Archive for ◊ 2009 ◊

21 May 2009 Hidup Kami di Surabaya
 |  Category: My Family  | Leave a Comment

Tak terasa, hampir 2,5 tahun kami bermukim di Kota Pahlawan ini. Kota yang terkenal dengan hawa panasnya yang menyengat. Sejauh ini, kami sekeluarga cukup merasa betah dan nyaman berada di sini. Meskipun nyaris tidak ada sanak saudara yang mendampingi, dan ada kerinduan pada kampung halaman yang sesekali menyelinap di hati.

Honestly, I can’t say that I love Surabaya more than Jakarta. Jakarta, sebagai kampung halamanku, pastinya punya tempat tersendiri yang istimewa di hatiku. Jakarta dengan segala kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupannya yang sangat metropolis itu. Jakarta yang tak pernah absen dari kemacetan. Jakarta yang langganan banjir di beberapa tempat bila musim penghujan tiba. Jakarta yang diklaim sebagai tempat yang paling enak dan gampang buat cari duit.

But I can’t complain also about Surabaya. Surabaya adalah kota besar juga sehingga boleh dikata hampir semua yang ada di Jakarta, pasti ada pula di Surabaya. Dalam segi fasilitas, Surabaya tidak kalah dibanding Jakarta. Ditambah nilai plus bahwa, di Surabaya jarang kutemui kemacetan seperti yang lazim ada di Jakarta. Di Surabaya, biaya tol, bensin, dan parkir dapat kami tekan dengan jumlah yang signifikan di banding di Jakarta. Setelah, kupikir-pikir, kualitas hidup kami pun lebih baik dibanding waktu tinggal di Jakarta.

Bagi sebagian orang, hidup di Jakarta bisa berarti tua di jalan. Karena sedimikian banyaknya waktu yang dihabiskan sehari-hari untuk pergi dari rumah ke tempat kerja. Suamiku sempat mengalaminya. Waktu itu sempat selama hampir 6 bulan Mas harus pulang pergi Depok-Cikarang yang memakan waktu tempuh 2-2,5 jam sekali jalan. Berarti kira-kira 5 jam dalam sehari waktu yang dihabiskan di jalan menuju tempat kerja. Pergi pada 5.30 pagi dan baru kembali ke rumah paling cepat pukul 8 malam. Itu pun jarang, yang sering adalah pukul 9 ke atas. Dengan jadwal seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari intensitas pertemuan dengan anak? Bahkan mencari waktu pun susah. Harus pergi begitu pagi, dan kembali ke rumah begitu larut. Pergi ketika anak masih terpejam dan kembali saat anak sudah tertidur pulas. Aku rasa, bukan kualitas hidup seperti itu yang kami inginkan. Hidup memang harus bekerja, tapi hidup (harusnya) ga melulu tentang kerja. Anak memang butuh uang, tapi tak hanya uang. Anak juga butuh waktu, perhatian, dan kasih sayang.

Sekarang di Surabaya ini, waktu tempuh suamiku ke kantor hanya 15 menit. Dia biasanya pergi jam 7 pagi dan kembali ke rumah sehabis Sholat Maghrib di kantor. Kadang memang lebih lama, tergantung kesibukan kerjanya. Tapi kadang juga lebih cepat. Tapi secara umum, kualitas dan kuantitas waktu pertemuan dengan anak jauh lebih baik. Karena stamina tubuh tidak terkuras di jalan, di rumah masih merasa segar untuk bermain dengan anak-anak. Sungguh membahagiakan melihat anak-anak bercanda suka ria di tempat tidur bersama ayahnya. Sebuah kebahagian masa kecil yang tak terbeli dan takkan pernah kembali.

14 May 2009 Penurunan IQ Ibu, Benarkah?
 |  Category: Serba-serbi  | Leave a Comment

Entah pernah kubaca di mana, tapi katanya, berdasarkan riset, ibu yang tengah hamil atau baru melahirkan kerap mengalami penurunan IQ beberapa point untuk sementara waktu. Entah karena pengaruh hormon, atau karena pengaruh psikologis dalam menghadapi situasi dan kondisi yang sama sekali baru dengan kehadiran sang bayi.

