Archive for the Category ◊ Refleksi ◊

29 Oct 2009 Tak Layak Berkata Lagi
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Suatu pagi, entah kapan persisnya (harusnya aku mengingatnya sebagai salah satu pancang dalam hidupku) aku menuntashabiskan membaca catatan seorang pencari di jalan Allah yang biasanya terlewat begitu saja. Setelah usai, aku menangis karena kedalaman hikmahnya. Catatan berisi hikmah dari para penemu diri. Tentang untaian Kalam Qudsi dari Allah, tentang keteladanan RasuluLlah, tentang tenggelamnya seorang hamba dalam Allah, tentang keRahman Rahiman Shifat Allah. Dan tentang segala sesuatu yang ujungnya mengingatkan tentang Allah.

Ada yang lain setelah itu. Bagai tuangan segar yang mengisi kekosongan batinku. Membuatku menoleh pada-Nya. Membuatku merasa betul-betul diamati. Segala hal lalu seperti hanya jelas terjadi antara Dia dan aku. Tak penting yang lain lagi. Aku menjadi segan menulis yang remeh temeh lagi. Aku sontak malu pada segenap kesombongan diri ini, pada segenap kelalaian yang bertumpuk mengotori fitrah jiwa.

Tuhan, segalanya hanya antara Kau dan aku. Aku tak layak berkata lagi.

Thursday, October 29, 2009, 23.15

04 Jul 2009 Life Plan
 |  Category: My Self, Oprah Show, Refleksi  | 4 Comments

Ketika seorang teman mengatakan bahwa ia telah membuat rencana pribadi bagi dirinya untuk 10 tahun ke depan, aku lalu bertanya-tanya sendiri rencana pribadi yang bagaimana yang kuinginkan untuk diriku sendiri.

Pernah juga seorang teman menanyakan apakah aku masih berkeinginan untuk kuliah lagi. Dan kujawab bahwa sampai saat ini belum tercetus keinginan untuk itu. Keadaan sekarang memang belum memungkinkan untuk itu. Aku mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi andaipun mereka sudah agak besar, aku juga tidak dapat memikirkan ide lain -setidaknya sampai saat ini- kecuali bahwa kemungkinan aku akan menambah anak lagi sampai usia produktifku usai. Let say 40 years may be. So, college may be out of option. Tapi alasan terutama bukan itu. Bukan karena aku saklek terlampau antusias menambah jumlah anak. Aku hanya belum menemukan minat pada suatu bidang yang begitu kuat yang bisa menarikku kembali ke bangku sekolah.

My passion is in writing. Personal writing. Dan rasanya aku tak perlu terdaftar dalam kelas jurnalistik manapun untuk sekedar mampu menuangkan isi kepala dan hatiku. Just write what I want to write.

Sampai saat ini belum terpikir mau dan akan mengikuti kelas-kelas informal yang dapat menambah skill tapi bukan menjadi minatku, seperti kursus memasak, membuat kue, atau menjahit. Mungkin suatu saat kelak. Tapi lagi-lagi aku tak punya timeline untuk itu.

Sebenarnya aku dalam posisi yang nyaman sekali untuk memulai suatu rencana yang besar. Insya Allah anak keempatku akan lahir ketika usiaku belum lagi menginjak 29. Aku rasa belum terlambat untuk memulai merintis mimpi ketika usiaku memasuki 30. Empat adalah jumlah yang cukup untuk menyemarakkan suasana rumah. Just stop right there. Focusing only on raising them, tanpa menambah anak lagi, dan mulai meluangkan waktu untuk pengembangan pribadiku. Lagipun rasanya suamiku sangat supportif untuk mendukung apapun rencanaku baik secara mental maupun finansial. Tapi lagi-lagi, sampai saat ini aku tidak terpikirkan hal lain selain berada bersama anak-anak. Dan pelajaran tentang bagaimana mendampingi anak-anak dengan baik adalah pelajaran yang bisa didapat secara informal dari sumber manapun dan melalui pengalaman pribadi sehari-hari.

Modal paling penting untuk mendampingi anak-anak adalah kesabaran. Andai ada sekolah sabar, aku pasti ingin terdaftar ke dalam situ. Karena yang kuinginkan adalah aku bisa lebih sabar menghadapi dan melayani anak-anakku. Memperlakukan mereka selayaknya harta yang paling berharga dalam hidupku. Tapi masalahnya, sabar tidak ada sekolahnya. Kecuali mungkin ada teorinya dalam acara rohani atau pengajian yang kita ikuti. Tapi sabar adalah sesuatu yang harus dijalani secara nyata dalam penggemblengan hidup sehari-sehari.

