Archive for the Category ◊ My Kids ◊

18 Jun 2007 Master of Ceremony
 |  Category: My Kids  | 3 Comments

Monday, June 18, 2007, 01.34 (revised 11.20)

“Teman-teman dan para hadirin yang saya hormati, setelah kita dengarkan bacaan doa-doa harian yang dibaca oleh adik-adik Play Group, marilah kita saksikan Tari Sarapan Pagi yang dipersembahkan oleh anak-anak Kelompok A, dilanjutkan dengan pidato Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, yang ditampilkan oleh E*** dan A*****. Tepuk tangan para hadirin…”

That’s what I suppose to hear dari mulut anakku kemarin pagi di acara pelepasan siswa PG-TK tempatnya menuntut ilmu.

Semua anak dapat kesempatan tampil setidaknya sekali. Ada yang ikut pembacaan doa, marching band, menari, pidato, fashion show dan MC. Anaku kebagian yang disebut terakhir. Ia sudah giat berlatih menghafal di rumah sejak 2 minggu yang lalu.

Sudah sangat hapal sekali. Tapi anehnya, I have a bad hunch akan ada ‘sesuatu’ terjadi berkenaan penampilannya. Yang mulanya terpikir sih ia akan grogi dan kelupaan teks. 

Sebelum tiba gilirannya, ia berlarian kesana-kemari dan bercanda khas lelaki yang agak kasar. Hingga akhirnya terjatuh, menangis dan mengantuk. Acaranya juga ternyata berlangsung agak lama dan giliran Alfath ada di tengah-tengah.

Ternyata benarlah, mungkin karena agak mengantuk, bercampur juga dengan rasa takut dan grogi, anakku yang memang pada dasarnya gampang bete itu,  menolak tampil dan menangis sekencang-kencangnya ketika dibujuk naik panggung oleh ayah dan guru-gurunya (sementara aku duduk di bangku penonton bersama si baby).

Kecewa? Iya pastinya. Sementara orang tua  lain sibuk merekam atau memfoto anak-anak mereka ketika beraksi di panggung, kami kehilangan kesempatan itu.

Dan ini bukan kekecewaanku yang pertama. Dulu, kira-kira setahun yang lalu, ia pun menolak untuk mengikuti satu pun perlombaan  acara tujuhbelasan. Padahal sebelumnya aku sangat berharap ia bisa memenangkan lomba. Mengingat cerdas dan lincahnya ia di rumah. Tapi ternyata ikut pun tidak.

Sepulangnya kami menasehatinya untuk lebih berani dan bertanggung jawab di  waktu mendatang. Dan aku, rasanya lebih dari sekedar menasehati, setengah mengomel tepatnya. Dan sisa hari itu kujalani masih dengan sebuah ganjalan kekesalan dan kemarahan potensial yang untungnya masih agak bisa kutahan.

Singkat cerita, ayahnya mengajak Alfath sholat Maghrib di mesjid. Sepulang dari mesjid, melihatnya berpakaian koko rapi lengkap dengan pecinya jadi tiba-tiba tercetus ide untuk merekam Alfath beraksi sebagai MC.

Akhirnya jadilah ia 2 kali kurekam. Dia minta direkam lagi, tapi kubilang 2x cukuplah (yee..ni anak  kalo di rumah malah ketagihan!). Hehe…tak ada rotan akar pun jadilah. Tak dipanggung, di rumah pun jadilah. Lumayan, sedikit mengobati kekecewaan tadi siang.

Tengah malam, setelah lebih tenang dan dapat mengambil jarak dari masalah, aku mulai merenung.

Duhai anakku, bacaan Iqro’mu yang lembar demi lembar bertambah tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.

Goresan pensil dan sketsamu adalah juga sebuah pencapaian.

Kata demi kata baru yang kau serap tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.

Maafkan Bunda anakku, bila menuntut terlalu banyak darimu.