Entah benar, atau tidak, yang jelas aku juga pernah mengalami saat-saat krisis itu. Pada saat anak keduaku berusia kurang lebih 3 bulan, aku sempat merasa seperti orang linglung yang asing dengan keberadaanku sendiri. Merasa bagai hidup di negeri antah-berantah, feeling disconnect dengan kehidupanku bagai mengawang-awang dan tidak menapak di bumi. Merasa bodoh, agak pikun dan lebih cepat lupa. Apakah ini termasuk gejala penurunan kecerdasan atau gejala baby-blues syndrome saja?

Suatu kali kami sekeluarga menjenguk teman yang baru saja melahirkan. Sang ibu yang kutahu seorang yang sangat cerdas mengatakan bahwa ia terlupa hari dan tanggal dan hanya ‘ngeh’ dengan jam karena berkaitan dengan jadwal menyusui bayinya.

Entahlah, mungkin saja berlebihan bila dikatakan itu adalah salah satu contoh dari penurunan kecerdasan sementara seorang ibu. Mungkin itu hanya dikarenakan ia ‘tenggelam’ dalam dunia barunya yaitu sang bayi yang memerlukan perhatian penuh yang menyita hampir seluruh waktu sang ibu. Mengubah ritme kehidupan menjadi sama sekali baru.

Kalau memang benar ada penurunan kecerdasan secara temporer itu, maka pastilah ada aspek yang meningkat di sisi lain. Naluri keibuan, kesabaran, kepekaan dan perasaan kasih sayang pasti makin meningkat dan terasah dengan hadirnya sang buah hati.

But the good news is, itu semua hanya bersifat temporer. Selang beberapa waktu kemudian, semua akan kembali normal. Tentu saja, bukankah menjadi seorang ibu itu memang harus cerdas?

07 May 2009 Bosan
 |  Category: My Self, Refleksi  | One Comment

Have you ever get bored with your life? With your daily activities? Kurasa tiap orang pasti pernah mengalami kebosanan.

Belakangan ini, a friend of mine, a single career woman usia tiga puluhan mengeluhkan kebosanannya padaku. Dia sebenarnya mencintai pekerjaannya, menyukai apa yang dia kerjakan sehari-hari. Hanya saja kerap menginginkan adanya perubahan signifikan dalam tahapan kehidupannya. Dan dia merasa menikah adalah salah satu solusinya. Mungkin ia telah bosan menjalani hidup dengan bekerja di kantor 9 to 5, Senin sampai Jum’at, and then receive a paycheck in the end of month. Begitu terus, sampai akhirnya dia sadar usianya akan memasuki 30, tanpa seorang pendamping hidup pun menemani.

Well, sebenarnya bukan soal keadaan temanku itu yang ingin kugaris bawahi. What I want to say is, kebosanan bisa melanda siapa saja, termasuk orang yang sudah menikah sekalipun. Siapa bisa jamin bahwa kebosanan temanku itu akan lantas menghilang begitu dia menikah. Kebosanan pasti datang menyapa sekali dua kali dalam hidup. Dan itu sangat wajar. Aku dengan hiruk-pikuk kehidupanku sebagai istri dan ibu dari 3 anak pun sesekali dilanda kebosanan juga. Kadang suka kehilangan arah dan orientasi tentang kemana semua ini akan dibawa. Bosan mengerjakan pekerjaan yang itu-itu lagi yang niscaya akan terus ada sebagai bagian dari siklus hidup. As long as you live, you obviously have to deal with it.

Kita memang perlu melihat ke ‘Atas’, kepada Suatu Zat yang lebih besar dari kita agar tidak terjebak dalam kehidupan kita yang sempit. Sometimes I felt like we live in a small cubicle. Ada sebuah scene di film Men in Black yang membuatku tertegun sejenak. Simpel, tapi ‘dalam’ menurutku. Simple but powerfull. Yaitu saat Agent Kay (Tommy Lee Jones) menempatkan suatu bangsa yang sangat mini –entah apa namanya aku lupa- ke dalam sebuah loker stasiun yang jadi semesta mereka. Tempat mereka hidup dan beraktivitas. Kemudian di bagian nyaris akhir film itu, hal tersebut dipertanyakan oleh Agent Jay (Will Smith), bagaimana mungkin mereka dapat menjalani hidup di semesta yang begitu kecil. Yang lantas dijawab oleh Agent Kay dengan menendang sebuah pintu di belakang mereka, dan lalu tampaklah kaki-kaki besar yang membuat kita jadi merasa sedemikian kecil.

