Thursday, June 29, 2006, 01.59
Sudah begitu lama aku ingin menulis. Tapi komputer rusak.
What a heart-breaking story kejadian di Bandung Timur pada 8 Juni itu. Mencengangkan dan sungguh sukar dinalar dengan akal sehat. Apa yang kiranya terlintas dalam pikiran seorang ibu yang tega menghabisi nyawa ketiga anaknya. Padahal ia zahirnya adalah seorang berpendidikan tinggi dan agamis. Pikiranku melambung: mereka-reka, berspekulasi dan mencoba merekonstruksi perasaan apa sebenarnya yang ada di balik suatu kegilaan yang di luar kewajaran itu. Well, itu mustahil sebenarnya, karena, dalamnya laut bisa diduga tapi dalamnya hati siapa yang tahu?
Mungkin memang benar ada suatu slow burn anger yang terpendam dalam diri para ibu rumah tangga yang seharian hanya berkutat di rumah. As in this case: she was an ITB graduated, terbiasa hidup berkecukupan sedari muda dan ternyata bersuamikan seorang Direktur LSM nirlaba yang ‘hanya’ bergaji 2 juta. Padahal mungkin, dengan berIPK 3.24, ia merasa diri cukup mampu untuk menambah penghasilan keluarga dengan bekerja di luar. Pikiran itu lalu terus berputar-putar mengental dalam benaknya. Waktu demi waktu. Bercampur dengan keletihan dan kebosanan mengurus pekerjaan rumah tangga dan ketiga anaknya. Mungkin pikirnya, aku tak perlu kuliah setinggi ini hanya untuk berada di rumah saja. Segala ketidakpuasan, kecemasan, kekhawatiran, harapan yang berlebihan dan rasa sayang yang terlalu kemudian bercampur baur melahirkan pikiran gila yang tak berdasar. Kemudian segala pikiran negatif itu, bak sampah busuk yang mengundang lalat, mengundang syetan untuk meniup-niupkan, menghembus-hembus dan memanas-manasi segala praduga buruk yang lalu berkembang menjadi paranoia. Atau mungkin saja ia terlalu pintar, terlalu sistematis, sehingga berpikiran terlalu jauh dengan mempertanyakan sekian banyak what if yang secara matematis jawabannya adalah tidak. Bagaimana bisa memuaskan keinginan anak, menyekolahkannya di SDIT, memberinya susu dan asupan gizi yang cukup, membayar pembantu, cicilan rumah dan segala keperluan rumah tangga lainnya dengan uang sebesar 2 juta. Sungguh tidak masuk dalam hitungan. Barangkali ia terlalu mengandalkan diri sendiri sehingga lupa bahwa rahmat Allah itu luas dan rezeki-Nya tak berbatas. Atau mungkin ia mengalami kemandegan yang luar biasa karena kebuntuan komunikasi dengan sang suami sehingga segala keresahan hanya dipendam dan dirasakan sendiri. Kurasa ia tak punya teman untuk berbagi. Mandeg karena luapan emosi yang tak tersalurkan. Know what? I keep thinking about her recently and I guess I’ve that glance of feeling yesterday.
Mungkin begini rasanya, batinku, kita pusing tapi tak ada yang tahu kita pusing. Sometimes want to scream and crying out loud just to relieve the pain. Kita selalu memperlihatkan wajah manis kala suami pulang. Bersandiwara seolah tak terjadi apa-apa dan semua baik-baik saja. Memendam semua gejolak sendiri karena tak tahu harus mencurahkan pada siapa. Yang ada di hadapan hanyalah anak-anak. Tapi anak mengerti apa? Dalam dunianya hanya ada keriangan. Akhirnya segala ketidakpuasan berputar-putar dalam hati dan pikiran sendiri saja. Bak api dalam sekam, tinggal tunggu waktu saja untuk terbakar. Dan bagi Aniek, waktunya adalah saat ia mengakhiri nyawa anak-anaknya. Na’udzu billahi min dzalik!