10 May 2007 My Worry
 |  Category: My Kids, Oprah Show  | 4 Comments

Young Boy Lured in to Porn. Another story in Oprah. Jason Berry, 13 years old, Head of Class, Honorable Student, lured into porrn, started from his own bedroom. Semua ini dimungkinkan dengan sebuah alat yang disebut webcam. For 5 years, his mother didn’t know his real activity in the internet world. Ia awalnya hanyalah bocah lugu yang kesepian yang mencoba mencari teman di dunia maya sebelum akhirya terpedaya oleh kaum pedofil yang cara kerjanya sudah sangat sistematis. Para predator anak itu rela membayar berapapun asal si korban rela menuruti apapun kemauan mereka. It’s all started so simple. Mulanya hanya percakapan ringan, yang beranjak pelan-pelan ke hal-hal yang makin sensual. Diawali hal biasa seperti membuka kaos, and then weeks after he started to take off his pants, strip naked. And then masturbating live in camera. And then coming to Vegas for a week attending the pedophile (I don’t know the spelling for sure) invitation to meet face to face dengan alasan menghadiri konferensi komputer bersama teman-temannya dan ibunya dengan mudah terkecoh begitu saja dengan alasan itu.

What shocking is, setelah ditrace melalui perusahaan kartu kredit yang digunakan untuk mengirim uang ke rekening Justin, terungkap bahwa kaum pedofil ini di dunia nyata adalah orang-orang menduduki posisi terhormat seperti dokter, guru, anggota dewan, dan bahkan pengacara yang  sehari-hari menghadapi anak-anak yang dia wakili haknya. (Ehm, kita memang bisa jadi siapa saja di dunia maya, memakai topeng apapun yang kita suka).

Ibu Justin sendiri bekerja sebagai konsultan untuk anak-anak korban pelecehan seksual. Tapi apa yang diketahuinya dari bidang yang digelutinya, seperti tanda-tanda anak yang mengalami pelecehan seksual, tidak membuatnya ‘ngeh’ selama 5 tahun, bahwa hal serupa- bahkan lebih parah- terjadi pada anaknya sendiri.

Anak-anak memang pandai menyembunyikan sesuatu dari orang tua mereka.  Sebagaimana orangtua lain, ibu Justin juga memasang software pengaman untuk melindungi anaknya mengunjungi situs-situs berbahaya. Tapi katanya: “ By the time they were in 6th grade, kids are a lot smarter than their parents”. Software semacam itu dapat dengan sangat mudah dicrack oleh anak-anak yang pada seusia mereka memang sangat menggilai komputer.

What about me? Tentu ini jadi kekhawatiranku juga sebagai ibu dari 3 putra. Di Indonesia mungkin hanya segelintir orang saja yang mempunyai alat itu. But problems were the same everywhere, meski mungkin mengambil bentuk yang berbeda. Recent news yang kudengar misalnya, 3 video mesum  yang direkam dengan HP beredar di Tegal yang dibintangi oleh pelajar SMP, SMA dan mahasiswa. Dan hampir setiap hari berita semacam itu- yang terjadi di mana-mana sampai ke pelosok Indonesia -ditayangkan tivi yang membuatku sangat eneg dan khawatir dengan masa depan anak-anakku.

Kecerdasan- dan segala hal lainnya- memang bagai 2 sisi mata uang. Di satu sisi bila digunakan untuk hal yang positif, itu bisa menjadi daya dobrak yang luar biasa bagi kemajuan anak, tapi di  sisi lain dapat menjadi elemen perusak bila digunakan secara salah. 

Aku mengkhawatirkan anak-anakku terutama si sulung dengan kecerdasan dan kecenderungan seksnya. Ia cepat mengerti dan mencerna segala hal. Saat ini ia belum mahir membaca. Ketika ia mulai bisa membaca nanti pasti semakin banyak informasi yang dapat diserapnya. Semakin dewasa lagi, ia mulai mahir menggunakan komputer dan mulai menjelajahi dunia internet, for better or for worse. Mungkin beberapa tahun lagi, ia akan jauh lebih pintar dariku dalam hal teknologi, sehingga tidak mungkin bagiku untuk mengontrolnya.

Fasilitas juga bagai 2 sisi mata uang.  Fasilitas yang kumaksud di sini seperti misalnya HP, mobil,  akses internet, uang, dll. Di satu sisi bisa sangat memudahkan anak melakukan kegiatan yang positif  bagi kemajuan dirinya. Di lain sisi bisa mempermudah juga akses untuk berbuat hal-hal yang negatif.  (You can’t go to the dugem’s world if you don’t have enough money!).

