“Pernah berantem ga selama menikah?” Pertanyaan ini sering sekali mampir di telingaku. Mungkin dikarenakan di antara teman-teman seangkatan aku termasuk yang paling dulu menikah, jadi mereka ingin belajar dengan menggali dari pengalamanku.
Dan selalu kujawab: “Pernah, tapi sangat jarang sekali.” Dan memang demikian adanya. Berantem yang agak besar pernah terjadi waktu kami baru-baru menikah dulu. Tak banyak. Mungkin hanya sehitungan sebelah jari tangan. Namanya saja berumah tangga. Sekali dua kali pasti ada toh saat suami istri tidak cocok dan berselisih paham. Dan kurasa itu memang perlu. Agar masing-masing pihak bisa lebih mengerti, memahami dan mendalami satu sama lain. Membongkar sifat dan tabiat jelek dari masing-masing dengan berkaca pada cermin pasangan yang jujur menampakkan apa adanya kita.
Dan sejauh delapan tahun lebih kebersamaan kami, tentu saja aku banyak belajar. Tidak, jangan anggap aku sebagai orang yang super sabar yang mampu menahan amarah dalam setiap situasi dan kondisi. Atau orang yang mampu menelan kemarahan dan menahan kekesalanku saat berhadapan dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Tidak. Belum. Sayangnya aku belum sampai pada tahap itu dan masih harus banyak belajar.
Jujur saja, alasan kenapa kami jarang sekali berselisih adalah terutama karena suamiku yang amat pandai sekali menahan emosi. As many people know, dia punya kecerdasan emosional yang tinggi. There goes saying: “Takes two to tango” Benar bukan? Always takes two to start a fight.
Aku sungguh masih punya banyak sekali sifat keras kepala dalam diriku. And he knew that pretty well. Aku bukan tipe istri yang selalu “iya Mas” saat dia memberitahu dalam hal apapun. Selalu ada: “Tapi kan, begini….” Atau: “Gini juga bisa…” And I guess, dia sudah bisa menerima diriku yang begini ini sebagai nasib, yang berusaha dia ubah secara perlahan dengan cara yang halus.
He knows pretty well how to treat me. This is just a simple example. Kalau misalnya dia ingin dibuatkan teh saat tengah malam masih sibuk bekerja, dia tidak memintaku dengan ‘direct order’ yang pastinya akan terasa berat bagiku. Dia membahasakannya dengan sangat santun. “Bunda, cape nggak? Mas mau teh manis donk…” Duh, duh, istri mana yang bisa menolak diminta demikian.
Pernah suatu kali aku marah-marah padanya lewat SMS, waktu itu seingatku ia sedang pergi ke Jakarta selama 2 hari: “Mas, telfon kok ga bisa keluar, Mas lupa bayar tagihan ya? Mana internet ga bisa lagi. HPku mati baterenya abis, chargernya Mas bawa lagi. Gimana sih?”
Dan lucunya, respon balasan dia singkat saja: “Jangan mengeluh.”
Aku jadi geli membacanya (tentu setelah hati agak mendingin). Tapi bukan Nurul kan kalo tidak memberi respon balasan. “Iya, tapi kalo ada emergency gimana…” Dasar…dasar…istri berbudi yang pintar menjawab.
Dalam hal menghadapi anak juga Beliau sering menasehatiku dan memberi masukan. Tentang ini, insya Allah akan kutulis dalam posting terpisah lain kali.
Thank you for all, Honey…God bless you…
Written: Friday, June 19, 2009, 10.20