Yang seketika membuat nyess dadaku adalah mendadak tergambar sebuah perspektif baru bahwa, kita manusia ini kecil loh, dan ada sesuatu yang lebih besar di luar kita dan karenanya buat apa terjebak dalam semesta kita yang kecil. Kita mungkin kadang merasa bosan mengerjakan yang itu-itu saja, yang selalu berulang dari waktu ke waktu, rutinitas yang seakan tak ada habisnya. Tapi memang beginilah hidup yang harus dijalani. Sampai akhirnya kita menemukan apa sebenarnya yang jadi misi keberadaan kita di dunia ini, the reason of our being.

So, bosan sesekali wajar lah. Letih sesekali boleh lah. Hanya jangan sampai kehilangan perspektif mengenai grand design dari nikmat keberadaan kita di dunia ini, yang membuat kita merasa hidup ini less of no value except a bunch of routines.
*Sebenarnya ini nasehat ke diri saya sendiri yang kadangkala dilanda kebosanan*

Sebagai penutup, mari simak untaian ayat Qur’an yang penuh hikmah ini:
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk (67): 1-2)

Thursday, May 07, 2009, 03.47

26 Apr 2009 Tanpa Asisten
 |  Category: My Family, Serba-serbi  | 4 Comments

Tak terasa, sudah hampir 2 minggu sejak aku ‘kehilangan’ PRT ku yang sejak 2 tahun lebih ini menjadi bagian keluarga kami. Mulanya aku cukup shock dengan kepergiannya yang sangat mendadak, yang bahkan tidak kuduga 1 jam sebelumnya. Tiba-tiba she got all her things packed, ready to go. Maka kemudian aku tertatih menyesuaikan diri lagi.

Along the way, sampai saat ini, sudah 2 orang datang menawarkan diri untuk membantuku setengah hari tanpa menginap. Yang satu menawarkan untuk bekerja kira-kira 2-3 jam sampai pekerjaan seperti mencuci, menyetrika, dan beres-beres selesai. Sedangkan yang satu lagi, yang baru malam tadi datang kepadaku, menawarkan setengah hari penuh dari siang sampai sore hari. Hmm…tawaran yang menarik. Suprisingly, ketika penawaran itu datang, aku justru ragu dan mempertanyakan diri lagi apakah aku benar-benar telah sangat membutuhkan jasa mereka. Sejauh ini aku merasa masih cukup enjoy dengan kesendirianku. Anak bungsuku sudah cukup besar (26 bulan), sehingga sudah bisa kutinggal bermain sendiri bersama abangnya, sementara aku mengerjakan pekerjaan rumah. Yang masih merepotkan hanya masalah BAB dan BAK yang masih suka sembarangan. Aku sering menaturnya setidaknya sejam sekali. Tapi ketika tiba ‘hari-hari hujan’ alias hari di mana dia sering sekali BAK dan aku mulai merasa stress ketika berualang kali harus membersihkannya, aku menyiasatinya dengan memakaikannya pospak. Sesekali saja.

Ada masanya ketika aku mudah sekali stress ketika tak ada bantuan asisten sama sekali. Seingatku mungkin pada saat anak keduaku masih berusia beberapa bulan. Rasanya seperti dalam keadaan ‘red alert’ setiap saat. Sangat susah untuk sejenak merasa santai tanpa dikejar-kejar pekerjaan rumah yang menyusul satu setelah yang lain. Seingatku aku tak bisa tidur nyenyak sebelum semua pekerjaan beres. Dan itu artinya mugkin saja aku masih memaksakan diri untuk menyetrika pada jam 11 atau 12 malam, ketika sebenarnya badan sudah remuk redam.

