Al-Qur’an seringkali tersambung dengan hidup kita dengan cara yang ajaib. Apapun keadaan kita saat ini, rasanya segala pertanyaan terjawab dalam Qur’an. Aku menulis ini karena dapat tiga pelajaran dari tilawahku ba’da Maghrib ini. Ini sama sekali bukan penafsiran, hanya penangkapan maknaku per saat ini, sesuai kondisiku sendiri.
Tadi surah yang kubaca adalah Al-Baqarah 236-252. Ayat 236-37 berisi tentang pemberian mahar bila bercerai dengan istri. Yang klik di ayat 237 adalah potongan ayat: “Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.”
Jadi ceritanya kemarin itu sempet kesel sama seseorang. Kok dia begini begitu. Tapi kalau dipikir-pikir sekarang ini kok rasanya kebaikannya jauh melebihi keburukan/ kekurangannya. Tidak pantas rasanya kalau aku hanya mengingat buruknya dan melupakan segala kebaikannya.
Lalu ayat 246:
” Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.”
How is this aayah connect with me? O yeah, I am master of excuses!! Seperti pemuka-pemuka Bani Israil di ayat ini. Berapa banyak perbuatan baik yang tertunda hanya karena aku mensyaratkan banyak alasan sebelum mengerjakannya. Jangan membayangkan hal yang rumit-rumit ya, aplikasinya sangat membumi sekali sehubungan ‘profesi’ku sebagai homemaker. Semisal harusnya aku membenahi rumah agar rumah yang ‘agak rapi’ ini (haha…penghalusan bahasa-red) menjadi betul-betul rapi. Tapi suka mikir: “Nanti kalo punya rumah sendiri di Jakarta akan kutata rapi betul-betul.” Padahal kan seharusnya ga begitu. Ga usah pikir yang nanti-nanti, urus aja dengan baik apa yang ada di tangan saat ini. Mirip kan sama cerita di atas.
Ayat selanjutnya 247 akhirnya Allah mengangkat Thalut sebagai raja mereka. Eh mereka beralasan lagi: “Kami lebih berhak karena Thalut tidak punya kekayaan yang cukup banyak.” Nah kan, they are truly master of excuses…
Pelajaran ketiga di ayat 249. Thalut keluar membawa tentaranya, dan Allah menguji dengan suatu sungai. Barang siapa di antara mereka yang meminum airnya maka ia bukan pengikut Thalut. Barangsiapa yang tidak meminumnya kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikut Thalut. Akhirnya orang yang meminum menjadi lemah dan berkata: “Tidak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.”
Bagiku ini pelajaran luar biasa tentang keutamaan menahan diri, yang jujur saja, aku masih sering gagal di sini. Misalnya lihat sesuatu yang menarik hati, timbul hasrat untuk memiliki, rasanya masih kepikiran terus kalau belum terpenuhi. Padahal sih tahu dalam hati kalo sesuatu itu adalah semata keinginan, bukan kebutuhan.
Aku ingat betul ada suatu eksperimen di buku Emotional Intelligence- nya Daniel Goleman. Sekelompok anak (umur 4 tahunan kalo ga salah) diuji mengenai hubungan antara kemampuan menahan diri dengan kesuksesan di masa depan. Tesnya simpel saja, anak-anak itu disuruh pilih, mau 1 marshmallow sekarang, atau 2 marshmallow nanti. Ternyata yang memilih menunda keinginan, lebih sukses di masa depan. Entah kenapa, sayangnya, sepertinya bila aku yang diuji, aku akan termasuk anak yang memilih 1 marshmallow sekarang juga.