Archive for the Category ◊ My Self ◊

11 Feb 2009 Welcome to nurulnoer.com
 |  Category: My Self  | 2 Comments

 

Namaku Nurul Halida. This blog is a briefcase of my life story. Seorang Nurul, setitik noktah dalam semesta yang diizinkan-Nya hadir di dunia ini untuk menjadi entah apa. Hanya mencoba menulis dan menulis, karena rasanya hanya itu yang mampu kulakukan.

Terlahir di Jakarta pada 9 Maret 1981, tanggal yang menurutku unik because you can simply put it down as 32-31-34. Alias tiga dikalikan tiga adalah sembilan dan sembilan di kalikan sembilan adalah delapan puluh satu. Di bawah naungan zodiac Pisces dan Shio Ayam. Sebagai sulung dan satu-satunya wanita dari empat bersaudara, membuatku merasa istimewa di keluarga. Panggilanku di kalangan orang rumah adalah ‘Kakak’.

Dalam suatu perbincangan dengan seorang teman ia mengatakan bahwa hidupku tampaknya ‘more than smooth’. Mungkin memang begitu kelihatannya. Dan dia tak salah. Menurutku hidupku memang biasa-biasa saja, kalau tidak bisa disebut sebagai membosankan. Bukan membosankan dalam konotasi negatif, hanya saja hidupku memang terasa lurus-lurus saja. I’m just a very plain girl, or, woman. Tidak bergejolak sedemikian rupa dan tiap tahapannya kurasa masih termasuk ke dalam ‘kurva normal’. Not so challenging may be, that’s why I called a little bit boring.

Bisa membaca pada umur 4 dan sangat ingat pengalaman membaca tulisan UMUM di sebuah truk tangki minyak yang lewat di depan rumah dengan lafal UM-UM. Pengalaman masa kecil lain yang masih teringat dengan baik adalah menjadi anak kecil cerewet yang selalu menanyakan siapa nama penyanyi yang tengah tampil di acara Aneka Ria Safari yang kesohor di TVRI. Yang lantas mungkin dijawab asal saja dan kadang bohong oleh ibuku karena aku terus mendesak dan tak pernah berhenti bertanya sebelum diberi jawaban (hmmm…bakat menjadi seorang yang very curious yang terbaca sejak kecil dan terbawa hingga sekarang). Sambil kemudian berceloteh riang menyanyikan theme song acara itu secara asal-asalan saja. Kadang: “Eta eti etu, cappalii, cappalii…” .”Atau eca eci ecu cappalii…cappalii…”. Haha…masa kecil yang lucu dan menggemaskan.

Aku juga bisa mengingat dengan baik dan sudah mengerti benar berita tentang tewasnya 7 awak pesawat ulang-alik Challenger (1986), agak bisa samar mengingat peristiwa tangan tuhan-nya Maradona (Piala Dunia 1986). Dan mulai menjadi penonton setia FIFA World Cup sejak 1990, meski sebenarnya tak terlalu suka dengan sepak bola. Sampai puncaknya pada World Cup 1998, saat tak bisa tidur semalaman di pondok pesantren lantaran memikirkan final Brazil-Italia yang tak bisa kutonton. Aaaaarrrggghhhh…..!

I wish there was a TV in my room!!!

Paginya baru tahu kesuksesan Brazil dengan tetracampeoes-nya. Idolaku masa itu adalah Bebeto dan Gabriel Omar Batigol Batistuta. Bukan karena mereka jago, just simply because they handsome and cute. Haha…

Rahasia masa kecil yang ‘agak memalukan’ adalah diam-diam menjadi penggemar Yulius Sitanggang yang dulu heboh dengan hits ‘Maria’ nya, sampai-sampai menulis surat rahasia untuknya. Juga menjadi fans New Kids on The Block dan kerap berkhayal bahwa Jordan Knight kelak menjadi muallaf dan lalu menjadi suamiku. Haha….can’t stop laughing while writing this… 😀

Mulai bersekolah sejak umur 5 di Madrasah Ibtidaiyyah Nurul Muta’allimin yang berlokasi di tengah pasar Tulodong Atas, Senayan. Yang sumpe deh, setiap hari harus menghirup udara tak sedap karena berdekatan dengan Tempat Pembuangan Sampah pedagang sepasar. Tadinya mau masuk SD umum tapi ditolak dengan alasan belum cukup umur. Akhirnya masuk SD pada umur 6 tahun 3 bulan, dan pindah jam masuk madrasah ke siang hari. Dan sejak itu menjadi langganan murid yang selalu terlambat karena double shift itu.

