Archive for the Category ◊ My Husband ◊

21 Aug 2007 Just The Two of Us
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 7 Comments

Barusan Mas telfon. Jam 7 an malam gini memang Mas seringkali nelfon kalau belum pulang dari kantor. Entah menanyakan minta dibawakan apa nanti, mengabarkan sedang akan berkemas pulang, atau malah memberitahukan akan pulang agak malam karena banyak urusan.

Tumbennya, malam ini Mas mengajak keluar berdua saja. Tanpa anak-anak. Alfath yang sudah mengerti merengek minta ikut. Menuduh ayah bundanya jahat karena tak mau mengajak anak-anak. Dasar anak-anak. Belum mengerti bahwa orangtua kadang butuh waktu untuk berdua saja. Untuk sekedar ngobrol santai dari hati ke hati, lepas dari rutinitas hidup dan perkawinan yang lama kelamaan tak terasa istimewa karena terlalu biasa. Untuk sekedar melepas lelah sejenak dari kelelahan, mencari sebuah sanctuary untuk berteduh bersama. Untuk saling mendukung dan mengokohkan satu sama lain, agar menjadi orang tua yang kokoh menaungi anak-anak bersama.

Kadang-kadang, suami istri begitu asyik menjadi ayah dan bunda, sehingga lupa bahwa mereka adalah juga sepasang kekasih.

15 Jun 2007 Tragedi Kunci (Antara Cikarang dan Srengseng)
 |  Category: My Husband, My Self, Serba-serbi  | 8 Comments

Saturday, August 27, 2005, 21.49

Computer jammed. Sudah lama sekali aku ga nulis. Minggu, 21 Agustus 2005 ada kejadian luar biasa yang memberi pelajaran yang amat berharga bagiku. Kunci rumah tertinggal di rumah ibu dan itu kami sadari setelah sampai di rumah. Ingin langsung balik ke sana tapi ayah bilang ga usah karena ayah yang akan mengantar kunci itu. Hampir tiga jam menunggu di dalam mobil dengan dikerubungi sedemikian banyak nyamuk, eh ternyata kunci yang dibawa ayah salah!!! Masya Allah! Aku ga kuat lagi menahan tangis. Pokoknya ga bisa digambarkan gimana perasaanku saat itu. Aku merasa it’s all completely my fault. Kasihan sekali lihat ibu, Alfath dan terutama Mas yang sudah begitu lelah, ngantuk dan kehabisan tenaga karena kami sudah seharian jalan dan pastinya yang tertinggal adalah tenaga sisa-sisa.  Belum lagi terbayang jauhnya perjalanan yang harus kami tempuh kembali, borosnya bensin dan tol yang harus kami keluarkan dan lelahnya badan yang tidak tidur semalaman. Wuih, pokoknya berat banget deh! Seingatku aku ga pernah mengalami kejadian seberat ini sebelumnya. Rasanya sampai saat ini pun masih terasa nyesss banget kalau ingat kejadian itu. Aku tau bahwa itu adalah sarana pembersihan luar biasa yang dirancang Allah untuk kami. Tapi kok rasanya pahiit sekali dan sepertinya aku ga kuat kalau harus menjalani kejadian serupa itu sekali lagi.

Anyway, sebenarnya kejadian itu juga membawa hikmah besar yang bisa membuatku menangis dan terharu berkali-kali sampai saat inipun. Aku merasa dilimpahi berkah dan karunia yang luar biasa dengan kehadiran seorang suami yang begitu baik, penyabar dan penyayang. Tak satupun keluar dari mulutnya  kalimat yang bernada kekesalan atau menyalahkan. Padahal aku sendiri dalam hati geregetan menyumpahi ketololanku atas kesalahan fatal yang kuperbuat meskipun aku tau semua ini terjadi atas Kehendak- Nya juga. Rasanya Mas sudah dapat ‘menelan’ dengan baik apa yang disuguhkan oleh-Nya. Kebaikannyalah yang membuatku menangis terharu berkali-kali. Kupikir mungkin suami lain akan menempeleng atau paling tidak mengejek dan memaki-maki istrinya bila menghadapi kejadian serupa. Tapi tidak demikian halnya dengan Masku tersayang.

Aku pernah mengatakan ini pada seorang teman: “Andaikan aku mati, lalu diberi kesempatan hidup sekali lagi,  aku pasti akan memilihnya kembali menjadi pendamping hidupku.”