Jadi sampai saat ini belum ada kesimpulan tentang kemana sebenarnya arah rencana hidupku (personal life plan). I just go with the flow. Menjalani hariku sebegini adanya. Berusaha memupuk dan menambah kesabaran setiap hari. Sometimes I succeed, sometimes I failed. Jatuh bangun dalam perjuangan itu setiap hari.

Mungkin peranku di luar tidak banyak. Sumbanganku ke masyarakat tidak nyata. Tapi setidaknya kehadiranku besar bagi anak-anakku sendiri. Barangkali melalui peranku sebagai ibu anakku kelak bisa memberi kontribusi peran yang lebih nyata ke dunia luar. Semoga.

Kemarin pagi baru saja kudengar Oprah berkata. Ada banyak orang-orang besar yang namanya tercantum dalam sejarah. Tapi ada lebih banyak lagi orang besar dengan peran besar yang namanya bahkan tak tercantum dalam buku sejarah manapun. Aku ingin termasuk ke dalam situ.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa memberi sedikit arti bagi sejarah keberadaanku.

Saturday, July 04, 2009, 00.48

24 Jun 2009 Istimewa
 |  Category: My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Hati bisa demikian cepat berbolak-balik. Sesaat merasa sedemikian kering, tapi kemudian terasa sejuk bagai disirami hujan. Ini kejadian berharga yang kualami hari ini.

Tadi sore, seperti biasa, aku berhadapan dengan serangkaian tugas dan pekerjaan rumah. Kondisi badan cukup segar, karena baru saja beristirahat siang. Hanya secara emosi memang merasa agak rapuh karena sedang bosan dengan rutinitas yang ada. Kadang merasa bahwa semua yang kulakukan tiap hari tanpa henti bagai tak ada sambungannya ke ‘atas sana.’ Life is just a bunch of routines. Meski secara teoritis kita pasti tahu bahwa ini semua harus dilakukan karena Allah. Tapi tetap saja aku tidak bisa memakan teori itu untuk menekan kekeringan yang tengah terasa. Kita bisa ‘tahu’ tanpa bisa ‘merasa’. Padahal ‘rasa’ itulah yang penting.

Puncaknya terasa saat aku yang baru saja usai sholat Ashar mendengar anak-anak- Aslam dan Halim- berantem seperti yang biasa mereka lakukan. Lumrah, namanya juga anak-anak. Halim menangis kencang, padahal ia tengan minum susu. Dan seperti kebiasaannya, ia seringkali muntah kalau menangis kencang. Akhirnya memang itulah yang terjadi. Lantas kumandikan ia dan abangnya sekaligus. Di dalam kamar mandi mereka berdamai. Saling mengelus, berjabat tangan dan tertawa kembali. Pemandangan yang indah.

Usai itu aku membersihkan muntahan dan mengepel. Tiba-tiba ada rasa sesak yang mendesak. Haru yang entah datang dari mana. Rasanya ingin menangis saja. Feel so emotionally drained. Lelah. Tapi tidak secara fisik.

Tidak, jangan sarankan aku untuk lantas memperkerjakan asisten rumah tangga. Secara fisik aku insya Allah masih kuat. Justru aku merasa lebih attached ke anak-anak dengan menjadi single fighter seperti ini. Bukan itu sebabnya. Hanya saja emotional drain ini terjadi karena aku gagal menemukan ‘sambungan ke atas’. Disorientasi, ringkasnya.

Tapi akhirnya, air mata itu tak jadi tumpah, meski walau tumpah pun mestinya tak apa. Pekerjaan terus berlanjut ke yang lain-lain. Cuci piring dan menyuapi anak-anak.

Usai Sholat Maghrib aku tadarusan sebentar. Dan terjadilah kejadian penting kedua. Bagai dibalasi jawaban langsung oleh Dia Ta’ala, yang lantas membuatku benar-benar tak bisa menahan tangis. Bahkan sampai kinipun saat menulis ini. Hadiah indah ini terasa saat aku sampai di Surat Shaad ayat 75: “Allah berfirman: “Hai iblis, apakah yang telah menghalangi kamu untuk sujud kepada yang telah Ku ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu termasuk orang-orang yang lebih tinggi?”

Ah, aku tak bisa berkata-kata lagi. Hanya menangis. Secara instan aku merasa langsung menemukan sambunganku ke atas. Aku merasa istimewa. Karena aku manusia, yang Dia ciptakan dengan Kedua Tangan-Nya.