Mempunyai prestasi bagus di masa sekolah. Always Top Three. Tapi juga punya kebiasaan buruk untuk selalu otomatis naksir –meski diam-diam – dengan rival cowok di kelas. Benar-benar aneh, hanya bisa takluk dan jatuh hati pada cowok yang bisa mengalahkanku secara akademis. Haha…seakan cinta tidak buta dan bisa memilih.

Big fans of The Oprah Winfrey Show, yang beberapa acaranya yang menarik akan kutulis juga di blog ini.

Menikah pada usia relatif muda: 20 tahun lebih 2 hari. Saat duduk di semester 6 FEUI. Dengan teman kuliah yang agak ‘controversial’ di kampus. Liku-liku kisah cintaku hingga akhirnya menikah akan banyak juga tersebar diblog ini. Juga kisahku setelah resmi menjadi Mrs. Muhammad Noer. Beberapa refleksi tentang kehidupan pernikahan kami. Tentang kejadian sehari-hari, dan tentu saja cerita tentang peranku sebagai ibu dari 3 buah hati kami: Muhammad Fajar Alfath (25 Jan 2002), Aslam Nur Hidayat (18 September 2005) dan Muhammad Gunawan Halim (8 Maret 2007).

Silakan disimak dan diikuti. Mudah-mudahan bisa dinikmati dan diambil pelajaran.

Thursday, February 12, 2009, 03.00

28 Aug 2008 Beli Suasana
 |  Category: My Self  | 2 Comments

Sby, August 28, 2008, 16.11

Kok mendadak kepingin sneak out ke warnet walaupun di rumah tersedia internet acces dengan mudah dan gratis (maksudnya suami yang bayar gitchu…)

Yaaa sejam dua jam tak apalah. Di dekat rumah ada dengan tarif 3000 rupiah/ jam.

Kenapa begitu? Bukankah mubazir saja mencari di luaran apa yang sudah tersedia di dalam rumah.Tak lain tak bukan adalah tak efektifnya dudukku di depan komputer ini yang walaupun kelihatannya berjam-jam tapi sungguh banyak sekali interupsi di tengah jalan.

Sedikit-sedikit Halim minta pangku. Minta mimi. Minta naik-naik ke atas meja komputer. Kadang-kadang Aslam ikut-ikutan. Kadang-kadang dua-duanya berebutan. Pfiuuhhh…..!

Begitu Alfath pulang, gantian dia yang pingin main game.

Belum habis buka dan baca sesuatu diusik lagi dengan segala tetek bengek keperluan. Aslam minta susu lah, mau pipis lah, lengkap dengen rengekannya yang otomatis bikin spanning meninggi.

Baru duduk sebentar ada lagi yang mesti kukerjakan.

Kalau malam ayahnya yang butuh perhatian. Agaknya seperti ga tau diri masih membuka komputer katika suami pulang. Habis gimana? Kadang-kadang baru malam itu lah keadaan agak tenang.

Kemarin dulu aku suka sesekali ke warnet ketika komputer lagi ngadat. Tapi sekarang aku sedang mempertimbangkan, mungkin sesekali juga tak mengapa ke warnet walopun komputer di rumah sedang sehat wal afiat. Karena sesungguhnya, yang kubeli di warnet adalah suasana, bukan sekedar akses internet.

26 Aug 2008 Cita-cita : Menikahi Cowok Pintar!
 |  Category: My Husband, My Self  | 7 Comments

Yup, benar! Itu memang cita-citaku. Never clearly stated tapi setelah kupikir-pikir sepertinya itu yang terinternalisasi dan mengendap jauh di dalam diri. Yang pasti, kriteria ini yang terutama dibanding kebagusan rupa. Apalagi kalau kulihat list ‘para pencuri hatiku’ dulu.

Terus terang aku sangat awam masalah lelaki. Tak cukup punya banyak pengalaman hasil trial and error. Jadi jujur saja, daftarku teramat pendek. Only few selected person. Tapi yang jelas, my husband is not my first love.

Apa indikator pintar jaman sekolah dulu? RANKING. Itu menurut pikiran polos naifku. Namanya juga cinta monyet toh. Cinta anak ingusan. Maklum saja kalau masih berpikiran begitu sempit. Lupakan saja dulu tentang: sholih, dewasa, bertanggung jawab, deelel.

Dan berdasarkan ranking, di 12 tahun sekolah formalku dulu (tidak termasuk kuliah) ternyata hanya 2 orang cowok saja yang kuakui keunggulannya di atasku. And guess what, 2 orang itulah yang sukses menjadi (ehemm- ehemm) my so-called love-list.

Daftar ini begitu pendek, karena di jaman hormon puber tengah meledak-ledak, alias masa-masa SMP, aku berada di penangkaran khusus wanita alias boarding school. Jadi ga ada sasaran empuk yang bisa ditaksir.

