Archive for the Category ◊ Refleksi ◊

25 May 2009 Jalan Santai Minggu Pagi
 |  Category: My Family, My Marriage, Refleksi  | Leave a Comment

Hari Minggu pagi aku dan Mas jalan santai berdua saja. Mumpung ada ayah ibuku yang tengah bertandang ke sini yang bisa menjaga anak-anak. Ternyata begitu menyegarkannya aktivitas sederhana itu. Menyegarkan badan, menyegarkan jiwa, menyegarkan pikiran, juga menyegarkan hubungan kami berdua.

Setiap orang yang sudah berumah tangga pasti sesekali merasakan kejenuhan dalam hubungan mereka, anak kadang menyita seluruh fokus dalam kehidupan sehingga kita lalu kehilangan waktu untuk pribadi, kehilangan waktu sebagai pribadi.

Pagi itu, dengan santai kami membicarakan rencana-rencana kami ke depan. Apa yang Mas ingin lakukan, bagaimana kira-kira cara mewujudkan rencana itu. Apa yang ingin kulakukan dan suamiku lantas memberi masukan bagaimana melakukannya. Yang mengejutkan adalah, di luar kebiasaan, kami sama sekali tidak memperbincangkan soal anak. Hanya tentang diri kami sendiri. And we not feel sorry about that. Bahkan merasa harus melakukannya secara berkala, artinya melepaskan topik tentang anak dari hidup kami sesekali. Dan kurasa itu bukanlah sifat egois. Bagaimanapun orang tua adalah pribadi yang harus bertumbuh secara utuh, terlepas dari peran mereka sebagai ‘ayah’ dan ‘ibu’.

Salah satu cara orang tua mengayomi dan membuat anak merasa aman adalah dengan menunjukkan hubungan kasih sayang yang kuat di antara mereka. Tapi kadang kesibukan menggerus sedikit demi sedikit hubungan itu. Seolah ‘aku’ dan ‘kamu’ tiada dan harus selalu melebur menjadi ‘kita’.

Sungguh menyegarkan bicara hati ke hati seperti ini. Menukik ke dalam jiwa. Karena seringkali yang kami perbincangkan hanya soal keseharian yang bersifat permukaan saja. Seperti, “Apa kegiatan di kantor hari ini?” atau “Bagaimana anak-anak hari ini?”, “Mau jalan-jalan kemana kita weekend besok?” Dan banyak lagi soal keseharian lainnya. Itu masih bagus karena berarti masih terbangun komunikasi dalam rumah tangga dan tidak saling cuek satu sama lain, tapi kurasa sesekali, kita harus menukik lebih dalam dari itu.

Written: Monday, May 24, 2009, 02.46

07 May 2009 Bosan
 |  Category: My Self, Refleksi  | One Comment

Have you ever get bored with your life? With your daily activities? Kurasa tiap orang pasti pernah mengalami kebosanan.

Belakangan ini, a friend of mine, a single career woman usia tiga puluhan mengeluhkan kebosanannya padaku. Dia sebenarnya mencintai pekerjaannya, menyukai apa yang dia kerjakan sehari-hari. Hanya saja kerap menginginkan adanya perubahan signifikan dalam tahapan kehidupannya. Dan dia merasa menikah adalah salah satu solusinya. Mungkin ia telah bosan menjalani hidup dengan bekerja di kantor 9 to 5, Senin sampai Jum’at, and then receive a paycheck in the end of month. Begitu terus, sampai akhirnya dia sadar usianya akan memasuki 30, tanpa seorang pendamping hidup pun menemani.

Well, sebenarnya bukan soal keadaan temanku itu yang ingin kugaris bawahi. What I want to say is, kebosanan bisa melanda siapa saja, termasuk orang yang sudah menikah sekalipun. Siapa bisa jamin bahwa kebosanan temanku itu akan lantas menghilang begitu dia menikah. Kebosanan pasti datang menyapa sekali dua kali dalam hidup. Dan itu sangat wajar. Aku dengan hiruk-pikuk kehidupanku sebagai istri dan ibu dari 3 anak pun sesekali dilanda kebosanan juga. Kadang suka kehilangan arah dan orientasi tentang kemana semua ini akan dibawa. Bosan mengerjakan pekerjaan yang itu-itu lagi yang niscaya akan terus ada sebagai bagian dari siklus hidup. As long as you live, you obviously have to deal with it.