*Ini kejadian dulu, waktu msh di Cikarang. Dari Srengseng jam 21. Sampe Cikarang sekitar 22.30 (jarak tempuh 1,5 jam kalo pake mobil pribadi). Baru sadar kalo kunci ketinggalan sekitar jarak 1 km dari rumah Cikarang. Sampe depan rumah, aku udek2 dan obrak-abrik semua barang bawaan untuk nyari kunci itu barangkali keselip (berusaha nyenengin diri). Padahal tiap ke Srengseng kl weekend, barang bawaan selalu segudang kayak orang mudik sebulan. Akhirnya kita cari makan dulu sambil nenangin diri dan nelfon ke ayah dan adik-adik di Srengseng (actually cuma Mas yg makan nasi goreng waktu itu, kalo aku: mana ketelen lagi stress gitu!).

Yang nerima telp adikku Obon, satu-satunya yang belum tidur. Sedangkan yang lain udah tidur semua. Kata Obon, Ayah bilang ga usah balik lagi karena ayah yang akan nganter ke Ckrg. Rupanya karena ngantuk, mata masih merah, konsentrasi kurang dan nyawa belum nyatu, ayah main samber aja tanpa teliti kunci yang diserahin Obon. Trus langsung jalan. Rupanya si Obon ga tau persis kunci rumahku yang mana, dia main asal ambil aja kunci yang geletakan. Ga taunya yg keambil kunci kamar kost Eja. Ejanya lagi tidur jadi ga bisa ngasih tau kalo itu kuncinya dia. Herannya kok si ayah bisa ga ngeh kalo kuncinya salah, padahal dulu yang nyatuin serendel kunci itu ayah sendiri. Emang nasib dah, ini nih yang namanya ujian kehidupan. Skenarionya kayaknya perfect banget. Dan suka bikin ga habis pikir! Emang dah, kalo Alah udah berkehendak, ga ada yang bisa cegah.

Tiga jam kami nunggu di mobil. Dan ternyata kuncinya salah!!!

Mas lagi tidur di mobil pas ayah sampe sekitar jam 3 (naik angkot tengah malem gitu loh, waktu tempuhnya sekitar 2,5-3 jam, ga kebayang kan?) Begitu tau salah, ayah langsung balik lagi ke Srengseng (naik angkot lagi). Tadinya kukira Mas tidur-tiduran doang dan sebenernya tau kedatangan ayah, ternyata dia bener-bener ga tau kedatangan ayah alias lelap bless.

Mas yang ga lama kemudian terbangun, akhirnya mutusin untuk balik ke Srengseng saat itu juga. Jadi kami semua ke tujuan yang sama dengan kendaraan yang beda.

Akhirnya kami sampe Srengseng lagi jam 4.30. Sementara ayah yang ngecer angkot belum sampe. Abis Sholat Shubuh langsung cabut ke Cikarang lagi. Mulanya Mas seger, tapi menjelang pintu tol Cikarang Barat matanya dah ngantuk berat (secara yang tadi malam cuma tidur setengah jam gitu loh!)

Sampe rumah langsung tepar ambruk dan ga kuat ngantor. Akhirnya Mas yang jam masuk kantor resminya 7.30, hari itu ngantor jam 10.00

Meanwhile si ayah baru sampe Srengseng jam 6.30 pagi. Karena subuh-subuh, angkot masih pada ngetem dulu cari penumpang. Ga kebayang kan? Bisa-bisa bolos ngantor kalo ngandelin si ayah. Kalo balik lagi ke Cikarang, sampenya bakalan jam berapa coba? Meanwhile kitanya udah stress banget ngejogrok di teras depan. Sholat Shubuhnya gimana? Plus malu sama tetangga karena harinya udah terang.

Aku lagi hamil tua 8 bulan lebih pas kejadian ini.

Weleh. Weleh. Sekarang tiap kemana-mana aku jadi lebih waspada. Always make sure that the keys is in the bag…