Kalau diinget-inget sekarang lucu ga sih, naksir cowok karena NEM nya beberapa poin di atasku. Atau kepincut sama juara kelas sementara aku terpaksa takluk di posisi runner-up. Lah wong, apa korelasi seseorang bisa jadi suami yang baik berdasarkan nilai NEM dan ranking. Hahahaha….

Tapi Allah Yang Maha Baik memang senantiasa mendengar doa hamba-hamba Nya. Terutama yang melantunkan doa tulus saat sedang sekarat dalam derita cinta. Dia memberi yang jauh lebih baik.

Ini contohnya. Kecenganku dulu mengantongi NEM 45. Yaaa…lumayan lah ketimbang aku yang jeblok di 37,66 (salahkan boarding school? Soalnya segitu udah termasuk tinggi di sana). AlhamduliLlah masih masuk di SMA Negeri walau dengan peringkat buntut (312? Sungguh nyarisss…). Meski kemudian aku sukses meraup 7 piagam juara kelas di SMA. Tapi aku ternyata berjodoh dengan suamiku yang kemudian kutahu NEMnya 52. Haha…terkabul kan cita-citaku? In terms of PINTAR menurut versi jadulku.

Allah Yang Maha Baik memang selalu mengikuti persangkaan hamba-Nya. Even better….

12 Aug 2008 Bukan Sulap Bukan Sihir
 |  Category: My Self  | 2 Comments

Memang ajaib ya seorang ibu itu. Makhluk bertangan (hanya) dua yang mampu menyelesaikan seabrek tugas dan setumpuk pekerjaan.

Suatu kali aku berkunjung ke rumah bibiku. Seorang full-time mom dengan 3 orang anak yang masih kecil-kecil. Karena keterbatasan ekonomi dia tidak memperkerjakan ART dan malah mengambil pekerjaan serabutan yang bisa dikerjakan di rumah. Pekerjaannya sejenis handcrafting, yaitu membuat aksesoris dan pernak-pernik yang sedang in. Misalnya bikin kalung, gelang, ikat rambut, sarung HP, deelel. Pokoknya apa saja yang lagi musim. Dia mengambil kerjaan borongan itu di tetangganya dan dibayar tergantung berapa banyak dia bisa menyelesaikan. Pekerjaan yang sungguh honornya tidak seberapa. Yaa…itung-itung membantu suami dan untuk uang jajan anak-anak.

Jujur saja, rumahnya yang sederhana itu bak kapal pecah ketika kusambangi. Baju kotor berserakan di mana-mana. Bahan kain dan retsluiting untuk membuat sarung HP juga bertebaran tak karuan. Anak-anak masih cemen dan rebek karena belum mandi. Sampai-sampai aku berpikir: "Apa suaminya (aka pamanku) ga marah dan pusing ya kalo pulang kerja lihat rumah berantakan kayak gini?"

Singkat cerita aku main ke rumah bibiku yang lain yang tinggalnya sangat berdekatan. Mungkin hanya setengah jam aku ngobrol dan duduk-duduk di situ. Sampai akhirnya bibiku yang tadi itu menghampiriku sambil menggendong dan menyuapi anaknya yang sudah rapi bersih. Tak lama aku berpamitan pulang. Dan aku terkesima dengan rumahnya yang kini bersih dan kinclong. Semuanya tertata rapi dan enak dipandang. Sangat berbeda dengan keadaan setengah jam yang lalu. Seingatku waktu itu aku lantas berpikir begini: "Ck…ck…ck…How marvelous is what a mother can do…"

06 Aug 2008 Cerita Lama tentang Aku dan Dia
 |  Category: My Husband, My Marriage, My Self  | 9 Comments

Waduh, orang melankolis ekstrim kayak aku gini memang paling suka meretas jalan kenangan. Kenangannya cuma sepanjang jalan itu, tapi diudek-udek terus dihilir-mudiki bolak-balik. Entah kenapa, ada perasaan hangat menjalari setiap mengingatinya. Yang ini masih cerita lama. Tadi kok iseng baca-baca, dan sepertinya lumayan menarik untuk ditulis di blog. Daripada hilang ketika diary nya lapuk dimakan usia atau dimakan rayap. Yang ini bener-bener ditulis seada-adanya. An uncut version.

Tadi gue ketemu ma’ Firman dan Imam. Gue ceritain aja masalah gue (Nggak tau deh seharusnya boleh apa nggak?)

Pusing deh ih pusing! Gimana kelanjutannya hubungan gue sama Noer. Susah juga kalo the trouble maker temen sekampus. Temen satu profesi, pula!

Dia sih kayaknya nyantai-nyantai aja. Gue sendiri kali yang kelimpungan. Perasaan kanan-kiri salah. Kalo gue keseringan ngobrol pasti bakal dicap ada apa-apanya. Dan ini bakal jadi preseden buruk bagi FSI. Lho, anak FSI kok pacaran?

