Archive for the Category ◊ My Self ◊

02 Mar 2010 Freed
 |  Category: My Self, Refleksi  | One Comment

Ini bukan merk mobil, hanya sebuah pernyataan pembebasan diri. Bukan juga kata perpisahan, hanya pengasingan diri sementara waktu. Aku mulai lelah bergaul di dunia maya. Banyak yang harus dibenahi. Sekarang saatnya ‘turun mesin’, overhauled, semadhi or whatever you wanna call. Menarik diri, berkontemplasi, memunguti apa yang terserak.

Lebih hangat di hati bermain bersama anak-anak. Berjalan-jalan, menemani bermain, membacakan buku dan bercerita. Waktu bagai berlari. Bertemu Senin tiba-tiba sampai ke Minggu. Anak bungsuku tak terasa sudah 4 bulan usianya. Aku tak mau kehilangan momen-momen berharga itu. Aku akan berusaha sebisa mungkin mengaktifkan dan menguatkan myelin mereka dengan pendampingan yang aktif. Apa guna seorang ibu berada di rumah kalau tidak hadir jiwa, raga dan pikiran?

Aku mencermati bahwa anak-anak tak butuh mainan mahal. Mereka bahagia selama ada orang tua yang menemani dan mencurahkan seluruh perhatian. Tidak asik sendiri dengan aneka gadget super canggih sementara anak terdiam melongo tanpa ditemani. Mudah-mudahan Allah mangampuni kesalahanku yang lalu. Semoga DIA Ta’ala berkenan mengajari dan membimbingku dalam mendidik anak-anakku. Sungguh mereka adalah anugrah yang tak layak disia-siakan dan dirawat ‘seadanya’. Rasanya aku sudah berusaha semaksimal mungkin selama ini. Aku hanya harus memilah lagi mana yang seharusnya menjadi prioritas, dan mana yang hanya selingan saja. Dan tentu saja, urusan anak bukan sesuatu yang pantas jadi sekadar selingan. Keluarga harus selalu jadi prioritas.

So, this is not goodbye. You can poke me or just stopping by to say hi when you want to hear from me, my dear friends…

Ditulis di Sidoarjo, Thursday, February 11, 2010, 05.15-06.00, tepat ketika Nuri ulang bulan ke-4.

02 Mar 2010 Siklus
 |  Category: My Family, My Kids, My Self, Refleksi  | One Comment

Kesibukan yang luar biasa kadang membuat kita lupa untuk menikmati hidup. Tadi pagi aku berjalan santai bersama anak-anak setelah, seingatku, nyaris 2 bulan lebih kami banyak berdiam diri di rumah dan hanya keluar ketika akhir pekan.

Hangat rasanya diterpa mentari jam 10 pagi yang kebetulan tak bersinar terlalu garang. Kami berjalan santai sambil bercerita. Tentang daun dan rumput. Tentang tanah dan kupu-kupu. Tentang matahari dan bunga. Sepertinya aku yang mengajari mereka, malaikat-malaikat kecilku: Aslam, Halim dan Nuri yang tengah tenang dalam buaian. Tapi nyatanya justru aku yang banyak belajar. Aku bercerita tentang warna daun yang hijau, yang di sela-selanya ada daun yang telah kuning menua. Dan ada pula daun yang telah gugur ke atas tanah: rapuh, coklat, mengering. Tanpa sadar aku telah belajar tentang siklus hidup itu sendiri. Bagaimana kita kanak-kanak, remaja, dewasa, menua, hingga akhirnya ajal pun tiba.

Dadaku menghangat. Mataku berkaca. Aku terharu. Betapa Allah menaburkan tamsil pada segala sesuatu yang hadir di dunia ini. Kisah hidup daun itu sejatinya adalah kisah hidup kita juga.

Kita hidup dalam masa yang amat singkat: lahir, dewasa, menua. Tamsil itu telah nyata ada dalam Kitab-Nya, tapi amat sedikit orang yang mau mengambil pelajaran darinya.

Lumayan juga ‘oleh-oleh’ hasil jalan santai kami siang ini. Selain beberapa cemilan ringan dan minuman dingin, sedikit bekalan ajaran tauhid untuk anak-anak, aku juga membawa pulang segenggam pelajaran hidup.