Tapi mungkin sebaiknya aku juga tidak perlu terlalu khawatir. Everything is happened by slowly. Time by time. Step by step. Aku mungkin hanya melihat hasil dan bukan proses. Hanya melihat berita dan tidak latar belakang kejadiannya. Mungkin saja orang tua pelaku video mesum di atas adalah orang tua yang kurang perhatian, terlalu memanjakan tanpa membatasi, atau orang tua yang tidak sholat, makan uang korupsi atau bahkan lebih bobrok akhlaknya dari si anak. Well, we don’t know it for sure. Better not to judge.

Kalau ternyata itu dilakukan anak yang orang tuanya  yang baik-baik -atau setidaknya berusaha jadi orang tua yang baik- ya itu musibah atau ujian kali ya untuk si ortu.

* What the hell in this world is happening? 

* Kayaknya aku potensial jadi Marlin-typed parents deh (ini istilahku sendiri lho!). Orang tua yang mirip Marlin ayahnya Nemo yang takut anaknya begini-begitu mencoba hal baru dan karenanya jadi menghalangi anak untuk maju dan menjadi dirinya sendiri. I think I should overcome all my worries. Jadi orang yang optimistic rather than pesimistic. Bener loh, kayaknya belum apa-apa yang terpikir di otakku masalah demi masalah aja. 🙁 

* Well, badai pasti berlalu. Matahari kan bersinar. Nantinya juga hormon remaja yang meletup-letup  itu akan mereda dan anak-anakku menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab pada dirinya sendiri melalui pengalaman hidup yang dijalaninya. Toh itu adalah suatu kemestian yang mau tidak mau, tidak bisa tidak, akan mereka lalui untuk menjadi dewasa.

* Banyak alasan untuk khawatir tapi banyak juga alasan untuk tidak khawatir. Manusia makhluk dinamis yang senantiasa bisa belajar dari kesalahannya. Allah Tuhan Maha Penyayang yang selalu menerima taubat hamba-hamba Nya. Kita punya doa sebagai senjata. Aku punya suami yang sabar, penyayang dan cerdas yang mampu menjadi panutan dan ayah yang hebat bagi anak-anaknya. Semoga.J

Sunday, April 8, 2007, 01.53
16 Apr 2007 Tak Habis Pikir (2)
 |  Category: My Kids  | One Comment

Friday, December 22, 2006, 19.05

Apa sebenarnya yang terbaik di lakukan orang tua? Kadang orangtua merasa telah berbuat semaksimal mungkin menjauhkan anak-anak dari segala pengaruh buruk, tapi nampaknya ada saja saat-saat di mana mereka kecolongan. Jadi apa sebenarnya yang terbaik dilakukan orang tua? Mungkin jawabnya adalah: tetap berusaha seoptimal mungkin memberikan yang terbaik tetapi tetap menyerahkan anak kita kepada Pemiliknya yang Sejati. Toh -seperti Kahlil Gibran pernah berkata- anakku memang bukan anakku. Ia adalah individu yang unik dengan jalan hidupnya sendiri. Ia, seperti halnya kita orang tuanya, adalah manusia juga yang banyak tergelincirnya tapi selalu punya jalan untuk kembali. Sebanyak apapun salah dan dosa manusia, toh ada Dia Yang Maha Pemaaf dan Penerima Taubat. Mungkin ini yang bisa membuat kita lebih tenang menghadapi zaman yang semakin membuat kita tak habis pikir ini.

