Archive for ◊ 2013 ◊

06 May 2013 Pola
 |  Category: Uncategorized  | Leave a Comment

Kenapa ya susah sekali untuk keluar dari kebiasaan (habbit) yang sudah terpola sedemikian rupa di diri kita? Susah sekali rasanya untuk mematahkan kebiasaan yang sudah terpatri kuat. Contohnya saat ini sedang kepikiran tentang menu masakan yang itu-itu aja. Padahal ada berjuta resep masakan yang mudah sekali diakses di era internet ini. Budget untuk beli bahan masakan juga alhamdulillah ada. Cuma kok ya menu masakan muter di itu-itu aja. Apalagi anak-anakku termasuk pemilih. Daging kurang suka, ikan apalagi. Akhirnya muter-muter di ayam dan telor. Ayam sudah dimasak segala rupa: goreng, gulai, kari, dikecapin, dibuat soto. Dipepes dan dibakar yang belum pernah. Variasi lainnya udang, kepiting, cumi. ‘Makanan pokok’ di luar itu ada sosis, nugget, bakso. Bosan betul. Sering mati gaya deh kalau soal masak-memasak ini.

Pola dalam kehidupan sehari-hari pun demikian. Sepertinya hampir bisa ditebak besok itu akan ngapain aja. Pagi hari jam segini ngerjain ini itu. Siang jadwalnya ini. Sore waktunya itu. Seriously need a breakthrough…

06 May 2013 Merasa Tau
 |  Category: Uncategorized  | Leave a Comment

Menemani anak belajar untuk persiapan tes semesteran jadi syok sendiri. Baru sadar kalau selama ini terlalu santai dan menggampangkan soal belajar anak. Selama ini kalau anaknya disuruh belajar: “Nak, belajar!” Anaknya selalu menjawab: “Ga ada PR, Bun.” Tapi memang kalau ada PR dia selalu mengejarku untuk menemaninya mengerjakan PR.

Memang benar anggapan bahwa makin kita belajar maka akan semakin merasa bodoh kita. Karena kita jadi tahu kalau kita tak tahu apa-apa. Melihat seksama pelajaran anak juga begitu. Tadinya tenang-tenang aja mengganggap bahwa: “Ah, he’s doing well in school. Nothing to be worried about…” Eh setelah didalami per materi ternyata banyak yang dasarnya rapuh. Baca Al-Fatihah dan surah masih banyak yang keliru. Padahal hafalan yang keliru makhroj dan tajwidnya pasti akan terbawa sampai dewasa yang makin lama makin susah untuk diperbaiki kekeliruannya.

Tak belajar memang bagaikan berkubang di air yang mampet, cupet. Keruh dan merupakan media yang nyaman bagi segala bibit penyakit kebodohan. Jadi merasa tau, padahal tak tau apa-apa.

04 May 2013 Pelajaran Hari Ini
 |  Category: Uncategorized  | Leave a Comment

Al-Qur’an seringkali tersambung dengan hidup kita dengan cara yang ajaib. Apapun keadaan kita saat ini, rasanya segala pertanyaan terjawab dalam Qur’an. Aku menulis ini karena dapat tiga pelajaran dari tilawahku ba’da Maghrib ini. Ini sama sekali bukan penafsiran, hanya penangkapan maknaku per saat ini, sesuai kondisiku sendiri.

Tadi surah yang kubaca adalah Al-Baqarah 236-252. Ayat 236-37 berisi tentang pemberian mahar bila bercerai dengan istri. Yang klik di ayat 237 adalah potongan ayat: “Dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu.”

Jadi ceritanya kemarin itu sempet kesel sama seseorang. Kok dia begini begitu. Tapi kalau dipikir-pikir sekarang ini kok rasanya kebaikannya jauh melebihi keburukan/ kekurangannya. Tidak pantas rasanya kalau aku hanya mengingat buruknya dan melupakan segala kebaikannya.

Lalu ayat 246:
” Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah”. Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari kampung halaman kami dan dari anak-anak kami?”. Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, mereka pun berpaling, kecuali beberapa orang saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang zalim.”

