Archive for ◊ 2009 ◊

07 Jun 2009 Lost Tempered
 |  Category: My Family, My Kids, My Self  | One Comment

Anak-anakku bermain bagai tak ada lelahnya hari ini. Berulang kali aku gagal menyuruh mereka tidur siang seperti biasanya. Sampai masuk petang, mereka masih asik bermain bagai tak kenal kantuk. Main air di kamar mandi. Menceburkan lego ke dalam kloset dan bak mandi. Setelah kumarahi dan kuminta keluar, arena bermain pindah ke halaman berpasir. Kenakalan khas anak-anak sebenarnya, tapi entah kesambet setan mana, aku langsung keras membentak mereka: “Ayo tidur !! Dari tadi Bunda suruh tidur ga ada yang mau tidur…” Aku mulai bertanduk. Kemarahanku mengeskalasi begitu cepat. Aslam kurenggut keras dan kupaksa pipis, lalu kugendong ke atas kasur. Halim pun demikian. Ia menangis keras dan bergegas turun segera setelah kuangkat ke kasur. Tapi kuangkat lagi ke tempat tidur meski ia terus meronta. Alfath dengan ketakutan juga ikut naik tanpa dikomando. Mas yang sedang di ruang atas langsung turun demi mendengar kegaduhan itu. Ia segera berinisiatif mengambil alih anak-anak dan mengeloni mereka, sementara aku secepat kilat menyambar sapu dan membersihkan seluruh rumah. Benar saja, mungkin karena kelelahan, dalam lima menit semua langsung terlelap. Mas lalu berbaik hati turun tangan mencuci piring (mudah-mudahan bukan karena takut pada istri yang sedang panas, karena sungguh aku tak memintanya melakukan itu). Dalam sekejap semua beres karena aku bekerja bagai kesetanan. Menyapu lantas mengepel bersih semua. Setelah itu langsung Sholat Maghrib.

Dalam sholat aku menangis menyadari kekasaranku pada buah hatiku. Menyesali renggutan kasar dan bentakan yang tak sepantasnya mereka terima. Aku lantas mengunci pintu. Ingin menikmati tangisku sendiri dengan memandangi, mengelus dan menciumi mereka. Tak kubukakan pintu meski Mas mengetuk ingin masuk. Duh, wajah-wajah polos dan lugu itu…ampuni aku ya Allah, telah mengkhianati amanah yang Kau anugrahkan padaku. Zalim sekali diri ini.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ya Allah… aku sungguh berdosa telah menyakiti hati mereka, telah menorehkan luka di jiwa bening mereka. Kata orang, penyesalan mendalam itu datang terutama ketika memandangi wajah damai anak-anak saat tertidur lelap. Dan itu juga yang kurasakan. Kupandangi wajah polos mereka satu persatu. Ya Allah…betapa jahatnya aku. Padahal jika mereka sakit, aku akan menangisinya dan bahkan rela bertukar tempat dan menanggung rasa sakit yang mereka derita. Tapi kenapa kini, justru aku yang menorehkan sakit yang meski tak tampak zhahirnya tapi pasti membekas dalam pada jiwa mereka. Allah…ampuni aku. Maafkan Bunda ya anak-anakku sayang. Mudah-mudahan lain kali, kasih sayang dan akal sehat Bunda akan mengalahkan kemarahan Bunda.

Saturday, June 06, 2009, 22.06

06 Jun 2009 Bunga Rumput
 |  Category: Serba-serbi  | Leave a Comment

Ada orang yang hidupnya kelihatan sangat biasa saja. Begitu datar dan tenang. Tak pernah menonjol di keramaian. Never been under the spotlight. Tak pernah jadi peran utama, hanya seperti figuran yang ada tiadanya tampaknya tidak terlalu berpengaruh. Pencapaian hidupnya biasa saja. Personifikasinya sangat umum tanpa ciri khusus. Kalau aku melihat beberapa teman yang seperti ini, aku sering menganalogikannya sebagai bunga rumput. Begitu simpel dan sederhana. Tidak seperti mawar yang merah merekah yang menarik perhatian setiap orang yang lewat. Tidak juga seperti melati yang memikat insan dengan harumnya. Hanya bunga rumput yang ringan dan mudah tertiup angin. Mungkin si empunya diri juga berpikir demikian.

