Archive for the Category ◊ My Husband ◊

22 Jun 2008 Memulai dengan Sederhana
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 3 Comments

Di usia matang begini, hampir semua teman sebayaku telah menikah. Mungkin hanya satu dua saja yang belum menuntaskan masa lajang. Ada berbagai macam alasan yang dikemukakan, tapi mungkin yang terutama adalah belum menemukan pasangan yang pas untuk dijadikan teman seumur hidup. Aku mengerti akan hal ini dan sangat sepakat bahwa kita jangan sekali-kali memaksakan menikah dengan seseorang yang belum sreg di hati hanya karena desakan umur. Salah memilih pasangan itu berujung penyesalan seumur hidup. Tapi bagi yang sudah menemukan pasangan hati, kenapa takut untuk menyegerakan pernikahan? Ada yang khawatir tidak dapat menafkahi keluarga dengan layak nantinya, ada pula yang dipusingkan dengan masalah yang lebih dekat yaitu penyelenggaraan pernikahan itu sendiri.

Aku kadang merasa beruntung memulai semua ini lebih awal. Saat belum punya apa-apa. Saat belum jadi apa-apa. Sehingga tidak punya gengsi yang harus dijaga karena memang tidak ada yang layak disombongkan. Kami menikah ala mahasiswa. Karena pionir, maka tidak ada benchmarkingnya. Kami masih kere tapi ya teman-teman juga ga kalah kere 😀 Malah kuingat ada yang memberi ucapan begini kira-kira: "Sorry Noer, di dompet gue cuma ada duit segini-gininya, lumayan buat beli garem kan?" Hihi…hayo siapa yang ngerasa dulu nulis gini, kartu ucapannya masih gw simpen loh…*Emang cukup kok buat beli garem berkilo-kilo… :)) *

Coba bandingkan dengan teman-teman yang nikah setelah kerjaan pada mapan semua. Pasti lebih banyak hal yang jadi pertimbangan kan? Kalo yang levelnya high standard pasti ga sreg dan ga cukup PD kalo ngadain pesta resepsi di rumah aja. Paling nggak nyewa gedung. Alhamdulillah kalo ortu orang berpunya, kalo nggak kan mesti nabung dulu tuh dari hasil kerja keras sendiri. Bisa makan waktu bertahun-tahun sampai akhirnya tabungan mencukupi buat biaya nikah.

Menurutku ada dua sudut pandang berkenaan masalah ini. Ada yang mikirnya gini: "Ah, acaranya sederhana aja. Toh resepsi itu cuma acara sehari. Mending uangnya ditabung untuk kebutuhan setelah menikah." Tapi ada juga yang memandang sebaliknya: " Ah, menikah itu kan sekali seumur hidup ya harus abis-abisan donk sampai puoollll…" Again, it’s OK kalo memang kemampuannya ada. Yang repot kalo harus memaksakan diri apalagi sampe minjem kanan kiri. Kalo istilahnya orang Betawi Setu Babakan: "Biar Tekor Asal Kesohor". Kalo perlu nanggep dangdut 3 hari 3 malem. Haha…

Namanya manusia, pasti punya hasrat untuk menilai dan membanding-bandingkan. Kalo yang mindsetnya people oriented bukan Allah oriented pasti gede gengsinya dan mau serba paling  sendiri: pokoknya ‘paling wah’, ‘paling hebat’, ‘paling meriah’. Syukur-syukur kalo pernikahannya awet langgeng. Kalo cuma seumur jagung…? Wah, sayang betul…Betul-betul sayang…

Jadi buat teman-temanku yang belum atau akan menikah, jangan ditunda-tunda yah, hanya karena pusing masalah pestanya. Insya Allah kesederhanaan acara tidak mengurangi berkahnya.