Kita memang perlu melihat ke ‘Atas’, kepada Suatu Zat yang lebih besar dari kita agar tidak terjebak dalam kehidupan kita yang sempit. Sometimes I felt like we live in a small cubicle. Ada sebuah scene di film Men in Black yang membuatku tertegun sejenak. Simpel, tapi ‘dalam’ menurutku. Simple but powerfull. Yaitu saat Agent Kay (Tommy Lee Jones) menempatkan suatu bangsa yang sangat mini –entah apa namanya aku lupa- ke dalam sebuah loker stasiun yang jadi semesta mereka. Tempat mereka hidup dan beraktivitas. Kemudian di bagian nyaris akhir film itu, hal tersebut dipertanyakan oleh Agent Jay (Will Smith), bagaimana mungkin mereka dapat menjalani hidup di semesta yang begitu kecil. Yang lantas dijawab oleh Agent Kay dengan menendang sebuah pintu di belakang mereka, dan lalu tampaklah kaki-kaki besar yang membuat kita jadi merasa sedemikian kecil.

Yang seketika membuat nyess dadaku adalah mendadak tergambar sebuah perspektif baru bahwa, kita manusia ini kecil loh, dan ada sesuatu yang lebih besar di luar kita dan karenanya buat apa terjebak dalam semesta kita yang kecil. Kita mungkin kadang merasa bosan mengerjakan yang itu-itu saja, yang selalu berulang dari waktu ke waktu, rutinitas yang seakan tak ada habisnya. Tapi memang beginilah hidup yang harus dijalani. Sampai akhirnya kita menemukan apa sebenarnya yang jadi misi keberadaan kita di dunia ini, the reason of our being.

So, bosan sesekali wajar lah. Letih sesekali boleh lah. Hanya jangan sampai kehilangan perspektif mengenai grand design dari nikmat keberadaan kita di dunia ini, yang membuat kita merasa hidup ini less of no value except a bunch of routines.
*Sebenarnya ini nasehat ke diri saya sendiri yang kadangkala dilanda kebosanan*

Sebagai penutup, mari simak untaian ayat Qur’an yang penuh hikmah ini:
Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al-Mulk (67): 1-2)

Thursday, May 07, 2009, 03.47

07 Apr 2009 Cinta dan Pernikahan
 |  Category: My Marriage, Refleksi  | 7 Comments

Kiranya, cinta seperti apa yang dapat meyakinkan kita untuk melangkah hidup bersama? Sepanjang hidup, mungkin tak hanya sekali kita jatuh cinta. Kita bisa jatuh cinta berkali-kali, pada orang yang berbeda-beda. Namun akhirnya, pada siapakah kita akan menambatkan hati? Mengikat janji setia sehidup semati?

Amat jarang rasanya orang yang bisa menikah dengan cinta pertamanya. Kebanyakan cinta pertama adalah cinta monyet. Cinta dari luapan hormon remaja yang tengah meledak-ledak. Banyak yang hanya sekedar coba-coba. Meski ada juga yang benar-benar serius dan membawa kesan mendalam dalam hidup.

Cetusan ide tulisan ini adalah ketika berulang kali melihat tayangan rekaman prosesi pernikahan Dewi Sandra dan Glenn Fredly di Pulau Dewata yang belakangan sering diputar di infotainment.

Keduanya tampak jelas tengah mabuk kepayang dilanda cinta. Ada senyum merekah, wajah berseri dan mata berbinar kala berjanji setia mengucap ikrar pernikahan. Siapa nyana kalau akhirnya pernikahan itu akan berakhir dalam waktu yang terbilang singkat. Hanya 3 tahun saja.

Entah mengapa, tiba-tiba mendadak timbul suatu kekhawatiran di hati ini. Bukan, sama sekali bukan berkaitan dengan pernikahanku. Hanya sekelebatan menangkap ide bahwa, betapa pernikahan ibarat gambling terbesar dalam hidup. You can get a good result sometimes, but there’s a possibility to loose either. You can trapped with the wrong person. Or even the very wrong person. Seseorang yang akhirnya kita putuskan untuk tidak dapat meneruskan hidup bersama lagi. Berpisah untuk kemudian masih dapat berteman baik mungkin masih wajar, tapi tak jarang ia kemudian berbalik menjadi seseorang yang sangat kita benci. Seolah terlupa kenangan bahwa kita pernah berbagi ranjang bersama dengannya. Berbagi mimpi dan harapan hidup bersama.