Kalo nggak, kok ya gue merasa sayang banget gitu. Kayaknya banyak banget yang bisa gue dapet dari pertemanan gue dengan Noer. Gue bisa meniru dan belajar banyak hal ttg keoptimisannya dia, tentang rencana-rencana ajaibnya, tentang tips-tips belajarnya, tentang pemikiran-pemikirannya yang terkadang agak ‘aneh’ dan melangit, tentang macam-macam pengetahuannya dari hasil pengeksplorasian berbagai buku, termasuk juga tentang kepeduliannya untuk membagi Islam ini pada semua. Gue akan merasa sangat kehilangan ini semua kalo menjauh darinya. Tapi gue juga mafhum benar akan rentannya hati ini dari serbuan penyakit yang dapat melalaikan. Sementara gue anggap ngobrol sama dia membawa kebaikan, padahal ternyata Allah benci banget sama perbuatan ini. Jangan-jangan alasan-alasan di atas sekedar pelegitimasian dari pengumbaran hawa nafsu yg nggak terkekang?

So, what could be the best solution?

Gue udah mesti sholat istikhoroh nggak ya?

Noer pernah bilang langsung ke gue kalo dia udah siap dan lagi nyari akhwat yg siap. He asked my opinion about getting marry. Sesuatu yang tadinya begitu jauh dari pikiran gue tapi sekarang sering jadi hal yang gue jajaki kemungkinan terjadinya. Dia bilang tinggal nyari kerjaan. Dia tanya, menurut Nurul gimana? Ya, gue jawab aja pake teori di buku: harus disegerakan tapi jangan tergesa-gesa. Kesulitan mungkin ada tapi jangan disulit-sulitkan. Nungguin gelar termasuk menyulit-nyulitkan nggak,ya? NURUL HALIDA, SE. Wisuda lalu bekerja. Suatu bayangan cerah orang tua akan masa depan anak. Apa mesti begitu? Apa kaya dan bahagia cuma bisa didapat lewat jalur itu? Tak bisakah misalnya, kami berjuang sama-sama dalam naungan ridho Allah krn ikatan yg syah, lalu memulai segala-galanya dari bawah? Entah kenapa gue merasa dia somehow akan berhasil karena keoptimisannya, karena tekad kuatnya, dan karena kelurusan niatnya.

Dia berniat menyegerakan untuk menjaga diri bukan, ya Allah? Hatiku terkesan karena itu. Ia mau bekerja keras dan menabung demi menyegerakan niat baiknya.

Aku baru 18. Belum cukup umur kata orang. Meski sebenarnya kedewasaan tidak semata-mata ditentukan dari umur.

Selasa, 24 Agustus 1999

Background

Ini nulisnya waktu Mas belum menyatakan terang-terangan nih. Udah mulai pdkt tapi belum eksplisit bilang. Jadi masih meraba-raba maksud dia dan ga mau ke GR an duluan. (See posting: 7 September, 8 Tahun Lalu).

Btw, karena sebaya, dulu aku manggil dia by his name only. Tanpa "MAS". Beberapa bulan sebelum nikah he insist me to call him Mas Noer. Tapi aku ga bisa. Bener-bener kagok. Kayaknya kerongkongan seperti tercekat. Kupikir ketika sudah sah sebagai istri nanti pasti otomatis langsung bisa. Kedua kalinya dia nyuruh pas mamanya datang. Seingatku bulan Desember 2000. Tapi tetep belum bisa. Kadang-kadang bisa sesekali, tapi keseringan lupa nya. Intinya masih sungkan banget lah. Jadi tetep bandel dan ngeyel tuh manggil namanya aja. Bukan maksud hati untuk nantang. Tapi memang ga bisa karena ga biasa. Ternyata sodara-sodara, di suatu malam di rumah teman ketika kita lagi merancang undangan nikah berdua, dia serius bicara dengan tampang yang tegas dan galak: "Jangan panggil Noer, panggil nya  Mas!!!" Oalah, langsung pias deh aku diseriusin dengan bentakan dan diultimatum gitu. Ga pernah-pernahnya aku liat wajahnya sesyerem itu. Mungkin karena dia udah geregetan juga kali ya, ni anak udah dibilangin beberapa kali kok ga ngerti-ngerti juga. Udah nyaris banget mo nikah (sekitar Jan 2001) masih manggil calon suami dengan namanya thok. Kesannya kurang berwibawa dan kurang respek. Setelah itu aku langsung diam dan ga banyak omong lagi. Ajaibnya, setelah dishock therapy gitu, baru deh besokannya lancar manggil Mas Noer :))