Archive for the Category ◊ Refleksi ◊

14 Jan 2010 Masalahku adalah Jalan Rejeki Bagi Orang Lain
 |  Category: My Self, Refleksi, Serba-serbi  | Leave a Comment

Sabtu minggu lalu, mesin cuci kami rusak. Penyebabnya sepele saja. Paginya aku mencuci keset biru tebal berserabut. Karena sekarang musim penghujan, maka menurut perkiraanku keset tebal itu akan lama kering bila dicuci manual saja tanpa pengering. Ternyata tanpa disangka, kerontokan serabutnya sangat parah. Terbukti dari air bilasan penuh bulu yang keluar. Benar saja, setelah mesin berhenti ternyata air masih menggenang di dalam. Pasti ada saluran yang mampat. Siang itu, kami memanggil tukang servis langganan yang sudah kami percaya. Bapak ini tampaknya penjual jasa yang jujur. Tidak mengatakan rusak apa-apa yang memang tidak rusak. Karena ada sebagian teknisi yang nakal, ‘memanfaatkan’ ketidakmengertian customer soal mesin dengan menggonta ganti spare part yang sebenarnya tidak perlu diganti.

Aku jadi berpikir, betapa sempurnanya Allah mengatur pembagian rejeki makhluk-Nya. Jalannya sangat bermacam dan berliku. Siapa yang menggerakkan hatiku untuk mencuci keset pagi itu kalau bukan Allah?
Instead of ngomel karena rusaknya mesin merepotkan kerjaku, aku mencoba melihat dari perspektif lain bahwa itu adalah jalan rejeki bagi orang lain. Sejumlah uang mungkin tak seberapa artinya bagi kita, tapi bisa jadi itu adalah uang makan beberapa hari bagi orang lain.

Maka kini aku belajar untuk tidak mengeluh. Bila suatu saat kacamataku bengkok karena dimainkan anak-anak. Bila suatu saat sendalku putus di tengah jalan. Bila rumput di halamanku tumbuh sangat subur dalam waktu cepat. Bila suatu saat hariku kacau dan aku butuh bantuan orang lain. Aku harus selalu ingat bahwa masalahku adalah jalan rejeki bagi orang lain.

Sunday, January 3, 2010, 17.45

09 Dec 2009 In What Should We Compete In?
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Aku ingat betul saat anak-anakku masih bayi, aku selalu mencatat rinci berat badan mereka tiap kali ke klinik atau posyandu untuk imunisasi. Bila berada bersama ibu-ibu lain, ada rasa bangga menyelinap ketika membandingkan bahwa anakku kelihatan lebih montok dibandingkan bayi-bayi lain. Ketika mereka beranjak besar, urusan berat badan nampaknya tak penting lagi.

Ketika aku sekolah dulu, urusan ranking dan pencapaian nilai akademis rasanya penting sekali buatku pribadi. Terus terang aku jarang belajar, tidak cinta belajar dan mengakui bukan seorang pembelajar. Belajarku rasanya hanya sekedar mengejar nilai. Tidak sampai ke esensi belajar itu sendiri. Hanya sekedar hapalan untuk mengisi kertas ulangan.
Dan ketika sudah ‘lulus’ seperti sekarang ini, urusan ranking yang dulu dikejar setengah mati, sekarang nampaknya tak penting lagi.

Sekarang apa lagi yang diperlombakan? AlQur’an menyitir bahwa manusia senantiasa berlomba-lomba dalam hal banyaknya harta dan anak. Bahasa gaulnya: “Oh ya, gue udah punya ini, ini, dan ini. Lo punya apa?” Atau: “Anak gue segini segitu , yang satu udah jadi ini, yang satu lagi jadi entu, yang satu lagi jadi anu.” Weleh, weleh… cappee deh… ga ada habisnya.

So, in what do we have to compete in? Fastabiqul khoiroot, bahasa Qur’annya. Berlomba-lomba dalam kebaikan (aku ga punya cukup ilmu untuk mengelaborasi makna sebenarnya dari kata ‘khoiir’).

Kata Nabi SAW: “Orang yang cerdik adalah orang mampu menundukkan hawa nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah mati. Orang yang lemah adalah orang yang menuruti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk kepada Allah.” (HR. Abu Daud).

Sesungguhnya, segala pencapaian di dunia tak ada artinya bila itu tak dapat menjadi bekal untuk kehidupan akhirat.

Thursday, December 03, 2009, 02.18

15 Nov 2009 Jin Kura-kura
 |  Category: Refleksi  | 2 Comments

Aku ingin menulis tentang sedikit memoriku di waktu kecil. Di awal penayangannya dulu, aku dan adik-adik sangat antusias menantikan serial Dragon Ball yang ditayangkan setiap Minggu pagi. Lama-kelamaan, tentu saja kami menjadi bosan dengan ceritanya yang sangat panjang yang diputar kesana-kemari. Jadi semakin tak jelas juntrungannya.

