan dan tertawa kembali. Pemandangan yang indah.

Usai itu aku membersihkan muntahan dan mengepel. Tiba-tiba ada rasa sesak yang mendesak. Haru yang entah datang dari mana. Rasanya ingin menangis saja. Feel so emotionally drained. Lelah. Tapi tidak secara fisik.

Tidak, jangan sarankan aku untuk lantas memperkerjakan asisten rumah tangga. Secara fisik aku insya Allah masih kuat. Justru aku merasa lebih attached ke anak-anak dengan menjadi single fighter seperti ini. Bukan itu sebabnya. Hanya saja emotional drain ini terjadi karena aku gagal menemukan ‘sambungan ke atas’. Disorientasi, ringkasnya.

Tapi akhirnya, air mata itu tak jadi tumpah, meski walau tumpah pun mestinya tak apa. Pekerjaan terus berlanjut ke yang lain-lain. Cuci piring dan menyuapi anak-anak.

Usai Sholat Maghrib aku tadarusan sebentar. Dan terjadilah kejadian penting kedua. Bagai dibalasi jawaban langsung oleh Dia Ta’ala, yang lantas membuatku benar-benar tak bisa menahan tangis. Bahkan sampai kinipun saat menulis ini. Hadiah indah ini terasa saat aku sampai di Surat Shaad ayat 75: “Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang telah menghalangi kamu untuk sujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”

Ah, aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya menangis. Secara instan aku merasa langsung menemukan sambunganku ke atas. Aku merasa istimewa. Karena aku manusia, yang Dia ciptakan dengan Kedua Tangan-Nya.

Terima kasih atas pelajaran indahmu hari ini ya Allah…

Wednesday, June 24, 2009, 18.25

19 Jun 2009 “Ah, Masku Tersayang…”
 |  Category: My Husband  | 3 Comments

“Pernah berantem ga selama menikah?” Pertanyaan ini sering sekali mampir di telingaku. Mungkin dikarenakan di antara teman-teman seangkatan aku termasuk yang paling dulu menikah, jadi mereka ingin belajar dengan menggali dari pengalamanku.

Dan selalu kujawab: “Pernah, tapi sangat jarang sekali.” Dan memang demikian adanya. Berantem yang agak besar pernah terjadi waktu kami baru-baru menikah dulu. Tak banyak. Mungkin hanya sehitungan sebelah jari tangan. Namanya saja berumah tangga. Sekali dua kali pasti ada toh saat suami istri tidak cocok dan berselisih paham. Dan kurasa itu memang perlu. Agar masing-masing pihak bisa lebih mengerti, memahami dan mendalami satu sama lain. Membongkar sifat dan tabiat jelek dari masing-masing dengan berkaca pada cermin pasangan yang jujur menampakkan apa adanya kita.

Dan sejauh delapan tahun lebih kebersamaan kami, tentu saja aku banyak belajar. Tidak, jangan anggap aku sebagai orang yang super sabar yang mampu menahan amarah dalam setiap situasi dan kondisi. Atau orang yang mampu menelan kemarahan dan menahan kekesalanku saat berhadapan dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Tidak. Belum. Sayangnya aku belum sampai pada tahap itu dan masih harus banyak belajar.

Jujur saja, alasan kenapa kami jarang sekali berselisih adalah terutama karena suamiku yang amat pandai sekali menahan emosi. As many people know, dia punya kecerdasan emosional yang tinggi. There goes saying: “Takes two to tango” Benar bukan? Always takes two to start a fight.

Aku sungguh masih punya banyak sekali sifat keras kepala dalam diriku. And he knew that pretty well. Aku bukan tipe istri yang selalu “iya Mas” saat dia memberitahu dalam hal apapun. Selalu ada: “Tapi kan, begini….” Atau: “Gini juga bisa…” And I guess, dia sudah bisa menerima diriku yang begini ini sebagai nasib, yang berusaha dia ubah secara perlahan dengan cara yang halus.

He knows pretty well how to treat me. This is just a simple example. Kalau misalnya dia ingin dibuatkan teh saat tengah malam masih sibuk bekerja, dia tidak memintaku dengan ‘direct order’ yang pastinya akan terasa berat bagiku. Dia membahasakannya dengan sangat santun. “Bunda, cape nggak? Mas mau teh manis donk…” Duh, duh, istri mana yang bisa menolak diminta demikian.

Pernah suatu kali aku marah-marah padanya lewat SMS, waktu itu seingatku ia sedang pergi ke Jakarta selama 2 hari: “Mas, telfon kok ga bisa keluar, Mas lupa bayar tagihan ya? Mana internet ga bisa lagi. HPku mati baterenya abis, chargernya Mas bawa lagi. Gimana sih?”
Dan lucunya, respon balasan dia singkat saja: “Jangan mengeluh.”
Aku jadi geli membacanya (tentu setelah hati agak mendingin). Tapi bukan Nurul kan kalo tidak memberi respon balasan. “Iya, tapi kalo ada emergency gimana…” Dasar…dasar…istri berbudi yang pintar menjawab.

Dalam hal menghadapi anak juga Beliau sering menasehatiku dan memberi masukan. Tentang ini, insya Allah akan kutulis dalam posting terpisah lain kali.

Thank you for all, Honey…God bless you…

Written: Friday, June 19, 2009, 10.20