Tuesday, February 21, 2006, 11.07
Dalam perbincangan ibu-ibu, nama pribadi seringkali menjadi sesuatu yang tidak penting lagi diketahui. Seolah-olah nama seorang wanita serta-merta lenyap saat harus bersanding dengan seorang pria. Ia segera dipanggil sebagai Ibu A, Ibu B, atau Ibu C saat menikah dengan laki-laki A, B, atau C. Segera setelah anak-anak lahir, tercipta pulalah nama-nama alias baru sang ibu. Aku misalnya, tidak lagi dikenal sebagai seorang perempuan bernama Nurul, tetapi lebih dikenal orang sebagai Mama Alfath, Mama Aslam, atau nama-nama anakku berikutnya yang insya Allah akan terlahir kemudian.
Belum begitu lama ini aku menanyakan nama seorang ibu, dan aku terkejut ketika mendapatinya seolah enggan menyebutkan nama aslinya dan hanya minta dipanggil sesuai nama anaknya. Hey, what’s going on here? Apa memang begitu yang seharusnya? Sampai saat cerita ini kutuliskan, entah sudah berapa puluh kali aku bertemu dan berbincang dengan ibu Anu yang tersebut di atas. Sayangnya hingga saat ini pun, aku masih belum mengetahui sepotong pun nama aslinya.
hehehe emang mba, banyak yang lebih pe de menggunakan nama suami, tapi kalo gw lebih suka dipanggil nama gw sendiri bukan suami, biar lebih akrab gitu.
Iya ya…kenapa gitu ya? Padahal khan dalam Islam juga nama kita teteup nama binti anu… iya khan? Kenapa juga lebih pede pake nama suami? Saya malah suka ter-kaget2 kalo dipanggil nama saya ibu Iman, meskipun dalam suasana tertentu di lingkungan kerja suami saya sendiripun….!!!