Friday, February 05, 2010, 23.03

02 Mar 2010 OWN The NOW
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Salah satu kebijaksanaan terbesar dalam pembelajaran kehidupan adalah bagaimana menjadi ‘manusia hari ini’. Sepemahamanku per saat ini, itu berarti menjadi total dan fokus pada segala apa yang dihadirkan Allah pada saat ini. Menjalani itu sungguh bukan hal yang mudah. Pikiran senantiasa berlari dengan betikan ide yang berganti demikian cepat, switching in nano seconds perhaps. Sehingga kadang kita lupa pada ‘sekarang’ dan terus-menerus mengejar ‘nanti’. Belum apa-apa sudah mencemaskan yang terjadi esok sehingga melemahkan upaya kita untuk berbuat yang terbaik hari ini. Belum apa-apa sudah kuatir ini itu sehingga luput mensyukuri segala nikmat hari ini.

Kearifan ajaran Nabi SAW sebenarnya mengajarkan tentang ini semua. Bagaimana untuk sholat yang khusyu’ dengan pikiran hanya tertumpu pada Allah semata (tidak sepertiku yang dalam sholat masih berpikir sehabis ini mau berbuat apa). Nabi mencontohkan bagaimana menghadapkan seluruh tubuh dan wajah ketika berbicara dengan orang lain sehingga lawan bicara sampai-sampai merasa bahwa dialah orang yang paling dicintai Nabi. Tidak sepertiku yang sering ‘menyambi’ anak dengan keasikan pada aktivitasku sendiri. Sering abai menyimak obrolan mereka dengan seksama dan tidak menghadirkan diriku utuh saat tengah bermain bersama mereka. Suka lupa bagaimana really enjoying time with them without worrying other stuff. Suka lupa memasang wajah ceria dan penuh senyum pada anak-anak karena ruwet dengan segudang urusan hari ini.

Nabi mengajarkan untuk tidak berpanjang angan-angan karena manusia yang hidup pagi ini tidak sedikitpun boleh merasa aman bahwa ia akan tetap hidup nanti sore. Absurd memang bagaimana kita mencemaskan tingginya biaya pendidikan perguruan tinggi anak-anak kita sementara mereka masuk TK saja belum. Akhirnya kita tak pernah lepas dari kekhawatiran akan nasib masa depan dan sulit untuk menikmati karunia hidup saat ini.

Ini PR sekolah kehidupan yang tak pernah usai selama nyawa masih dikandung badan: how to live your precious life with a self consciousness.

Sunday, January 31, 2010, 01.47

02 Mar 2010 Plin Plan
 |  Category: My Self  | Leave a Comment

Lately I feel very thin. Suka kurang fokus dan bagai lemah tanpa daya. Bisa dikira sebabnya apa kan? Terlalu letih lelah kurang tidur kurang makan banyak kerja. I think I am forcing my self too much. Overload. Overwhelmed.

Kalau siang ketika keadaan rumah tengah huru hara berantakan aku ingin sekali memanggil assistant on demand yang pernah sekali datang ke rumah. Tapi dia tidak bisa dihubungi siang hari karena tidak memegang HP. HP ada di tangan suaminya. Ketika malam ketika HPnya nyambung, keadaan rumahku sudah rapi sehingga niat minta bantuan pupus lagi. Begitu terus selama berhari-hari. Berbulan-bulan sampai akhirnya hingga kini aku masih saja sendiri.

Entah kenapa, aku harus berpikir berulang kali ketika akan memencet tombol HP untuk minta bantuan. Bukan, bukan karena sayang pada rupiah yang akan keluar. Tapi -this is my bad- agak sulit menerima cara kerja orang lain. Semua harus pake ‘cara gue’. Which is impossible kecuali aku bisa menduplikasi diri dengan mengkloning. Pepatah Arab yang pernah kupelajari di pesantren dulu mengatakan bahwa: man tholaba akhon bilaa ‘aibin baqiya bilaa akhin. Barang siapa mencari teman yang tak bercela cacat maka mustahil akan menemukan teman. Yaa…demikianlah kira-kira keadaanku.