Terima kasih atas pelajaran indahmu hari ini ya Allah…

Wednesday, June 24, 2009, 18.25

05 Jun 2009 Suatu Sore yang Cerah
 |  Category: My Family, My Self, Refleksi  | Leave a Comment

Baru saja saya akan menuntaskan mengepel bagian belakang rumah, Si Bungsu yang tadinya asik main di luar langsung menghambur menaiki sofa dengan membawa pistol mainan yang penuh pasir. Tak lama Aslam, Si Tengah, ingin ikut masuk dengan kaki berpasir pekat. Sebelum itu terjadi saya keburu menghalaunya dengan suara keras dan menyuruhnya untuk cuci kaki di keran luar dan lalu segera masuk ke kamar mandi.

“Duh capeknya…!” Padahal tadinya mau selonjoran sebentar meluruskan kaki sambil menikmati lantai yang bersih dan wangi. Lima menit pun tak apalah. Mumpung mereka masih asik main di luar.

Setelah itu Si 3,5 Tahun dan Si 2 Tahun saya biarkan main air sebentar di kamar mandi sembari saya menuntaskan mengepel. Selesai memandikan dan memakaikan baju saya mengunci kamar sebentar agar bisa tenang Sholat Ashar karena belakangan Halim suka sekali menaiki punggung ketika sujud.

Usai sholat saya merenung sebentar dan mencoba berpikir jernih. Lantas pikiran waras datang. Kalau ingin mengeluh, memang banyak hal yang bisa dikeluhkan. Tapi kalau saja kita ingin bersyukur, maka sungguh lebih banyak hal lagi yang bisa disyukuri. Shit happens, indeed. But it’s OK.

Setelah sholat, ada rencana untuk mengajak mereka ke luar. Sore hari begini, atau sering juga pagi hari, kadangkala saya mengajak anak-anak bersepeda mengelilingi komplek mencari angin. Biasanya lantas mampir ke mini market depan perumahan untuk membeli cemilan lalu mencari tempat duduk yang nyaman untuk menikmatinya bersama-sama. Ya, kalau mau bersyukur memang banyak hal yang bisa (bahkan harus) disyukuri. Toh, saya masih bisa menghabiskan waktu bersama anak-anak. Kala jenuh, bisa bermain di luar. Kalau ingin jajan, bisa jajan tanpa harus memikirkan soal uang. Sementara ada ibu lain yang harus bekerja di luar demi memenuhi ekonomi keluarga. Harus kehilangan sebagian waktu bersama anak-anak karena terpaksa. Tentu ibu-ibu yang bekerja demi aktualisasi diri saya kecualikan dari konteks ini.
Kalaupun saat ini keadaan memaksa saya untuk mengerjakan pekerjaan rumah sendiri tanpa asisten, toh sudah ada alat-alat modern yang memudahkan. Ada mesin cuci untuk mencuci baju. Things can be a lot worse. Kalau mesin cuci rusak memang mau tak mau harus mencuci sendiri. Tapi toh nasib saya masih lebih baik daripada ibu-ibu yang terpaksa harus mencucikan baju orang lain dari rumah ke rumah?

Sekali lagi, banyak hal yang harus disyukuri.

Akhirnya sore ini kami tak jadi ke luar. Sore yang cerah ini saya habiskan di rumah saja dengan menulis ini sambil menyuapi anak-anak. Sebelum ide menulis kabur (seperti yang seringkali terjadi bila tidak segera menuliskannya). Pun mereka sedang asik main bertiga di rumah sambil nonton Spongebob. Si Kecil lalu minta susu. Si Sulung meminta es teh manis dan Si Tengah minta dibikinkan keduanya. Dan saya melayaninya dengan tenang di sela-sela menulis.

Friday, June 05, 2009, 16.57

29 May 2009 Seprai
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | 3 Comments

I’m not so much into something. Aku senang segalanya seadanya saja. Pagi ini aku terbangun jam 3 pagi dan membenahi beberapa pekerjaan yang ada. Usai mencuci piring dan menyetrika, aku membereskan pakaian ke dalam lemari. Hmm….rasanya lemari pakaian kami sudah agak kepenuhan. Padahal kupikir-pikir, kami termasuk jarang menambah koleksi lemari kecuali ketika Hari Raya saja.

Sebagai seseorang yang suka memikirkan sesuatu dalam-dalam, hal itu lantas menarikku ke dalam alam pikiran lain. Setelah kupikir-pikir, aku cukup nyaman dengan keadaanku saat ini. Rumah mungil yang sederhana. Memadai, simpel, mudah dibersihkan, but feels so homy to us. Barang-barang fungsional yang kami beli demi fungsi nyatanya. Jangan tanyakan aksesoris, karena kami tak punya aksesoris. Juga jangan tanyakan koleksi sepatu, karena kami tak akan membeli yang baru sebelum yang lama rusak atau kekecilan. Dan bisa ditebak, warnanya pasti hitam, karena warna itu netral dan bisa masuk dalam semua busana.

