Archive for the Category ◊ My Self ◊

04 Jul 2009 Life Plan
 |  Category: My Self, Oprah Show, Refleksi  | 4 Comments

Ketika seorang teman mengatakan bahwa ia telah membuat rencana pribadi bagi dirinya untuk 10 tahun ke depan, aku lalu bertanya-tanya sendiri rencana pribadi yang bagaimana yang kuinginkan untuk diriku sendiri.

Pernah juga seorang teman menanyakan apakah aku masih berkeinginan untuk kuliah lagi. Dan kujawab bahwa sampai saat ini belum tercetus keinginan untuk itu. Keadaan sekarang memang belum memungkinkan untuk itu. Aku mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi andaipun mereka sudah agak besar, aku juga tidak dapat memikirkan ide lain -setidaknya sampai saat ini- kecuali bahwa kemungkinan aku akan menambah anak lagi sampai usia produktifku usai. Let say 40 years may be. So, college may be out of option. Tapi alasan terutama bukan itu. Bukan karena aku saklek terlampau antusias menambah jumlah anak. Aku hanya belum menemukan minat pada suatu bidang yang begitu kuat yang bisa menarikku kembali ke bangku sekolah.

My passion is in writing. Personal writing. Dan rasanya aku tak perlu terdaftar dalam kelas jurnalistik manapun untuk sekedar mampu menuangkan isi kepala dan hatiku. Just write what I want to write.

Sampai saat ini belum terpikir mau dan akan mengikuti kelas-kelas informal yang dapat menambah skill tapi bukan menjadi minatku, seperti kursus memasak, membuat kue, atau menjahit. Mungkin suatu saat kelak. Tapi lagi-lagi aku tak punya timeline untuk itu.

Sebenarnya aku dalam posisi yang nyaman sekali untuk memulai suatu rencana yang besar. Insya Allah anak keempatku akan lahir ketika usiaku belum lagi menginjak 29. Aku rasa belum terlambat untuk memulai merintis mimpi ketika usiaku memasuki 30. Empat adalah jumlah yang cukup untuk menyemarakkan suasana rumah. Just stop right there. Focusing only on raising them, tanpa menambah anak lagi, dan mulai meluangkan waktu untuk pengembangan pribadiku. Lagipun rasanya suamiku sangat supportif untuk mendukung apapun rencanaku baik secara mental maupun finansial. Tapi lagi-lagi, sampai saat ini aku tidak terpikirkan hal lain selain berada bersama anak-anak. Dan pelajaran tentang bagaimana mendampingi anak-anak dengan baik adalah pelajaran yang bisa didapat secara informal dari sumber manapun dan melalui pengalaman pribadi sehari-hari.

Modal paling penting untuk mendampingi anak-anak adalah kesabaran. Andai ada sekolah sabar, aku pasti ingin terdaftar ke dalam situ. Karena yang kuinginkan adalah aku bisa lebih sabar menghadapi dan melayani anak-anakku. Memperlakukan mereka selayaknya harta yang paling berharga dalam hidupku. Tapi masalahnya, sabar tidak ada sekolahnya. Kecuali mungkin ada teorinya dalam acara rohani atau pengajian yang kita ikuti. Tapi sabar adalah sesuatu yang harus dijalani secara nyata dalam penggemblengan hidup sehari-sehari.

Jadi sampai saat ini belum ada kesimpulan tentang kemana sebenarnya arah rencana hidupku (personal life plan). I just go with the flow. Menjalani hariku sebegini adanya. Berusaha memupuk dan menambah kesabaran setiap hari. Sometimes I succeed, sometimes I failed. Jatuh bangun dalam perjuangan itu setiap hari.

Mungkin peranku di luar tidak banyak. Sumbanganku ke masyarakat tidak nyata. Tapi setidaknya kehadiranku besar bagi anak-anakku sendiri. Barangkali melalui peranku sebagai ibu anakku kelak bisa memberi kontribusi peran yang lebih nyata ke dunia luar. Semoga.

Kemarin pagi baru saja kudengar Oprah berkata. Ada banyak orang-orang besar yang namanya tercantum dalam sejarah. Tapi ada lebih banyak lagi orang besar dengan peran besar yang namanya bahkan tak tercantum dalam buku sejarah manapun. Aku ingin termasuk ke dalam situ.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa memberi sedikit arti bagi sejarah keberadaanku.