27 May 2007 Humble (Secuplik Tentang Dia)
 |  Category: My Husband  | One Comment

Sunday, May 27, 2007, 20.00

Lucky me to have a very humble husband. Sederhana, bersahaja, dan ga pernah neko-neko menyangkut soal penampilan luar dan barang-barang pribadi (ex: HP, baju, sepatu, wristwatch, dll). Ga berlebihan. Seadanya. Belum akan ganti kalo belum rusak. Dan beli barang bukan karena gaya dan gengsi melainkan benar-benar karena fungsinya. Contohnya HP. Meskipun sebetulnya si bapak ini can afford to buy HP yang ‘wah’, tapi tentengannya selama beberapa tahun belakangan ini tetep Siemens jaman jebot yang casingnya aja udah ga jelas (baru-baru aja ganti ke O2  seken karena emang perlu fungsi PDAnya). Itu ‘orang besar’ sesungguhnya menurutku. Harga dirinya tidak tergantung dari barang apa yang dia pake. Dia sudah besar dengan sendirinya karena percaya diri bahwa ‘nilai intrinsik’ dirinya jauh melebihi nilai barang-barang yang dia kenakan. Ini tentu tanpa bermaksud sama sekali mengacuhkan dan mengecilkan arti penampilan. Pokoknya asal rapi dan bersih, tetep pede lah datang ke acara-acara resmi seperti kondangan dengan baju lama. Tidak harus selalu baru.

Yo wis, alhamdulillah, cocok banget sama aku kalo gitu. Ga suka dandan dan ga suka tampil heboh dan menonjol. Biasa ajalah. (Believe it or not, bedak aja aku ga punya lantaran ni muka berasa panas kalo bedakan. Apalagi lipstik dan segala tetek bengek kosmetik lainnya).

“Jadi aja diri sendiri dan jangan pusing sama apa pendapat orang. Capek loh kalo ngikutin apa kata orang.” Begitu katanya tadi di resepsi khitanan anak tetangga kami yang amat mewah yang digelar sejak pagi sampai malam ini.

Lagi-lagi, seperti berulang kali sebelumnya, aku merasa sangat beruntung dapat pelajaran hidup yang berharga dari Masku tersayang. The most mature man I know.

Love you honey. Forever and ever…

13 Apr 2007 Friday, June 24, 2005, 20.05
 |  Category: My Husband, Refleksi  | Leave a Comment

Agak malam Mas pulang akhir-akhir ini. Pasti banyak pekerjaan di kantor. Sebenarnya ini belum terlalu malam juga. Ada banyak orang yang mungkin pulang lebih larut. Jam 10, 12, atau bahkan lebih larut lagi. Sabtu dan Minggu akhirnya jadi kemestian untuk keluar rumah. Untuk melemaskan urat syaraf, meredakan ketegangan atau menghilangkan kejemuan. Toh, buat apa capek-capek mencari uang kalau bukan untuk dinikmati sebagiannya? Hidup lalu berputar ke itu-itu saja. Seperti yang ditulis oleh seorang teman yang mengalami kegelisahan yang merasa bahwa hidup hanya seperti sekedar tarikan antara senang dan sedih atau antara keberhasilan dan kegagalan. Itu juga yang kerap kali kupikirkan belakangan ini sampai kadang pikiran itu terasa begitu menyesakkan dada dan ingin kukeluarkan dengan menangis sekeras-kerasnya. Terpikir bahwa setelah selesai aku mengerjakan pekerjaan ini aku harus kembali mengerjakan hal yang sama keesokan hari dan keesokannya lagi dan keesokannya lagi. Dan begitu seterusnya. Aku seperti kehilangan semangat hidup karena tak tahu apa yang harus kukejar. Kemarin malam aku seperti mendapat sentakan saat membaca surat Ibrahim ayat 19: “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi dengan haqq…” Tapi sentakan itu rupanya tidak cukup menyemangatiku untuk menjalani hari ini dengan lebih baik. Untuk belajar dengan lebih baik.Ya Allah, sesungguhnya apakah arti haqq keberadaanku di dunia ini? 

08 Apr 2007 Friday, March 4,2005, 03.15
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | Leave a Comment

Begitu banyak berkah kasih sayang dalam kehidupanku. Ini kusadari sejak awal sekali pernikahan kami. Ada kehangatan yang menjalari hati saat menyadari bahwa hal pertama yang selalu dia lakukan saat aku membangunkannya di malam hari adalah tersenyum. Bangun dari lelapnya tidur sambil mengejap-ngejapkan mata dan langsung tersenyum. Betapa ringannya dia tersenyum. Duhai Allah, sungguh kurasakan kasih sayang- Mu melalui kasih sayangnya.

Begitu banyak momen yang harus kusyukuri. Begitu ringan pernikahan ini kujalani. Inikah yang disebut pernikahan yang sakinah, mawaddah wa rahmah? Aku tidak tau. Yang kutau adalah aku selalu merasa tenang bersamanya, selalu merasa dicintai dan disayangi, selalu merasa dirangkul sebagai teman hidup sejati.