But I take it more easy now. Aku menyempatkan diri untuk istirahat siang hari manakala memang merasa butuh untuk istirahat. Masa bodolah dengan pekerjaan yang segunung dan rumah yang berantakan bak kapal pecah. Toh ketika badan ini sudah segar setelah istirahat, semua insya Allah akan kuselesaikan juga dengan cepat, efektif dan efisien. Anak-anakku juga selamat dari omelanku yang rentan keluar terutama ketika badan sudah capek. Dan sekarang, aku bisa tidur malam dengan nyenyak bahkan ketika masih banyak piring kotor tergeletak in my kitchen sink, atau banyak baju kusut di bak setrika. Meskipun kadang-kadang akan kuselesaikan juga setelah bangun tidur jam 2 atau jam 3 dini hari. Dengan catatan kalau memang mata ini bisa terbuka dan sedang tidak merasa malas. By the way, aku memang pasti terbangun setiap malam rata-rata setiap 1- 1,5 jam sekali untuk membuat susu untuk bungsuku yang semalaman bisa minum sampai 8 botol. And guess what, seseorang memang bisa be pushed to the limit ketika dalam keadaan terdesak. Dulu, aku selalu melaundry bed coverku. Sekarang hitung punya hitung sudah 4 kali aku mencucinya sendiri. Literally by my own hand, karena memang mesin cuciku tengah rusak. Meski secara simpel saja yaitu dengan merendamnya dengan pewangi. Karena tidak terlalu kotor, hanya terkena sedikit rembesan pipis dari diapers Halim yang sudah kepenuhan.

Well, sampai saat ini, setidaknya sampai hamilku belum besar, insya Allah aku masih sanggup bekerja sendiri. Masa’ sih punya 3 anak aja ga bisa, sedangkan nenekku yang beranak 13 saja bisa.

By the way, aku masih sempat buka facebook dan YM sesekali kok sebagai pelepas lelah. Just enjoy…

Sunday, April 26, 2009, 02.59

07 Apr 2009 Cinta dan Pernikahan
 |  Category: My Marriage, Refleksi  | 7 Comments

Kiranya, cinta seperti apa yang dapat meyakinkan kita untuk melangkah hidup bersama? Sepanjang hidup, mungkin tak hanya sekali kita jatuh cinta. Kita bisa jatuh cinta berkali-kali, pada orang yang berbeda-beda. Namun akhirnya, pada siapakah kita akan menambatkan hati? Mengikat janji setia sehidup semati?

Amat jarang rasanya orang yang bisa menikah dengan cinta pertamanya. Kebanyakan cinta pertama adalah cinta monyet. Cinta dari luapan hormon remaja yang tengah meledak-ledak. Banyak yang hanya sekedar coba-coba. Meski ada juga yang benar-benar serius dan membawa kesan mendalam dalam hidup.

Cetusan ide tulisan ini adalah ketika berulang kali melihat tayangan rekaman prosesi pernikahan Dewi Sandra dan Glenn Fredly di Pulau Dewata yang belakangan sering diputar di infotainment.

Keduanya tampak jelas tengah mabuk kepayang dilanda cinta. Ada senyum merekah, wajah berseri dan mata berbinar kala berjanji setia mengucap ikrar pernikahan. Siapa nyana kalau akhirnya pernikahan itu akan berakhir dalam waktu yang terbilang singkat. Hanya 3 tahun saja.

Entah mengapa, tiba-tiba mendadak timbul suatu kekhawatiran di hati ini. Bukan, sama sekali bukan berkaitan dengan pernikahanku. Hanya sekelebatan menangkap ide bahwa, betapa pernikahan ibarat gambling terbesar dalam hidup. You can get a good result sometimes, but there’s a possibility to loose either. You can trapped with the wrong person. Or even the very wrong person. Seseorang yang akhirnya kita putuskan untuk tidak dapat meneruskan hidup bersama lagi. Berpisah untuk kemudian masih dapat berteman baik mungkin masih wajar, tapi tak jarang ia kemudian berbalik menjadi seseorang yang sangat kita benci. Seolah terlupa kenangan bahwa kita pernah berbagi ranjang bersama dengannya. Berbagi mimpi dan harapan hidup bersama.

Kadang cinta yang begitu besar dan membara di awal pernikahan, tidak dapat menjadi pengikat lagi manakala madu pernikahan telah habis di reguk. Apakah cinta bisa sedemikian mudahnya luntur?