Namun sejatinya tidak ada sesosok jiwapun yang kehadirannya tidak membawa arti. Kita hadir di dunia ini, must be for some reasons. Walaupun bagi orang kita biasa saja, tapi kita mesti memaknai kehidupan ini sebagai berkah. Menggali apa yang terbaik darinya. Mensyukuri dengan dalam adanya kita sebagai manusia.

Bunga rumput: dia seolah terlupa, tapi ada.

Written: Saturday, June 06, 2009, 03.31

05 Jun 2009 Suatu Sore yang Cerah
 |  Category: My Family, My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Baru saja saya akan menuntaskan mengepel bagian belakang rumah, Si Bungsu yang tadinya asik main di luar langsung menghambur menaiki sofa dengan membawa pistol mainan yang penuh pasir. Tak lama Aslam, Si Tengah, ingin ikut masuk dengan kaki berpasir pekat. Sebelum itu terjadi saya keburu menghalaunya dengan suara keras dan menyuruhnya untuk cuci kaki di keran luar dan lalu segera masuk ke kamar mandi.

“Duh capeknya…!” Padahal tadinya mau selonjoran sebentar meluruskan kaki sambil menikmati lantai yang bersih dan wangi. Lima menit pun tak apalah. Mumpung mereka masih asik main di luar.

Setelah itu Si 3,5 Tahun dan Si 2 Tahun saya biarkan main air sebentar di kamar mandi sembari saya menuntaskan mengepel. Selesai memandikan dan memakaikan baju saya mengunci kamar sebentar agar bisa tenang Sholat Ashar karena belakangan Halim suka sekali menaiki punggung ketika sujud.

Usai sholat saya merenung sebentar dan mencoba berpikir jernih. Lantas pikiran waras datang. Kalau ingin mengeluh, memang banyak hal yang bisa dikeluhkan. Tapi kalau saja kita ingin bersyukur, maka sungguh lebih banyak hal lagi yang bisa disyukuri. Shit happens, indeed. But it’s OK.

Setelah sholat, ada rencana untuk mengajak mereka ke luar. Sore hari begini, atau sering juga pagi hari, kadangkala saya mengajak anak-anak bersepeda mengelilingi komplek mencari angin. Biasanya lantas mampir ke mini market depan perumahan untuk membeli cemilan lalu mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmatinya bersama-sama. Ya, kalau mau bersyukur memang banyak hal yang bisa (bahkan harus) disyukuri. Toh, saya masih bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak. Kala jenuh, bisa bermain di luar. Kalau ingin jajan, bisa jajan tanpa harus memikirkan soal uang. Sementara ada ibu lain yang harus bekerja di luar demi memenuhi ekonomi keluarga. Harus kehilangan sebagian waktu bersama anak-anak karena terpaksa. Tentu ibu-ibu yang bekerja demi aktualisasi diri saya kecualikan dari konteks ini.
Kalaupun saat ini keadaan memaksa saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa asisten, toh sudah ada alat-alat modern yang memudahkan. Ada mesin cuci untuk mencuci baju. Things can be a lot worse. Kalau mesin cuci rusak memang mau tak mau harus mencuci sendiri. Tapi toh nasib saya masih lebih baik daripada ibu-ibu yang terpaksa harus mencucikan baju orang lain dari rumah ke rumah?

Sekali lagi, banyak hal yang harus disyukuri.

Akhirnya sore ini kami tak jadi ke luar. Sore yang cerah ini saya habiskan di rumah saja dengan menulis ini sambil menyuapi anak-anak. Sebelum ide menulis kabur (seperti yang seringkali terjadi bila tidak segera menuliskannya). Pun mereka sedang asik main bertiga di rumah sambil nonton Spongebob. Si Kecil lalu minta susu. Si Sulung meminta es teh manis dan Si Tengah minta dibikinkan keduanya. Dan saya melayaninya dengan tenang di sela-sela menulis.