Saturday, July 04, 2009, 00.48

28 Jun 2009 Have You Comb Your Hair Today?
 |  Category: My Self  | One Comment

Have you comb your hair today? May be this is just a simple question. Sudahkah Anda menyisir rambut hari ini? Tapi coba tanyakan ini pada ibu rumah tangga yang tidak harus keluar rumah setiap hari. I bet, tidak semuanya akan menjawab ‘sudah’. Dan aku mengaku termasuk satu di antaranya. I don’t know, is this just me as a lazzy stay-at-home mom yang –sayangnya- tidak begitu memperhatikan penampilan, ataukah ada ibu-ibu lain yang juga mengalami hal demikian? Yang kutahu ibuku seringkali begitu. Membiarkan rambutnya kusut tak tersentuh sisir dan hanya mengikatnya seadanya saja. Dan pernah seseorang yang kukenal juga berkata: “Nyisir aja ga sempet…” So I guess, I’m not alone in this.

Yang ideal tentu saja setiap hari menyambut suami dengan penampilan terbaik. Wajah kinclong, bermake-up bila perlu, rambut tertata rapi, tubuh segar dan wangi sehingga enak didekati dan dipeluk mesra (though my husband still did this eventhough I’m rather ‘smelly’, hahaha. Thank you, Honey…). Entahlah, meski tahu yang ideal seperti apa, kadang rutinitas seolah membuat terlupa. Atau mungkin ini hanya sekedar masalah habbit, dan fokus perhatian yang memang tidak ke arah situ (buktinya, toh, aku masih sempat facebooking, hehe).

Tapi mungkin akan datang masanya aku memang benar-benar tak sempat untuk sekedar berkaca di depan cermin. Contohnya mungkin kelak dengan hadirnya my upcoming baby. Pasti sempat sebenarnya menyisir rambut yang notabene cuma menghabiskan waktu beberapa menit saja. Hanya saja, karena itu seringkali berada di luar prioritas, maka seringkali terlupa atau terlewatkan begitu saja.

Memang kadang tidak mudah menyeimbangkan peran sebagai ibu, istri dan diri sendiri. Diri sendiri seringkali be put behind everything else. Jadi prioritas yang melulu belakangan, bahkan kadang tak masuk daftar prioritas. Too shame to admit.

Jadi jangan ditanya ya, kapan terakhir kali aku ke salon (bahkan ingat kapan pun aku tidak). Karena rambutku tersentuh sisir pun sudah untung.

So, ladies especially mommies, have you comb your hair today?

Sunday, June 28, 2009, 09.14

24 Jun 2009 Istimewa
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Hati bisa demikian cepat berbolak-balik. Sesaat merasa sedemikian kering, tapi kemudian terasa sejuk bagai disirami hujan. Ini kejadian berharga yang kualami hari ini.

Tadi sore, seperti biasa, aku berhadapan dengan serangkaian tugas dan pekerjaan rumah. Kondisi badan cukup segar, karena baru saja beristirahat siang. Hanya secara emosi memang merasa agak rapuh karena sedang bosan dengan rutinitas yang ada. Kadang merasa bahwa semua yang kulakukan tiap hari tanpa henti bagai tak ada sambungannya ke ‘atas sana.’ Life is just a bunch of routines. Meski secara teoritis kita pasti tahu bahwa ini semua harus dilakukan karena Allah. Tapi tetap saja aku tidak bisa memakan teori itu untuk menekan kekeringan yang tengah terasa. Kita bisa ‘tahu’ tanpa bisa ‘merasa’. Padahal ‘rasa’ itulah yang penting.

Puncaknya terasa saat aku yang baru saja usai sholat Ashar mendengar anak-anak- Aslam dan Halim- berantem seperti yang biasa mereka lakukan. Lumrah, namanya juga anak-anak. Halim menangis kencang, padahal ia tengan minum susu. Dan seperti kebiasaannya, ia seringkali muntah kalau menangis kencang. Akhirnya memang itulah yang terjadi. Lantas kumandikan ia dan abangnya sekaligus. Di dalam kamar mandi mereka berdamai. Saling mengelus, berjabat tangan dan tertawa kembali. Pemandangan yang indah.