I’d like to end this topic dengan ucapan penuh hikmah Baginda Nabi SAW kepada Ali ra:" Hai Ali, ada tiga perkara yang jangan kamu tunda-tunda pelaksanaannnya, yaitu sholat apabila tiba waktunya, jenazah bila sudah siap penguburannya, dan wanita (gadis atau janda) bila telah menemukan laki-laki sepadan yang meminangnya." (HR.Ahmad)

Dalam hadits lain:"Sebaik-baik wanita adalah yang paling ringan mas kawinnya." (HR. Athabrany)

05 Jun 2008 Makan tuh Gengsi!
 |  Category: My Husband, My Self  | One Comment

Sorry for being sarcasm. Abis ngomong2 soal finansial sama seorang teman yang dilanda kekhawatiran untuk menikah karena merasa belum mapan. Tulisan ini bukan tentang dia. Hanya terpicu darinya. Jadi inget pengalaman beberapa tahun silam. Saat kami masih tinggal di sebuah kota industri yang sedang pesat berkembang. Dari perbincangan antar ibu-ibu teman TK anakku, berkembanglah sebuah regular conversation. "Suaminya kerja di mana Bu?" And then bla…bla…bla… "Oh, tetangga saya juga kerja di sana. Bagian security. Hebat ya Bu kesejahteraannya. Habis bangun rumah. Rumahnya paling tinggi sendiri. Habis ngambil motor juga, and bla..bla..bla.." Dalam hati membatin: Wah security aja hebat banget ya, seharusnya ‘The Assistant Manager’ …? Hehe, spontan muncul sebentuk keangkuhan primordial.

Seingatku aku lantas cerita ke suami. Lupa apa yang dia bilang waktu itu. Intinya yang teringat: Jangan silau dengan apa yang dipunyai orang lain. Kita kan ga pernah tahu bagaimana keadaan ‘dapur’ orang lain. Begitu ujarnya. Kalo misalnya gaya hidup jauh melebihi penghasilan dan ga ada pemasukan dari sumber lain, ya…kita bisa menebak-nebak dari manakah asalnya ‘uang lebih’ itu. Credit card perhaps…? Ups, semoga bukan Anda!

We never know what happen behind the close door. Begitu bahasanya Oprah. Bukan rahasia kan kalo banyak orang yang terjebak dalam lilitan utang kartu kredit. Kartu sudah off-limit semua, bunga semakin membengkak, sementara kemampuan bayar, bahkan untuk tagihan minimum sekalipun, tak ada. Akhirnya terpaksa jual asset. Rumah akhirnya dijual murah karena BU. Walah…walah…Celaka 13!

Ada nasehat bijak dari Suze Ormon, O magazine editor. We always trying to impress everybody, bahkan yang kita ga kenal sekalipun, dengan menunjukkan apa yang kita punya. Ada 3 hal yang harus Anda pikirkan sebelum membeli sesuatu. Apakah sesuatu itu memang BAIK, apakah memang BUTUH, apakah memang BENAR. Means that kalau ternyata ga punya daya beli a.k.a UANG , berarti ga bener kalo memaksakan beli.

Lain soal if you can afford it. Tapi teteeep, gw punya issue (bahasa yang sering dipake Pak Noer) sama sesuatu yang berlebihan, though you can afford it. Suka ga habis pikir sama orang yang punya tas atau sepatu sampai berrak-rak. What a waste! (Bagi gw)

03 Jun 2008 Reason of Living
 |  Category: My Husband  | 3 Comments

Aku tak pernah berani mengintip sejenak untuk melihat isi dalam ‘sarang’ orang lain. Yang satu ini terpikir karena kata-kata anakku.

"Bunda, rumahnya Mas Anu berantakan banget. Baju berserakan di mana-mana. Rumahnya kotor banget."  Anak-anak memang kerap bebas lepas bertandang untuk bermain bersama. Dan kepolosannya membuatnya tak sungkan membeberkan laporan pandangan mata atas apa yang dilihatnya.