Friday, June 05, 2009, 16.57

29 May 2009 Seprai
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | 3 Comments

I’m not so much into something. Aku senang segalanya seadanya saja. Pagi ini aku terbangun jam 3 pagi dan membenahi beberapa pekerjaan yang ada. Usai mencuci piring dan menyetrika, aku membereskan pakaian ke dalam lemari. Hmm….rasanya lemari pakaian kami sudah agak kepenuhan. Padahal kupikir-pikir, kami termasuk jarang menambah koleksi lemari kecuali ketika Hari Raya saja.

Sebagai seseorang yang suka memikirkan sesuatu dalam-dalam, hal itu lantas menarikku ke dalam alam pikiran lain. Setelah kupikir-pikir, aku cukup nyaman dengan keadaanku saat ini. Rumah mungil yang sederhana. Memadai, simpel, mudah dibersihkan, but feels so homy to us. Barang-barang fungsional yang kami beli demi fungsi nyatanya. Jangan tanyakan aksesoris, karena kami tak punya aksesoris. Juga jangan tanyakan koleksi sepatu, karena kami tak akan membeli yang baru sebelum yang lama rusak atau kekecilan. Dan bisa ditebak, warnanya pasti hitam, karena warna itu netral dan bisa masuk dalam semua busana.

Aku pernah singgah ke rumah seorang kerabat dan segera mengidentifikasikan diri bahwa gayaku sama sekali berbeda dengan gayanya walau usia kami sebaya. Aku tidak bermaksud mengkritik, karena tiap orang punya gaya dan selera masing-masing. Dia punya puluhan koleksi sepatu dan sandal serta selemari penuh boneka-boneka lucu yang bagiku mungkin hanya menuh-menuhin rumah saja. ‘Nyemak’ (membuat seperti semak), demikian orang Medan biasa menyebutnya. Juga pernak-pernik lucu seperti bingkai-bingkai mungil dan indah yang karena terlalu banyak maka diletakkan bertumpuk begitu saja sehingga tak tampak lucu lagi bagiku.

Memiliki suatu barang terlalu banyak, berarti harus siap juga dipusingkan dengan perawatan dan penyimpanannya. I once read in a newspaper, aktris senior Rae Sita punya 3-4 kamar di rumah mewahnya yang difungsikannya sebagai gudang untuk menyimpan barang-barangnya yang masih bagus tapi tak terpakai seperti karpet dan barang-barang lainnya. Dan dia masih saja mencari kamar tambahan lain yang siap dialihfungsikan lagi menjadi gudang berikutnya. Hmm…mungkin barang-barang tak terpakai di rumahnya bisa menjadi harta karun di tangan orang lain.

Yang terjadi padaku sebenarnya jauh lebih sederhana. Tapi itupun kadang-kadang agak membuat kewalahan karena lemariku nyaris tak bisa lagi memuatnya. Yang ingin kubicarakan di sini adalah soal seprai yang bagi sebagian orang mungkin tak seberapa jumlahnya.

Kami mendapat 2 seprai sebagai kado pernikahan kami. Dan 1 seprai yang kudapat sebagai isi hantaran saat akad nikah. Selama 2 tahun itu mencukupi. Lantas ada tetangga yang menawari seprai secara kredit. Entah kasihan atau merasa butuh, akhirnya aku mengambilnya. Tak lama, ada saudara dekat yang butuh uang yang mau menjual seprai barunya yang didapat dari hasil arisan seprai. Jadilah 5 kepunyaan kami. Lantas menjelang kepulangan ke Medan untuk menghadari pernikahan adik, kami memborong 3 buah. Satu untuk adik, satu untuk paman yang menikah juga, dan satu untuk kami pakai sendiri: sebuah seprai sisa ekspor yang berbahan adem tapi berharga diskon.

Menjelang pindah ke Surabaya, ada mall yang baru buka di Cikarang yang menawarkan satu set bed cover plus seprai dengan harga amat murah. Aku membelinya. Meski kemudian si seprai jarang terpakai karena ternyata bahannya panas.