16 Apr 2007 Tak Habis Pikir (1)
 |  Category: My Kids  | 2 Comments

Friday, December 22, 2006, 16.44

Alfath terima raport hari ini. Alhamdulillah hasilnya cukup baik. Kepala sekolahnya cerita bahwa mereka baru saja kecolongan dengan adanya peristiwa ‘mengejutkan’ yang terjadi di sekolah. In front of their very eyes. Sehabis test murid-murid kelas B di suruh main di luar kelas untuk menghilangkan kesumpekan dan kepenatan. Lalu setelah beberapa waktu gurunya baru ‘ngeh’ bahwa ada beberapa siswa yang hilang dari pandangan. Usut punya usut, setelah dicari ternyata ada tiga orang murid: 2 laki-laki dan 1 perempuan yang sedang berada di kamar belakang sekolah yang dialih fungsikan sebagai ruang UKS. Setelah ditanya, dengan polosnya mereka melontarkan jawaban mengagetkan: “sedang main perkosa-perkosaan”. Salah seorang murid laki-laki bertindak sebagai ‘sutradara’ yang mengarahkan temannya untuk membuka baju dan celana sang murid perempuan. Si wanita menolak dan menangis. Untungnya peristiwa itu keburu dipergoki Bu Guru sebelum anak itu berbuat apa-apa dan sang anak masih berpakaian lengkap. Para guru miris dan masygul. Mungkin mereka, begitupun aku, tidak habis pikir bagaimana para bocah polos itu dapat berpikiran dan berbuat sejauh itu. Bu Kepsekpun mengaku malam itu ia tidak bisa tidur. Ia hanya bisa menangis. Setelah orangtua ketiga anak itu dipanggil sendiri-sendiri, merekapun masing-masing menangis.

13 Apr 2007 Aslam’s Birth
 |  Category: My Kids  | Leave a Comment

Friday, Oct 7, 2005, 13.45

Bayiku sudah lahir tanggal 18 September kemarin. Namanya Aslam Nur Hidayat. Lahir pada pukul 17.41 dengan berat 2800 gram, tinggi 50 cm dan lingkar kepala 36 cm. Masya Allah, berat sekali proses kelahirannya. Kurang lebih 4 jam aku merasa mulas dan melinting kesakitan. Sekarang pun, setelah hampir 3 minggu saat-saat yang sangat berat itu kulalui, masih terasa kenyerian dan kesakitan pasca proses persalinan. Untungnya tidak terasa lagi kepedihan karena lecet payudara seperti yang kualami waktu menyusui Alfath dulu. Insya Allah akan kuusahakan semaksimal mungkin untuk menyusui Aslam dengan ASI eksklusif.

Terasa betul beratnya menjadi ibu kalau sedang punya bayi seperti sekarang. Bahkan menulis pun urung kulakukan meskipun sebenarnya sudah sangat ingin sejak kemarin. Jadi merasa takjub dan salut pada ibu-ibu yang beranak banyak. Darimana ya datangnya kekuatan dan kesabaran yang begitu luar biasa untuk mengurus dan melayani kebutuhan anak-anak mereka. Apalagi ibu-ibu yang mengerjakan semuanya sendiri tanpa dibantu orang lain, baik karena pilihannya sendiri maupun karena keadaan yang tidak memungkinkan. Ibu-ibu perkasa itu mampu mengemong anak-anak dengan baik, menjadikan rumah sebagai tempat tinggal yang aman, bersih dan nyaman serta bisa menyenangkan dan memanjakan suami dengan masakan dan pelayanan yang memuaskan. 

Hidup seperti benar-benar diekstraksi kalau sedang dalam keadaan begini. Diperas habis untuk diambil saripati yang penting dan berguna. Waktu yang 24 jam sehari harus diisi dengan serentetan pekerjaan yang mengantri untuk diselesaikan. Selesai pekerjaan yang satu, sudah menunggu pekerjaan yang lain. Bagi  ibuku, bangun pas waktu subuh itu sudah kesiangan kalau punya anak kecil. Tidur siang adalah suatu kemewahan buat seorang ibu. Aku mulai ketularan juga sedikit-sedikit. Paling nggak, sekarang aku merasa sayang banget kalau mau menghabiskan waktu 2 jam di depan TV untuk menyaksikan sebuah film. Rasanya lebih baik tidur dan mengistirahatkan badan yang sudah lelah bekerja seharian. Padahal dulu aku geregetan banget kalau nyetelin CD film bagus buat ibu tapi ibunya malah tidur dan nggak peduli. Mungkin idealnya  tidur malam paling lama cuma 6 jam kali ya. Tidur jam 10 malam dan bangun lagi jam 4 pagi. Kalau sedang enak hati rasanya ringan dan mudah saja ngerjain setumpuk pekerjaan. Tapi kalau sedang datang rasa jenuh atau sedang kehilangan visi dan pemaknaan rasanya stress banget lihat pekerjaan yang seperti tak ada habisnya.