I’m not so much into something. Aku senang segalanya seadanya saja. Pagi ini aku terbangun jam 3 pagi dan membenahi beberapa pekerjaan yang ada. Usai mencuci piring dan menyetrika, aku membereskan pakaian ke dalam lemari. Hmm….rasanya lemari pakaian kami sudah agak kepenuhan. Padahal kupikir-pikir, kami termasuk jarang menambah koleksi lemari kecuali ketika Hari Raya saja.
Sebagai seseorang yang suka memikirkan sesuatu dalam-dalam, hal itu lantas menarikku ke dalam alam pikiran lain. Setelah kupikir-pikir, aku cukup nyaman dengan keadaanku saat ini. Rumah mungil yang sederhana. Memadai, simpel, mudah dibersihkan, but feels so homy to us. Barang-barang fungsional yang kami beli demi fungsi nyatanya. Jangan tanyakan aksesoris, karena kami tak punya aksesoris. Juga jangan tanyakan koleksi sepatu, karena kami tak akan membeli yang baru sebelum yang lama rusak atau kekecilan. Dan bisa ditebak, warnanya pasti hitam, karena warna itu netral dan bisa masuk dalam semua busana.
Aku pernah singgah ke rumah seorang kerabat dan segera mengidentifikasikan diri bahwa gayaku sama sekali berbeda dengan gayanya walau usia kami sebaya. Aku tidak bermaksud mengkritik, karena tiap orang punya gaya dan selera masing-masing. Dia punya puluhan koleksi sepatu dan sandal serta selemari penuh boneka-boneka lucu yang bagiku mungkin hanya menuh-menuhin rumah saja. ‘Nyemak’ (membuat seperti semak), demikian orang Medan biasa menyebutnya. Juga pernak-pernik lucu seperti bingkai-bingkai mungil dan indah yang karena terlalu banyak maka diletakkan bertumpuk begitu saja sehingga tak tampak lucu lagi bagiku.
Memiliki suatu barang terlalu banyak, berarti harus siap juga dipusingkan dengan perawatan dan penyimpanannya. I once read in a newspaper, aktris senior Rae Sita punya 3-4 kamar di rumah mewahnya yang difungsikannya sebagai gudang untuk menyimpan barang-barangnya yang masih bagus tapi tak terpakai seperti karpet dan barang-barang lainnya. Dan dia masih saja mencari kamar tambahan lain yang siap dialihfungsikan lagi menjadi gudang berikutnya. Hmm…mungkin barang-barang tak terpakai di rumahnya bisa menjadi harta karun di tangan orang lain.
Yang terjadi padaku sebenarnya jauh lebih sederhana. Tapi itupun kadang-kadang agak membuat kewalahan karena lemariku nyaris tak bisa lagi memuatnya. Yang ingin kubicarakan di sini adalah soal seprai yang bagi sebagian orang mungkin tak seberapa jumlahnya.
Kami mendapat 2 seprai sebagai kado pernikahan kami. Dan 1 seprai yang kudapat sebagai isi hantaran saat akad nikah. Selama 2 tahun itu mencukupi. Lantas ada tetangga yang menawari seprai secara kredit. Entah kasihan atau merasa butuh, akhirnya aku mengambilnya. Tak lama, ada saudara dekat yang butuh uang yang mau menjual seprai barunya yang didapat dari hasil arisan seprai. Jadilah 5 kepunyaan kami. Lantas menjelang kepulangan ke Medan untuk menghadari pernikahan adik, kami memborong 3 buah. Satu untuk adik, satu untuk paman yang menikah juga, dan satu untuk kami pakai sendiri: sebuah seprai sisa ekspor yang berbahan adem tapi berharga diskon.
Menjelang pindah ke Surabaya, ada mall yang baru buka di Cikarang yang menawarkan satu set bed cover plus seprai dengan harga amat murah. Aku membelinya. Meski kemudian si seprai jarang terpakai karena ternyata bahannya panas.
Lalu aku membeli 1 bed cover lagi. Tidak dengan seprai pasangannya, karena merasa sudah punya cukup banyak. Terakhir, saat kami pindah ke rumah yang sekarang, ibu-ibu PKK di perumahan yang lama datang bersilaturrahmi dan dengan berbaik hati memberikan sebuah kado berupa seprai lagi. Jadi sekarang ada 8 seprai bergantian dipakai untuk hanya sebuah kasur double di rumah kami. Ini di luar beberapa seprai untuk bed single anak-anak dan (mantan) asisten. Entah berapa aku lupa jumlahnya seprai single ini. Mungkin 6 atau 7. Sebagian punya Mas waktu masih kost sebagai mahasiswa dulu. Intinya, bagi kami ini sudah sangat mencukupi. Meski kadang tergiur juga untuk menambah yang baru lagi saat berjalan-jalan di pertokoan. Tapi aku yakin, itu lebih karena keinginan dibanding kebutuhan. Sederhana dalam kelebihan memang tak kalah sulit dibanding bersabar dalam kekurangan.
Sebagai penutup, ada kisah berhikmah tentang Nabi Isa a.s yang kubaca di buku Cinta Bagai Anggur karangan Syeikh Muzaffer Ozak.
“Nabi Isa as melepaskan dunianya. Ia menceraikan dunia ini sepenuhnya. Pada akhirnya, hanya ada dua buah benda yang dimilikinya-sebatang sisir yang biasa ia pakai untuk menyisir jenggotnya, dan sebuah gelas yang dipakainya untuk minum.
Sampai kemudian, suatu hari, Nabi Isa as berjumpa dengan seorang lelaki tua yang menyisir jenggotnya dengan tangan, maka ia pun membuang sisirnya. Lalu ia melihat seorang lelaki lain yang meminum air dengan tangannya, maka ia pun membuang gelasnya.”
Friday, May 29, 2009, 05.28