Padahal banyak rencana-rencana masa depan yang ingin aku wujudkan, yang pastinya agak sulit terlaksana bila kondisiku masih terus begini. Mas berulang kali bilang, delegasikan pekerjaan yang bisa dikerjakan orang lain. Tapi kok ya susah. Aku suka kesal bila melihat cucian yang sedikit bernoda karena, misalnya, ART kurang kuat menyikat. Padahal ‘kesalahan’ serupa sering aku perbuat dan aku tidak menjadi kesal karenanya (mana mungkin kesal pada diri sendiri?). I have to learn a lot to let go. Not to be so perfectionist. Tapi kok ya susah. Ini perjuanganku sekarang.

Aku mencermati bahwa diriku termasuk tipe ‘all or none’. Kukerjakan total atau tidak sama sekali. Kalau sedang rajin semua kukerjakan dengan rapi detil. Tapi kalau sedang malas, bisa tak kulirik sama sekali.
Kalau rajin semua baju kucuci manual. Kalo malas, bahkan clodi pun sekarang masuk ke mesin.

Aku tahu aku bukan pemalas. Aku sudah sangat kuat berusaha. Tapi memang beban kerjaku kelewat berat. Aku tahu itu. Tapi tetap saja ego yang menang. Merasa bisa meng-handle semua sendiri. I really have to learn to let go.

Jadi sampai sekarang masih plin plan. Pake ART, ngga, pake, ngga, tokek, tokek. Haha…

Sunday, January 17, 2010, 21.13

14 Jan 2010 Pesan untuk Anakku
 |  Category: My Family, My Kids, My Self, Refleksi  | One Comment

Baru saja di tivi kudengar berita miris tentang seorang bapak memperkosa anak angkatnya karena menonton film porno. I sudden remember about all my children. Aku resah gelisah mencemaskan bagaimana mereka melewatkan masa puber nanti dengan konsisten berpegang pada aturan Allah.

Hampir 8 tahun usia anak tertuaku sekarang. Waktu terbang begitu cepat. Sebagai orangtua kadang kita tergagap menghadapi perkembangan anak-anak yang begitu pesat. Bekalan belum cukup tapi perjalanan harus berlanjut. Masa terus dipergilirkan. Masa mereka akan berbeda dari masa kita. Mungkin dahulu waktu kita kecil, belum ada orang gila yang tega menyisipkan film porno dalam film anak-anak. Mungkin dahulu waktu kita remaja, belum lazim koneksi internet yang mudah diakses setiap orang. Tapi lihat sekarang? Semua hal yang ingin kamu cari ada di dunia maya itu, Anakku. Maka pesan Bunda untukmu: pilihlah input yang baik, sehingga yang keluar darimu adalah output yang baik. Jaga dirimu dari segala hal yang sia-sia dan merusak otakmu. Bergaullah dengan teman yang positif yang dapat menjagamu dari perilaku yang merugikan orang lain. Betapa banyaknya orang yang keberadaannya di dunia ini bernilai negatif hanya karena mereka salah dalam menentukan pilihan. Mereka salah dalam memilih apa yang mereka tonton, baca, dengar, gauli, sehingga otak mereka rusak dan tidak dapat berpikir hal lain selain keburukan. Gunakan masa mudamu untuk hal-hal yang bermanfaat. Kendalikan hormon masa muda yang meletup-letup dengan menyalurkannya ke berbagai aktivitas positif. Jadikan Al-Quran dan sunnah Nabi sebagai pegangan hidup. Yakin pada diri sendiri dan jangan melulu tunduk pada apa kata orang. Tanyalah nuranimu sebelum bertindak. Bila baik, maka berkeras hatilah melaksanakannya. Bila buruk, maka berusaha kuatlah menghindarinya. Ada Bunda dan Ayah di sini yang bersedia menjadi temanmu manakala kau butuh teman. Kami berusaha untuk tidak menghakimimu bila suatu saat kau membuat pilihan yang salah. Karena kesalahan ada agar kita dapat belajar tentang yang benar. Tapi jangan juga kau marah pada kami bila apa yang kami pikir benar ternyata tidak benar bagimu, karena sebagai orangtua, kami pun masih harus banyak belajar. Kehidupan adalah sekolah yang tak mengenal kata lulus, Anakku. Aku, ayahmu, kamu dan semua orang adalah murid sekolah kehidupan yang harus terus belajar sampai tiba hari diperhitungkan amal-amal.

Thursday, January 14, 2010, 03.15