Usai itu aku membersihkan muntahan dan mengepel. Tiba-tiba ada rasa sesak yang mendesak. Haru yang entah datang dari mana. Rasanya ingin menangis saja. Feel so emotionally drained. Lelah. Tapi tidak secara fisik.

Tidak, jangan sarankan aku untuk lantas memperkerjakan asisten rumah tangga. Secara fisik aku insya Allah masih kuat. Justru aku merasa lebih attached ke anak-anak dengan menjadi single fighter seperti ini. Bukan itu sebabnya. Hanya saja emotional drain ini terjadi karena aku gagal menemukan ‘sambungan ke atas’. Disorientasi, ringkasnya.

Tapi akhirnya, air mata itu tak jadi tumpah, meski walau tumpah pun mestinya tak apa. Pekerjaan terus berlanjut ke yang lain-lain. Cuci piring dan menyuapi anak-anak.

Usai Sholat Maghrib aku tadarusan sebentar. Dan terjadilah kejadian penting kedua. Bagai dibalasi jawaban langsung oleh Dia Ta’ala, yang lantas membuatku benar-benar tak bisa menahan tangis. Bahkan sampai kinipun saat menulis ini. Hadiah indah ini terasa saat aku sampai di Surat Shaad ayat 75: “Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang telah menghalangi kamu untuk sujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”

Ah, aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya menangis. Secara instan aku merasa langsung menemukan sambunganku ke atas. Aku merasa istimewa. Karena aku manusia, yang Dia ciptakan dengan Kedua Tangan-Nya.

Terima kasih atas pelajaran indahmu hari ini ya Allah…

Wednesday, June 24, 2009, 18.25

07 Jun 2009 Lost Tempered
 |  Category: My Family, My Kids, My Self  | One Comment

Anak-anakku bermain bagai tak ada lelahnya hari ini. Berulang kali aku gagal menyuruh mereka tidur siang seperti biasanya. Sampai masuk petang, mereka masih asik bermain bagai tak kenal kantuk. Main air di kamar mandi. Menceburkan lego ke dalam kloset dan bak mandi. Setelah kumarahi dan kuminta keluar, arena bermain pindah ke halaman berpasir. Kenakalan khas anak-anak sebenarnya, tapi entah kesambet setan mana, aku langsung keras membentak mereka: “Ayo tidur !! Dari tadi Bunda suruh tidur ga ada yang mau tidur…” Aku mulai bertanduk. Kemarahanku mengeskalasi begitu cepat. Aslam kurenggut keras dan kupaksa pipis, lalu kugendong ke atas kasur. Halim pun demikian. Ia menangis keras dan bergegas turun segera setelah kuangkat ke kasur. Tapi kuangkat lagi ke tempat tidur meski ia terus meronta. Alfath dengan ketakutan juga ikut naik tanpa dikomando. Mas yang sedang di ruang atas langsung turun demi mendengar kegaduhan itu. Ia segera berinisiatif mengambil alih anak-anak dan mengeloni mereka, sementara aku secepat kilat menyambar sapu dan membersihkan seluruh rumah. Benar saja, mungkin karena kelelahan, dalam lima menit semua langsung terlelap. Mas lalu berbaik hati turun tangan mencuci piring (mudah-mudahan bukan karena takut pada istri yang sedang panas, karena sungguh aku tak memintanya melakukan itu). Dalam sekejap semua beres karena aku bekerja bagai kesetanan. Menyapu lantas mengepel bersih semua. Setelah itu langsung Sholat Maghrib.

Dalam sholat aku menangis menyadari kekasaranku pada buah hatiku. Menyesali renggutan kasar dan bentakan yang tak sepantasnya mereka terima. Aku lantas mengunci pintu. Ingin menikmati tangisku sendiri dengan memandangi, mengelus dan menciumi mereka. Tak kubukakan pintu meski Mas mengetuk ingin masuk. Duh, wajah-wajah polos dan lugu itu…ampuni aku ya Allah, telah mengkhianati amanah yang Kau anugrahkan padaku. Zalim sekali diri ini.

