Monday, June 18, 2007, 01.34 (revised 11.20)
“Teman-teman dan para hadirin yang saya hormati, setelah kita dengarkan bacaan doa-doa harian yang dibaca oleh adik-adik Play Group, marilah kita saksikan Tari Sarapan Pagi yang dipersembahkan oleh anak-anak Kelompok A, dilanjutkan dengan pidato Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia, yang ditampilkan oleh E*** dan A*****. Tepuk tangan para hadirin…”
That’s what I suppose to hear dari mulut anakku kemarin pagi di acara pelepasan siswa PG-TK tempatnya menuntut ilmu.
Semua anak dapat kesempatan tampil setidaknya sekali. Ada yang ikut pembacaan doa, marching band, menari, pidato, fashion show dan MC. Anaku kebagian yang disebut terakhir. Ia sudah giat berlatih menghafal di rumah sejak 2 minggu yang lalu.
Sudah sangat hapal sekali. Tapi anehnya, I have a bad hunch akan ada ‘sesuatu’ terjadi berkenaan penampilannya. Yang mulanya terpikir sih ia akan grogi dan kelupaan teks.
Sebelum tiba gilirannya, ia berlarian kesana-kemari dan bercanda khas lelaki yang agak kasar. Hingga akhirnya terjatuh, menangis dan mengantuk. Acaranya juga ternyata berlangsung agak lama dan giliran Alfath ada di tengah-tengah.
Ternyata benarlah, mungkin karena agak mengantuk, bercampur juga dengan rasa takut dan grogi, anakku yang memang pada dasarnya gampang bete itu, menolak tampil dan menangis sekencang-kencangnya ketika dibujuk naik panggung oleh ayah dan guru-gurunya (sementara aku duduk di bangku penonton bersama si baby).
Kecewa? Iya pastinya. Sementara orang tua lain sibuk merekam atau memfoto anak-anak mereka ketika beraksi di panggung, kami kehilangan kesempatan itu.
Dan ini bukan kekecewaanku yang pertama. Dulu, kira-kira setahun yang lalu, ia pun menolak untuk mengikuti satu pun perlombaan acara tujuhbelasan. Padahal sebelumnya aku sangat berharap ia bisa memenangkan lomba. Mengingat cerdas dan lincahnya ia di rumah. Tapi ternyata ikut pun tidak.
Sepulangnya kami menasehatinya untuk lebih berani dan bertanggung jawab di waktu mendatang. Dan aku, rasanya lebih dari sekedar menasehati, setengah mengomel tepatnya. Dan sisa hari itu kujalani masih dengan sebuah ganjalan kekesalan dan kemarahan potensial yang untungnya masih agak bisa kutahan.
Singkat cerita, ayahnya mengajak Alfath sholat Maghrib di mesjid. Sepulang dari mesjid, melihatnya berpakaian koko rapi lengkap dengan pecinya jadi tiba-tiba tercetus ide untuk merekam Alfath beraksi sebagai MC.
Akhirnya jadilah ia 2 kali kurekam. Dia minta direkam lagi, tapi kubilang 2x cukuplah (yee..ni anak kalo di rumah malah ketagihan!). Hehe…tak ada rotan akar pun jadilah. Tak dipanggung, di rumah pun jadilah. Lumayan, sedikit mengobati kekecewaan tadi siang.
Tengah malam, setelah lebih tenang dan dapat mengambil jarak dari masalah, aku mulai merenung.
Duhai anakku, bacaan Iqro’mu yang lembar demi lembar bertambah tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.
Goresan pensil dan sketsamu adalah juga sebuah pencapaian.
Kata demi kata baru yang kau serap tiap hari adalah juga sebuah pencapaian.
Maafkan Bunda anakku, bila menuntut terlalu banyak darimu.