Aku ingat betul saat anak-anakku masih bayi, aku selalu mencatat rinci berat badan mereka tiap kali ke klinik atau posyandu untuk imunisasi. Bila berada bersama ibu-ibu lain, ada rasa bangga menyelinap ketika membandingkan bahwa anakku kelihatan lebih montok dibandingkan bayi-bayi lain. Ketika mereka beranjak besar, urusan berat badan nampaknya tak penting lagi.
Ketika aku sekolah dulu, urusan ranking dan pencapaian nilai akademis rasanya penting sekali buatku pribadi. Terus terang aku jarang belajar, tidak cinta belajar dan mengakui bukan seorang pembelajar. Belajarku rasanya hanya sekedar mengejar nilai. Tidak sampai ke esensi belajar itu sendiri. Hanya sekedar hapalan untuk mengisi kertas ulangan.
Dan ketika sudah ‘lulus’ seperti sekarang ini, urusan ranking yang dulu dikejar setengah mati, sekarang nampaknya tak penting lagi.
Sekarang apa lagi yang diperlombakan? AlQur’an menyitir bahwa manusia senantiasa berlomba-lomba dalam hal banyaknya harta dan anak. Bahasa gaulnya: “Oh ya, gue udah punya ini, ini, dan ini. Lo punya apa?” Atau: “Anak gue segini segitu , yang satu udah jadi ini, yang satu lagi jadi entu, yang satu lagi jadi anu.” Weleh, weleh… cappee deh… ga ada habisnya.
So, in what do we have to compete in? Fastabiqul khoiroot, bahasa Qur’annya. Berlomba-lomba dalam kebaikan (aku ga punya cukup ilmu untuk mengelaborasi makna sebenarnya dari kata ‘khoiir’).
Kata Nabi SAW: “Orang yang cerdik adalah orang mampu menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk kepada Allah.” (HR. Abu Daud).
Sesungguhnya, segala pencapaian di dunia tak ada artinya bila itu tak dapat menjadi bekal untuk kehidupan akhirat.
Thursday, December 03, 2009, 02.18