Entah kenapa aku teringat pada Jin Kura-kura. Guru Sun Go Kong yang nyentrik dengan kacamatanya dan dikenal genit terhadap wanita. Di awal pengajarannya, Jin Kura-kura mempersyaratkan Go Kong membawa beban yang teramat berat di punggungnya. Mulanya Go Kong merasa sangat keberatan dan kepayahan. Untuk berjalan pun ia susah, apalagi berlatih jurus andalan.Tapi semakin hari Sang Guru terus menambah beban latihan muridnya itu. Lama-kelamaan Go Kong menjadi mahir berloncatan di atas pepohonan dengan membawa beban berat itu. Sampai tiba masanya Go Kong diperbolehkan melepas beban itu. Ajaib, ia langsung merasa tubuhnya ringan bagai angin. Ia bahkan mampu melompat setinggi langit dengan amat lincah. Tanpa sadar, kemampuannya telah meningkat berlipat ganda. Dengan diberi beban berat, ia ditempa menjadi kuat.

And there goes my story. Dulu, waktu baru punya 1 anak, aku merasa terikat tak bebas berbuat apa-apa. Repot sekali harus mengurus seorang anak bersamaan dengan menjalani kesibukan kuliah. Seringkali, anak kutitipkan ke orang tua kalau sedang ada quiz, ujian, atau tugas makalah. Lalu lahirlah anak kedua, ketiga, dan keempat yang baru lahir sebulan lalu. Memang repot dan melelahkan. Bohong kalau aku berkata mengurus 4 anak itu tidak repot. Melayani kebutuhan dan permintaan mereka yang seakan tak ada habisnya. But I survive anyway. Apa yang awalnya terasa amat berat, perlahan menjadi makin mahir kulakoni. Serupa Sun Go Kong dalam cerita di atas. Dengan diberi beban berat, aku ditempa semakin kuat. Alhamdulillah.

Sunday, November 15, 2009, 07.15

05 Nov 2009 Bagaimana Besok?
 |  Category: Refleksi  | 4 Comments

Aku mengalami ini tepat pada malam Senin, malam sebelum kepulangan orangtuaku ke Jakarta. Nuri terjaga agak lama. Wajar, dia sudah tertidur pulas seharian. Ia tidur bila kugendong, dan membelalak begitu dibaringkan. Tengah malam itu aku sudah sangat lelah. Berharap suamiku dapat bergantian menjaga. Tapi rupanya saat itupun dia sangat lelah dan tak mampu bangkit dari tidur. Lantas aku menggendong sambil duduk menangis, memohon kekuatan dari Dia Sang Maha Kuat.

Di ruang tivi, Aslam dan Halim tidur ditemani kakeknya. Halim yang memang manja kepada kakek neneknya rewel tak henti-henti. Tidurnya tak tenang. Minta ini dan itu. Minta ‘putih dingin’ alias air putih dingin. Minta garuk. Minta elus. Minta susu berulang kali. Aku saja sampai sebal mendengarnya. Tapi ayahku melayani sebisa mungkin dengan sabar.

Lantas terpikir: Bagaimana besok seandainya orangtuaku sudah tak ada? Rasanya tak sanggup kalau aku harus menjaga semuanya sendirian. Padahal hanya malamlah waktu istirahatku. Siang hari ada setumpuk pekerjaan menunggu. Terlebih, usai kepulangan orangtuaku, aku benar-benar jadi single fighter. Bagaimana besok seandainya…? Bagaimana besok sekiranya…? Tiba-tiba aku sadar telah berpanjang angan. Setan telah mempertakutiku dengan kekhawatiran akan masa depan. Aku telah tak berpijak pada kekinian. Mengapa harus menangisi kesusahan akan datang yang belum tentu terjadi? Lucu sekali aku ini. Lantas aku menghapus air mataku. Ketakutan akan hari esok kadang membuat kita menjalani ‘sekarang’ dengan kurang kebersyukuran.

Kenyataannya, keesokan malamnya, Halim tidak serewel yang aku kira. Ia hanya terbangun sesekali. Jauh dari yang sebelumnya aku khawatirkan. Alhamdulillah ya Allah, atas pelajaran hari ini.

Thursday, November 05, 2009, 17.34

03 Nov 2009 Focusing on What Important
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Terus terang, aku agak eneg mendengar berita yang terus-menerus membahas tentang Cicak vs Buaya, tentang penahanan BSR dan CMH. Belum lagi ajakan untuk bergabung dengan grup ini dan itu di fesbuk yang seringkali aku ga ngerti esensinya itu apa. Kemarin mendadak terselip pikiran: Saat ditanya di akhirat nanti tentang “Man Robbuka?”, apakah ‘hot news’ yang kita ributkan di dunia ini memang benar bermakna bagi kehidupan akhirat nanti. You can call me ignorant, tidak pedulian atau apa lah. Yang jelas aku malas untuk ikutan latah, ikut arus, dan mengurusi apa yang bukan urusanku.