Lantas ini membuatku terpikir. Dasar melankolis sejati, tak pernah melewatkan sesuatu tanpa memikirkannya dalam-dalam. Andai aku dia, mungkin aku pun demikian. Keluarga ini terpecah karena Sang Bapak memilih hidup bersama wanita lain. Anak pertama ikut dengan Bapaknya karena Sang Ibu  tak mampu membiayai. Tinggallah si bungsu yang menemani ibunda.

"Dia ini semangat saya, Mba…"katanya padaku suatu kali, menunjuk pada si anak. "Kalau ga ada dia, ga tau gimana saya…" Bahkan di puncak depresinya, pernah tercetus keinginan untuk mengakhiri hidup.

Aku mengandaikan seperti dia. Bukan tragedinya yang miris, tapi menempatkan diri seolah kehilangan orang terkasih. Pasti semangat hidupku akan menurun drastis. Bahkan ditinggal beberapa waktu saja, semisal untuk tugas, ada suatu atmosfir beda terhirup. Jadi (agak) malas masak, (agak) malas bersih-bersih. Seolah semua kulakukan demi dia. Maka ketika dia tiada, seakan tak ada alasan untuk melakukan itu.

He’s my reason of living.

28 Sep 2007 Being With You
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 5 Comments

Friday, August 10, 2007, 01.29

Bersamanya aku bagai di puncak tertinggi dunia. Tak ada lagi yang dilihat
di atas kecuali langit luas yang tak terbatas. Tak ada lagi yang bisa didaki
karena telah sampai di ujung pencapaian.

Bersamanya aku bagai berteduh di pohon rindang besar. Di bawah dahan lengan
yang kokoh. Di bawah rimbun daun kasih sayang yang teduh. Di antara gombolan
buah kebijaksanaan yang menyegarkan. Aman. Damai. 

Kedekatan itu ibarat magnifying glass
yang bisa memperjelas baik dan buruk sesuatu. Bila hidup sedemikian lama dengan
seseorang, dan tidak menemui cela berarti padanya, maka memang demikian adanya.

Aku menemukanmu sebagai imbangan yang sangat pas. Dalam segala hal. Tidak
keras tapi tegas. Punya prinsip tapi kompromistis. Bervisi tapi realistis. And
many more. Mengurainya hanya membuatku berurai air mata. Air mata haru dan
bahagia.

I’ve been blessed so much by
you…

06 Sep 2007 7 September, 8 Tahun Lalu
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Seingatku hari itu Selasa, 7 September 1999. Aku baru hendak masuk ke kelas Bahasa Indonesia yang akan dimulai pukul 2, ketika ia menyodorkan sebuah surat bersampul coklat kepadaku. ‘Buat Sahabatku Nurul Halida’.
‘Apa ini?’ tanyaku.
‘Baca aja sendiri’
Aku lantas bergegas ke Gedung B, di mana kelasku berada. Setelah mendapat tempat duduk di belakang di kelas besar itu, dengan rasa tak sabar yang meluap-luap aku segera merobek sampul surat itu dan membaca isinya. Dan ternyata dugaanku tak meleset! Meski tak ingin merasa GR duluan, tapi aku punya feeling akan ke arah sanalah isi surat ini menuju.


    Setelah merenung sekian lama, aku berkesimpulan bahwa aku harus menyegerakan pernikahan. Semakin lama aku menundanya, semakin besar peluangku untuk jatuh dalam kemaksiatan. Aku ingin menjaga kehormatan diriku melalui pernikahan.
    Akhirnya aku sadar hal itu perlu persiapan yang matang. Banyak hal yang harus dilakukan sebelumnya. Dan aku juga sadar, untuk beberapa hal aku belum punya persiapan. Namun, aku yakin, jika apa-apa yang kulakukan demi mencapai keridhoan Allah, pasti Allah akan membantu.
    Dan semenjak aku mengenal Nurul, ada perasaan mungkin Nurul adalah orang yang tepat bagiku. Nurul dalam pandanganku adalah seorang wanita yang selalu berusaha menjaga kehormatan diri, seseorang yang berusaha mematuhi perintah Tuhannya. Seorang wanita yang mau meluangkan waktu untuk memahami Islam dengan lebih baik, dan menjadikan dakwah sebagai salah satu tugas utama.