Lalu aku membeli 1 bed cover lagi. Tidak dengan seprai pasangannya, karena merasa sudah punya cukup banyak. Terakhir, saat kami pindah ke rumah yang sekarang, ibu-ibu PKK di perumahan yang lama datang bersilaturrahmi dan dengan berbaik hati memberikan sebuah kado berupa seprai lagi. Jadi sekarang ada 8 seprai bergantian dipakai untuk hanya sebuah kasur double di rumah kami. Ini di luar beberapa seprai untuk bed single anak-anak dan (mantan) asisten. Entah berapa aku lupa jumlahnya seprai single ini. Mungkin 6 atau 7. Sebagian punya Mas waktu masih kost sebagai mahasiswa dulu. Intinya, bagi kami ini sudah sangat mencukupi. Meski kadang tergiur juga untuk menambah yang baru lagi saat berjalan-jalan di pertokoan. Tapi aku yakin, itu lebih karena keinginan dibanding kebutuhan. Sederhana dalam kelebihan memang tak kalah sulit dibanding bersabar dalam kekurangan.

Sebagai penutup, ada kisah berhikmah tentang Nabi Isa a.s yang kubaca di buku Cinta Bagai Anggur karangan Syeikh Muzaffer Ozak.

“Nabi Isa as melepaskan dunianya. Ia menceraikan dunia ini sepenuhnya. Pada akhirnya, hanya ada dua buah benda yang dimilikinya-sebatang sisir yang biasa ia pakai untuk menyisir jenggotnya, dan sebuah gelas yang dipakainya untuk minum.

Sampai kemudian, suatu hari, Nabi Isa as berjumpa dengan seorang lelaki tua yang menyisir jenggotnya dengan tangan, maka ia pun membuang sisirnya. Lalu ia melihat seorang lelaki lain yang meminum air dengan tangannya, maka ia pun membuang gelasnya.”

Friday, May 29, 2009, 05.28

25 May 2009 Jalan Santai Minggu Pagi
 |  Category: My Family, My Marriage, Refleksi  | Leave a Comment

Hari Minggu pagi aku dan Mas jalan santai berdua saja. Mumpung ada ayah ibuku yang tengah bertandang ke sini yang bisa menjaga anak-anak. Ternyata begitu menyegarkannya aktivitas sederhana itu. Menyegarkan badan, menyegarkan jiwa, menyegarkan pikiran, juga menyegarkan hubungan kami berdua.

Setiap orang yang sudah berumah tangga pasti sesekali merasakan kejenuhan dalam hubungan mereka, anak kadang menyita seluruh fokus dalam kehidupan sehingga kita lalu kehilangan waktu untuk pribadi, kehilangan waktu sebagai pribadi.

Pagi itu, dengan santai kami membicarakan rencana-rencana kami ke depan. Apa yang Mas ingin lakukan, bagaimana kira-kira cara mewujudkan rencana itu. Apa yang ingin kulakukan dan suamiku lantas memberi masukan bagaimana melakukannya. Yang mengejutkan adalah, di luar kebiasaan, kami sama sekali tidak memperbincangkan soal anak. Hanya tentang diri kami sendiri. And we not feel sorry about that. Bahkan merasa harus melakukannya secara berkala, artinya melepaskan topik tentang anak dari hidup kami sesekali. Dan kurasa itu bukanlah sifat egois. Bagaimanapun orang tua adalah pribadi yang harus bertumbuh secara utuh, terlepas dari peran mereka sebagai ‘ayah’ dan ‘ibu’.

Salah satu cara orang tua mengayomi dan membuat anak merasa aman adalah dengan menunjukkan hubungan kasih sayang yang kuat di antara mereka. Tapi kadang kesibukan menggerus sedikit demi sedikit hubungan itu. Seolah ‘aku’ dan ‘kamu’ tiada dan harus selalu melebur menjadi ‘kita’.

Sungguh menyegarkan bicara hati ke hati seperti ini. Menukik ke dalam jiwa. Karena seringkali yang kami perbincangkan hanya soal keseharian yang bersifat permukaan saja. Seperti, “Apa kegiatan di kantor hari ini?” atau “Bagaimana anak-anak hari ini?”, “Mau jalan-jalan kemana kita weekend besok?” Dan banyak lagi soal keseharian lainnya. Itu masih bagus karena berarti masih terbangun komunikasi dalam rumah tangga dan tidak saling cuek satu sama lain, tapi kurasa sesekali, kita harus menukik lebih dalam dari itu.

Written: Monday, May 24, 2009, 02.46