How is this aayah connect with me? O yeah, I am master of excuses!! Seperti pemuka-pemuka Bani Israil di ayat ini. Berapa banyak perbuatan baik yang tertunda hanya karena aku mensyaratkan banyak alasan sebelum mengerjakannya. Jangan membayangkan hal yang rumit-rumit ya, aplikasinya sangat membumi sekali sehubungan ‘profesi’ku sebagai homemaker. Semisal harusnya aku membenahi rumah agar rumah yang ‘agak rapi’ ini (haha…penghalusan bahasa-red) menjadi betul-betul rapi. Tapi suka mikir: “Nanti kalo punya rumah sendiri di Jakarta akan kutata rapi betul-betul.” Padahal kan seharusnya ga begitu. Ga usah pikir yang nanti-nanti, urus aja dengan baik apa yang ada di tangan saat ini. Mirip kan sama cerita di atas.

Ayat selanjutnya 247 akhirnya Allah mengangkat Thalut sebagai raja mereka. Eh mereka beralasan lagi: “Kami lebih berhak karena Thalut tidak punya kekayaan yang cukup banyak.” Nah kan, they are truly master of excuses…

Pelajaran ketiga di ayat 249. Thalut keluar membawa tentaranya, dan Allah menguji dengan suatu sungai. Barang siapa di antara mereka yang meminum airnya maka ia bukan pengikut Thalut. Barangsiapa yang tidak meminumnya kecuali menceduk seceduk tangan, maka ia adalah pengikut Thalut. Akhirnya orang yang meminum menjadi lemah dan berkata: “Tidak ada kesanggupan kami pada hari ini untuk melawan Jalut dan tentaranya.”

Bagiku ini pelajaran luar biasa tentang keutamaan menahan diri, yang jujur saja, aku masih sering gagal di sini. Misalnya lihat sesuatu yang menarik hati, timbul hasrat untuk memiliki, rasanya masih kepikiran terus kalau belum terpenuhi. Padahal sih tahu dalam hati kalo sesuatu itu adalah semata keinginan, bukan kebutuhan.

Aku ingat betul ada suatu eksperimen di buku Emotional Intelligence- nya Daniel Goleman. Sekelompok anak (umur 4 tahunan kalo ga salah) diuji mengenai hubungan antara kemampuan menahan diri dengan kesuksesan di masa depan. Tesnya simpel saja, anak-anak itu disuruh pilih, mau 1 marshmallow sekarang, atau 2 marshmallow nanti. Ternyata yang memilih menunda keinginan, lebih sukses di masa depan. Entah kenapa, sayangnya, sepertinya bila aku yang diuji, aku akan termasuk anak yang memilih 1 marshmallow sekarang juga.

26 Apr 2013 The Grocer and The Parrot
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | One Comment

Just another random thought. Orang suka melihat/ menilai/ mengukur sesuatu berdasarkan keadaan dirinya atau berdasarkan apa yang menjadi interest-nya. Misalnya kalau aku sedang hamil, maka sepertinya sering sekali ketemu perempuan yang tengah hamil. Kalau punya mobil merk X, maka yang jadi sering nampak kelihatan di jalan adalah mobil merk X.

Dulu waktu masih anak-anak suka mikir: “Apa ada yang mau beli roti semahal itu?”, waktu lihat Sari Roti seharga beberapa ribuan, karena waktu itu aku cuma mampu beli roti coklat harga gopek di warung. Tapi ketika keadaan ekonomi sudah lebih mampu, ukuran mahal menjadi berbeda. Kalau sekarang ini masih tak habis pikir, kok ada ya orang yang mau beli tas seharga puluhan juta, apa ga merasa sayang. Mungkin bagi mereka uang puluhan juta sudah seperti recehan saja.