Jadi berpikir, Duh Allah, andaikata aku belum bersuami, akankah aku gentar memasuki gerbang pernikahan manakala melihat banyaknya fenomena perceraian terpampang di depan mata. Seolah yang terlihat hanya pahit getirnya pernikahan saja. Seolah mempertahankan pernikahan adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat.

Lantas jadi merasa sangat beruntung sekali dengan rejeki jodoh yang Allah turunkan kepadaku. Dalam usia yang relatif muda. Dengan pemikiran yang belum begitu rumit dan ruwet. Dengan jodoh yang begitu baik, melebihi bayanganku sebelumnya. Rasanya pernikahanku ringan saja kujalani. Jauh lebih banyak suka ketimbang duka.

Soal perjalanan cinta, pengalamanku memang teramat pendek. Jadi sebenarnya kurang bisa menceritakan based on experience tentang kebimbangan yang dihadapi seseorang ketika akan menikah. Belum banyak makan asam garam sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Bukankah banyak yang mempertanyakan tentang: “Bagaimana kita bisa yakin bahwa si dia adalah orang yang tepat untuk kita nikahi?”
“Bagaimana untuk bisa yakin bahwa mahligai pernikahan yang kita jalani ini nantinya akan berjalan langgeng dan bahagia?”
“Akankah cinta bisa mengatasi semua masalah dalam pernikahan?”
Bukankah itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul sebelum memutuskan untuk menikah.

Aku memang cinta padamu. Tapi tidak sebegitunya cinta untuk rela menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Karena cinta dan pernikahan sungguh suatu hal yang sangat berbeda. Cinta menuntut kesempurnaan. Sementara dalam pernikahan, akan sangat banyak kita jumpai ketidaksempurnaan. Cinta hanya berhenti sebatas perasaan hati berbunga-bunga ketika mendengarkan kekasih mengucap selamat tidur dan mimpi indah lewat telefon. Tapi menikah berarti bersedia untuk mendengarkan dengkurannya sepanjang malam.

Cinta mungkin berarti berjalan berdua berbagi tawa sambil makan es krim bersama. Dunia serasa milik berdua. Sementara pernikahan berarti bagaimana kekompakan berdua diuji menghadapi kerewelan anak yang tiba-tiba meledak di pusat perbelanjaan.

Rasanya sampai di sini tulisan ini sama sekali belum menjawab pertanyaan awal:
Kiranya, cinta seperti apa yang dapat meyakinkan kita untuk melangkah hidup bersama? God, honestly, I don’t know the exact answer too…

Set a criteria first? Tapi kadang hati tidak bisa memilih pada siapa ia jatuh cinta…
Tapi tak apalah selama pilihan itu masih tolerable dan bukan menyangkut hal yang prinsipil. Meski idealnya, rasionalitas tetap harus dipertahankan kala mencintai.
Percaya dan ikhlas saja, serahkan semua pada Allah, soal cinta urusan belakangan, toh ia akan tumbuh dengan sendirinya? Ini yang ideal, tapi tak semua bisa dengan mudah menerima pendekatan ini.

Jadi bagaimana? Menurutku pribadi, tanyakan saja pada hatimu, bermohon yang terbaik pada Allah Ta’ala. Ambil keputusan yang terbaik per saat itu. Jangan karena keterpaksaan, misalnya karena desakan umur atau malu dengan karib kerabat. Tak usah terlalu risau dan khawatir tentang bagaimana masa depan, karena itu dapat menyurutkan langkah. Membawa pada penantian yang tak berujung. (Dalam sebuah scene di film The Lakehouse, ada percakapan Sandra Bullock yang berperan sebagai seorang dokter dengan seorang gadis kecil pasien di rumah sakitnya.
Gadis itu bercerita bahwa ibunya tidak jadi menikahi pacarnya yang berkepala botak. Alasannya: “Because there’s always something better comes around….”
And Sandra replied: “Be careful. She could spend her whole life waiting…”).

Sangat mungkin bila karena satu dan lain hal, kita akhirnya tak berjodoh panjang dengan pasangan kita. Tapi toh, itu sudah takdir dan nasib yang digariskan oleh-Nya. Dan dalam batas tertentu, manusia memang tidak bisa memilih nasib.

Friday, April 03, 2009, 18.00