Tulisan ini dibuat dalam rangka memenuhi persyaratan Martikulasi Grup WhatsApp Nouman Ali Khan Indonesia
Nasihat ini disampaikan Ustadz Nouman terutama sekali untuk para pemuda yang sedang semangat menuntut ilmu dan belajar dan berusaha berkontribusi di masyarakat. Yaitu untuk tetap rendah hati terutama dalam hal intelektual.
Allah bersabda di Surah Yusuf ayat 76: “Dan di atas setiap orang yang punya pengetahuan, ada orang yang (lebih) tahu (‘aliim).” Dan tentunya di atas semua ada Allah Yang Maha Ilmu.
Pengalaman Ustadz Nouman dulu ketika masih sangat muda, ia dan teman-teman belajar di sebuah program, mencatat dan mengambil referensi, mereka langsung merasa tahu dan merasa bisa mendebat orang lain tentang suatu hal. Seolah mereka mempelajari ilmu untuk menjatuhkan seseorang. Ilmu yang mereka dapat justru menambah arogansi ke dalam diri mereka. Hati-hatilah! Ini adalah perilaku orang yang tidak beriman. Mereka mengutamakan gelar daripada ilmu itu sendiri. Pengetahuan agama seharusnya, semakin ia bertambah, semakin rendah hati pemiliknya. Bukan malah membuat semakin mudah menghakimi. Misalnya berkomentar tentang ulama ini itu sesat. Kalau ada pendapat ulama tertentu yang tidak kita setujui, kita tidak berhak dan layak mengomentari mereka karena: Pertama, kita tidak punya kapasitas ilmu untuk itu.
Ustadz Nouman sendiri untuk harus mempelajari 28-29 tafsir untuk mendalami sebuah ayat Qur’an. Untuk perkara hadits, ia diam karena sadar tidak punya kapasitas untuk membahasnya. Ia tidak paham soal sanad, konteks apa, mengapa, dan di mana hadits itu turun, juga bagaimana ijma’ sahabat Nabi SAW dan ulama mengenai hal itu. Jadi kalau ada yang baru belajar secuil hadits dari kitab Bukhari dan hanya belajar terjemahannya, lalu mendebat seseorang tentang ini, sungguh suatu sikap yang disrespek kepada Sunnah Nabi SAW.
Kedua: Kita tidak paham bahasa Arab.
Ada siswa yang datang ingin belajar kepada Imam Syafi’i ra dan Beliau berkata: “Hal yang paling kutakutkan dari para pencari ilmu adalah mereka yang belum mempelajari nahwu lalu mengatasnamakan suatu perkataan atas Nabi SAW dan berdusta atasnya dengan sengaja.”
Imam Syafi’i menghabiskan sepertiga hartanya untuk mempelajari Bahasa Arab dan dua pertiga hartanya untuk mempelajari Hadits dan pada akhirnya Beliau berkata jua: “Andai kuhabiskan hartaku yang duapertiga juga untuk belajar Bahasa Arab.” Demikian besarnya perhatian Beliau dalam belajar Bahasa Arab yang luar biasa kaya ini. Beliau tidak mau para pencari ilmu ini jatuh ke dalam golongan yang dikatakan Nabi SAW: “Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja sudah menjamin tempat baginya di neraka.” Imam Syafi’i takut mengajari mereka Hadits, karena tahu mereka, orang Arab ini, tidak punya cukup pengetahuan Bahasa Arab untuk belajar Hadits. Dan sekarang di zaman ini, kita hanya mencari Hadits dari Google, membaca terjemahannya, lalu merasa paling tahu?? Kita tidak tahu apa-apa tentangnya, tapi merasa kayak untuk bicara atas nama Sunnah. Ini tindakan yang arogan, bukan demi agama. Jangan terpedaya!
Jika ingin serius mempelajari sesuatu, maka bersungguh-sungguhlah! Jangan belajar dengan tujuan untuk berdebat dengan orang lain. Instrospeksilah motivasi untuk belajar. Engkau mungkin menyembunyikan arogansimu dari orang lain, tapi kau tidak dapat menyembunyikannya dari Allah.
Terakhir, jangan berkomentar buruk tentang seorang ulama. Adab orang yang berilmu biasanya mendoakan ulama terlebih dahulu baru menyatakan ketidaksetujuan atas pendapat mereka. Karena mereka sadar benar-benar tidak tahu bagaimana kedudukan seseorang di mata Allah.