Apa yang menjadi interest kita tampaknya itu yang akan jadi semesta kita. Hal lain sekedar perkara tambahan. Misalnya suatu kali ada teman menulis suatu status tentang ‘ibu rumah tangga’, pasti yang punya interest soal ‘ibu rumah tangga’ akan langsung menaruh perhatian pada status itu. Atau tentang ‘clodi’ atau tentang ‘blogging’, pasti yang punya interest akan langsung berdiri kupingnya saat membaca atau mendengar tentang kata itu. Dan pasti Anda takkan mengerti maksud kata ‘status’ di atas berarti apa kalau Anda tak kenal sama sekali dengan yang namanya facebook.

Ada sebuah cerita dari Matsnawi Jalaluddin Rumi yang kutulis kembali secara bebas saja. Ada seorang pedagang yang mempunyai seekor kakatua yang amat pandai bicara. Keberadaan Kakatua ini amat menghibur pembeli dan pengunjung toko. Suatu kali Sang Pedagang pergi keluar untuk suatu keperluan. Si Kakatua ini terbang ke sekeliling toko dan tanpa sengaja memecahkan sebotol besar minyak mawar. Minyak mawar pun bercipratan kemana-mana dan keadaan toko jadi berantakan. Sekembalinya ke toko, Si Pedagang menjadi marah dan tanpa sengaja memukul kepala Kakatua peliharaannya. Kakatua itu menjadi sedih dan amat kecewa. Ia langsung mogok bicara dan tak lama kemudian bulu-bulunya yang indah pun mulai berguguran. Burung itu menjadi botak.

Sadar akan kekeliruannya, Si Pedagang amat menyesali dirinya. Dia berbuat baik kepada orang miskin dengan harapan agar kebaikannya dapat menarik Kakatua itu supaya bisa berbicara kembali. Tapi ternyata nihil, tak sepatah kata pun keluar darinya. Tiga hari tiga malam burung itu diam membisu. Sampai tiba-tiba, ada seorang bikhsu masuk ke dalam ke tokonya. Tiba-tiba saja Kakatua itu berteriak dengan antusias: “Hai Botak, lihat aku! Kamu menumpahkan minyak mawar juga ya?”

Spontan pengunjung toko lainnya tertawa mendengar celoteh Si Kakatua. Rupanya ia menyangka Sang Bikhsu yang botak karena alasan keagamaan, menjadi botak karena menumpahkan minyak mawar juga seperti dirinya.

Nah kan, Si Kakatua telah menilai Sang Bikhsu dengan ukuran dirinya…

PS: Bingung ngasih judul apa, jadi nyontek judul di buku Rumi aja

Serangoon, April 26, 2013, around 2.30 AM.

24 Apr 2013 Tindakan Nyata
 |  Category: My Kids, My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Just came back from G5 PYP Exhibition at Abang’s school. Tema besarnya tentang ‘Sharing The Planet’. Tentu saja dengan begitu globalnya tema ini hampir semua topik bisa dihubung-hubungkan ke sini. Anakku mengambil tema ‘Game Addiction’. Rekan sekelasnya yang lain memilih tema bullying, global warming, stay green (highlighting about deforestation), and poverty.
Amazed dengan anak-anak di sekolah internasional ini. Begitu berani, aktif dan outspoken. Tapi bukan ini yang hendak kubahas.

Setiap tema pasti diawali dengan penjelasan mengenai pengertiannya. Lalu dijabarkan solusinya. We must….we should….we have to…bla bla bla. “Let’s reduce, reuse, recycle to keep our planet green.”
“Let’s help the poor.” Or “Stop bullying!” And suddenly I think… Kayaknya teori seperti ini kita semua sudah faseh ya. Sudah tahu betul kan ‘yang seharusnya’ itu seperti apa. Semua orang tahu korupsi itu dosa, memiskinkan orang lain. Hidup harus jujur. Jangan malas. Bantulah orang tak mampu. Jangan buang sampah sembarangan. Tapi seberapa dari ajaran itu yang terimplemetasi di hidup kita sendiri. Hehe…sebenernya yang nulis tulisan ini juga masih amat sangat banyak ga benernya sih. Tapi ga perlu lah kan ya mengumbar aib diri sendiri *grin*

Alangkah aman damai sejahteranya dunia ini kalau setiap kita mengamalkan kebaikan yang kita tahu.