Aku pernah singgah ke rumah seorang kerabat dan segera mengidentifikasikan diri bahwa gayaku sama sekali berbeda dengan gayanya walau usia kami sebaya. Aku tidak bermaksud mengkritik, karena tiap orang punya gaya dan selera masing-masing. Dia punya puluhan koleksi sepatu dan sandal serta selemari penuh boneka-boneka lucu yang bagiku mungkin hanya menuh-menuhin rumah saja. ‘Nyemak’ (membuat seperti semak), demikian orang Medan biasa menyebutnya. Juga pernak-pernik lucu seperti bingkai-bingkai mungil dan indah yang karena terlalu banyak maka diletakkan bertumpuk begitu saja sehingga tak tampak lucu lagi bagiku.

Memiliki suatu barang terlalu banyak, berarti harus siap juga dipusingkan dengan perawatan dan penyimpanannya. I once read in a newspaper, aktris senior Rae Sita punya 3-4 kamar di rumah mewahnya yang difungsikannya sebagai gudang untuk menyimpan barang-barangnya yang masih bagus tapi tak terpakai seperti karpet dan barang-barang lainnya. Dan dia masih saja mencari kamar tambahan lain yang siap dialihfungsikan lagi menjadi gudang berikutnya. Hmm…mungkin barang-barang tak terpakai di rumahnya bisa menjadi harta karun di tangan orang lain.

Yang terjadi padaku sebenarnya jauh lebih sederhana. Tapi itupun kadang-kadang agak membuat kewalahan karena lemariku nyaris tak bisa lagi memuatnya. Yang ingin kubicarakan di sini adalah soal seprai yang bagi sebagian orang mungkin tak seberapa jumlahnya.

Kami mendapat 2 seprai sebagai kado pernikahan kami. Dan 1 seprai yang kudapat sebagai isi hantaran saat akad nikah. Selama 2 tahun itu mencukupi. Lantas ada tetangga yang menawari seprai secara kredit. Entah kasihan atau merasa butuh, akhirnya aku mengambilnya. Tak lama, ada saudara dekat yang butuh uang yang mau menjual seprai barunya yang didapat dari hasil arisan seprai. Jadilah 5 kepunyaan kami. Lantas menjelang kepulangan ke Medan untuk menghadari pernikahan adik, kami memborong 3 buah. Satu untuk adik, satu untuk paman yang menikah juga, dan satu untuk kami pakai sendiri: sebuah seprai sisa ekspor yang berbahan adem tapi berharga diskon.

Menjelang pindah ke Surabaya, ada mall yang baru buka di Cikarang yang menawarkan satu set bed cover plus seprai dengan harga amat murah. Aku membelinya. Meski kemudian si seprai jarang terpakai karena ternyata bahannya panas.

Lalu aku membeli 1 bed cover lagi. Tidak dengan seprai pasangannya, karena merasa sudah punya cukup banyak. Terakhir, saat kami pindah ke rumah yang sekarang, ibu-ibu PKK di perumahan yang lama datang bersilaturrahmi dan dengan berbaik hati memberikan sebuah kado berupa seprai lagi. Jadi sekarang ada 8 seprai bergantian dipakai untuk hanya sebuah kasur double di rumah kami. Ini di luar beberapa seprai untuk bed single anak-anak dan (mantan) asisten. Entah berapa aku lupa jumlahnya seprai single ini. Mungkin 6 atau 7. Sebagian punya Mas waktu masih kost sebagai mahasiswa dulu. Intinya, bagi kami ini sudah sangat mencukupi. Meski kadang tergiur juga untuk menambah yang baru lagi saat berjalan-jalan di pertokoan. Tapi aku yakin, itu lebih karena keinginan dibanding kebutuhan. Sederhana dalam kelebihan memang tak kalah sulit dibanding bersabar dalam kekurangan.

Sebagai penutup, ada kisah berhikmah tentang Nabi Isa a.s yang kubaca di buku Cinta Bagai Anggur karangan Syeikh Muzaffer Ozak.

“Nabi Isa as melepaskan dunianya. Ia menceraikan dunia ini sepenuhnya. Pada akhirnya, hanya ada dua buah benda yang dimilikinya-sebatang sisir yang biasa ia pakai untuk menyisir jenggotnya, dan sebuah gelas yang dipakainya untuk minum.

Sampai kemudian, suatu hari, Nabi Isa as berjumpa dengan seorang lelaki tua yang menyisir jenggotnya dengan tangan, maka ia pun membuang sisirnya. Lalu ia melihat seorang lelaki lain yang meminum air dengan tangannya, maka ia pun membuang gelasnya.”

Friday, May 29, 2009, 05.28