    Aku ingin memilih Nurul untuk menjadi pendidik bagi anak-anakku kelak. Aku ingin menjadikan Nurul sebagai tempatku berkeluh kesah saat ditimpa kesulitan, menjadi penasehat kala aku kebingungan, menjadi penghiburku ketika bersedih, memberiku semangat ketika motivasi untuk melakukan sesuatu tak kunjung datang, dan menjadi penyejuk pandangan ketika hati ini gundah gulana.
    Mungkin angan-anganku tentang sebuah keluarga terlalu berlebihan. Tapi yang pasti, setiap orang berhak punya cita-cita. Dan tak ada yang mustahil jika kita mau berusaha. Semoga Allah memberiku surga di dunia berupa keluarga yang sakinah.

    Aku tak tahu pasti apakah aku tergesa-gesa ingin menikah ataukah ingin menyegerakannya. Mudah-mudahan aku termasuk orang yang ingin menyegerakan.
    Jika Nurul yakin dan memberiku kepercayaan, insya Allah aku akan menjaga amanah yang diberikan kepadaku. Jika Nurul tidak cukup yakin dan masih ragu-ragu, mungkin kita bisa berta’aruf untuk lebih mengenal. Dan jika Nurul menolak, mungkin kita bisa menjadi sahabat yang baik dengan saling nasihat menasihati. Apapun jawaban Nurul, aku akan berusaha untuk menerimanya dengan lapang dada.
    Seandainya Nurul menerima ajakanku ini, kita bisa segera mempersiapkan diri sejak awal menuju pernikahan. Mungkin akan memakan waktu yang lama. Tapi yakinlah, persiapan yang matang jauh lebih baik daripada ketergesa-gesaan.

Begitulah penggalan surat 5 lembar yang sontak membuatku bingung itu. Reaksi spontanku waktu itu adalah kaget dan terharu berkaca-kaca. "Waduh gimana nih caranya bilang ke ortu.  Baru  18 udah ada yang ngajakin nikah". Akhirnya surat itu kuberitahu ibuku seminggu setelahnya.  Ibuku pun kaget seolah tak percaya sambil setengah meledek anaknya yang masih bau kencur ini.

Tapi proses selanjutnya tidak semulus yang orang kira. Begitu banyak pergolakan batin dan pikiran yang berkecamuk dalam diriku. Yang terutama adalah perbedaan pola pikir (fikroh) antara kami. Aku yang sebenarnya amat pemalu kepada lawan jenis ini, sampai nekat mengorek-ngorek informasi dari orang-orang yang kunilai cukup dekat dengan si dia ini. Mulai dari teman satu asrama, sampai kakak kelas yang sering jadi teman diskusinya. Saking seriusnya, pake surat-suratan segala lagi dengan sang nara sumber.

Karena begitu banyak keragu-raguan, hubungan kami jadi sempat tarik ulur antara iya dan tidak. Sampai akhirnya dia memberi ultimatum tanggal 13 Mei 2000. Kalau aku menjawab tidak, maka dia akan memulai proses dengan seseorang yang lain demi mencapai niat tulusnya untuk menyegerakan pernikahan.

Alhamdulillah, saat itu aku menjawab iya. Dan kusadari kini bahwa itu adalah keputusan yang paling tepat sepanjang hidupku. He’s the best thing ever happenned to me.

Ternyata segala kecemasan, kekhawatiran dan ketakutanku dulu sama sekali tak terbukti. Malah kalau aku flash back lagi sekarang, aku merasa konyol dengan segala paranoia ku yang berlebihan dulu.

He’s everything I can hope for and more…