Penyesalan memang selalu datang terlambat. Ya Allah… aku sungguh berdosa telah menyakiti hati mereka, telah menorehkan luka di jiwa bening mereka. Kata orang, penyesalan mendalam itu datang terutama ketika memandangi wajah damai anak-anak saat tertidur lelap. Dan itu juga yang kurasakan. Kupandangi wajah polos mereka satu persatu. Ya Allah…betapa jahatnya aku. Padahal jika mereka sakit, aku akan menangisinya dan bahkan rela bertukar tempat dan menanggung rasa sakit yang mereka derita. Tapi kenapa kini, justru aku yang menorehkan sakit yang meski tak tampak zhahirnya tapi pasti membekas dalam pada jiwa mereka. Allah…ampuni aku. Maafkan Bunda ya anak-anakku sayang. Mudah-mudahan lain kali, kasih sayang dan akal sehat Bunda akan mengalahkan kemarahan Bunda.

Saturday, June 06, 2009, 22.06

05 Jun 2009 Suatu Sore yang Cerah
 |  Category: My Family, My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Baru saja saya akan menuntaskan mengepel bagian belakang rumah, Si Bungsu yang tadinya asik main di luar langsung menghambur menaiki sofa dengan membawa pistol mainan yang penuh pasir. Tak lama Aslam, Si Tengah, ingin ikut masuk dengan kaki berpasir pekat. Sebelum itu terjadi saya keburu menghalaunya dengan suara keras dan menyuruhnya untuk cuci kaki di keran luar dan lalu segera masuk ke kamar mandi.

“Duh capeknya…!” Padahal tadinya mau selonjoran sebentar meluruskan kaki sambil menikmati lantai yang bersih dan wangi. Lima menit pun tak apalah. Mumpung mereka masih asik main di luar.

Setelah itu Si 3,5 Tahun dan Si 2 Tahun saya biarkan main air sebentar di kamar mandi sembari saya menuntaskan mengepel. Selesai memandikan dan memakaikan baju saya mengunci kamar sebentar agar bisa tenang Sholat Ashar karena belakangan Halim suka sekali menaiki punggung ketika sujud.

Usai sholat saya merenung sebentar dan mencoba berpikir jernih. Lantas pikiran waras datang. Kalau ingin mengeluh, memang banyak hal yang bisa dikeluhkan. Tapi kalau saja kita ingin bersyukur, maka sungguh lebih banyak hal lagi yang bisa disyukuri. Shit happens, indeed. But it’s OK.

Setelah sholat, ada rencana untuk mengajak mereka ke luar. Sore hari begini, atau sering juga pagi hari, kadangkala saya mengajak anak-anak bersepeda mengelilingi komplek mencari angin. Biasanya lantas mampir ke mini market depan perumahan untuk membeli cemilan lalu mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmatinya bersama-sama. Ya, kalau mau bersyukur memang banyak hal yang bisa (bahkan harus) disyukuri. Toh, saya masih bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak. Kala jenuh, bisa bermain di luar. Kalau ingin jajan, bisa jajan tanpa harus memikirkan soal uang. Sementara ada ibu lain yang harus bekerja di luar demi memenuhi ekonomi keluarga. Harus kehilangan sebagian waktu bersama anak-anak karena terpaksa. Tentu ibu-ibu yang bekerja demi aktualisasi diri saya kecualikan dari konteks ini.
Kalaupun saat ini keadaan memaksa saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa asisten, toh sudah ada alat-alat modern yang memudahkan. Ada mesin cuci untuk mencuci baju. Things can be a lot worse. Kalau mesin cuci rusak memang mau tak mau harus mencuci sendiri. Tapi toh nasib saya masih lebih baik daripada ibu-ibu yang terpaksa harus mencucikan baju orang lain dari rumah ke rumah?

Sekali lagi, banyak hal yang harus disyukuri.

Akhirnya sore ini kami tak jadi ke luar. Sore yang cerah ini saya habiskan di rumah saja dengan menulis ini sambil menyuapi anak-anak. Sebelum ide menulis kabur (seperti yang seringkali terjadi bila tidak segera menuliskannya). Pun mereka sedang asik main bertiga di rumah sambil nonton Spongebob. Si Kecil lalu minta susu. Si Sulung meminta es teh manis dan Si Tengah minta dibikinkan keduanya. Dan saya melayaninya dengan tenang di sela-sela menulis.

Friday, June 05, 2009, 16.57