Kadang cinta yang begitu besar dan membara di awal pernikahan, tidak dapat menjadi pengikat lagi manakala madu pernikahan telah habis di reguk. Apakah cinta bisa sedemikian mudahnya luntur?

Jadi berpikir, Duh Allah, andaikata aku belum bersuami, akankah aku gentar memasuki gerbang pernikahan manakala melihat banyaknya fenomena perceraian terpampang di depan mata. Seolah yang terlihat hanya pahit getirnya pernikahan saja. Seolah mempertahankan pernikahan adalah sesuatu yang sangat sulit dan berat.

Lantas jadi merasa sangat beruntung sekali dengan rejeki jodoh yang Allah turunkan kepadaku. Dalam usia yang relatif muda. Dengan pemikiran yang belum begitu rumit dan ruwet. Dengan jodoh yang begitu baik, melebihi bayanganku sebelumnya. Rasanya pernikahanku ringan saja kujalani. Jauh lebih banyak suka ketimbang duka.

Soal perjalanan cinta, pengalamanku memang teramat pendek. Jadi sebenarnya kurang bisa menceritakan based on experience tentang kebimbangan yang dihadapi seseorang ketika akan menikah. Belum banyak makan asam garam sebelum akhirnya memutuskan untuk menikah. Bukankah banyak yang mempertanyakan tentang: “Bagaimana kita bisa yakin bahwa si dia adalah orang yang tepat untuk kita nikahi?”
“Bagaimana untuk bisa yakin bahwa mahligai pernikahan yang kita jalani ini nantinya akan berjalan langgeng dan bahagia?”
“Akankah cinta bisa mengatasi semua masalah dalam pernikahan?”
Bukankah itu semua adalah pertanyaan-pertanyaan yang kerap muncul sebelum memutuskan untuk menikah.

Aku memang cinta padamu. Tapi tidak sebegitunya cinta untuk rela menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Karena cinta dan pernikahan sungguh suatu hal yang sangat berbeda. Cinta menuntut kesempurnaan. Sementara dalam pernikahan, akan sangat banyak kita jumpai ketidaksempurnaan. Cinta hanya berhenti sebatas perasaan hati berbunga-bunga ketika mendengarkan kekasih mengucap selamat tidur dan mimpi indah lewat telefon. Tapi menikah berarti bersedia untuk mendengarkan dengkurannya sepanjang malam.

Cinta mungkin berarti berjalan berdua berbagi tawa sambil makan es krim bersama. Dunia serasa milik berdua. Sementara pernikahan berarti bagaimana kekompakan berdua diuji menghadapi kerewelan anak yang tiba-tiba meledak di pusat perbelanjaan.

Rasanya sampai di sini tulisan ini sama sekali belum menjawab pertanyaan awal:
Kiranya, cinta seperti apa yang dapat meyakinkan kita untuk melangkah hidup bersama? God, honestly, I don’t know the exact answer too…

Set a criteria first? Tapi kadang hati tidak bisa memilih pada siapa ia jatuh cinta…
Tapi tak apalah selama pilihan itu masih tolerable dan bukan menyangkut hal yang prinsipil. Meski idealnya, rasionalitas tetap harus dipertahankan kala mencintai.
Percaya dan ikhlas saja, serahkan semua pada Allah, soal cinta urusan belakangan, toh ia akan tumbuh dengan sendirinya? Ini yang ideal, tapi tak semua bisa dengan mudah menerima pendekatan ini.

Jadi bagaimana? Menurutku pribadi, tanyakan saja pada hatimu, bermohon yang terbaik pada Allah Ta’ala. Ambil keputusan yang terbaik per saat itu. Jangan karena keterpaksaan, misalnya karena desakan umur atau malu dengan karib kerabat. Tak usah terlalu risau dan khawatir tentang bagaimana masa depan, karena itu dapat menyurutkan langkah. Membawa pada penantian yang tak berujung. (Dalam sebuah scene di film The Lakehouse, ada percakapan Sandra Bullock yang berperan sebagai seorang dokter dengan seorang gadis kecil pasien di rumah sakitnya.
Gadis itu bercerita bahwa ibunya tidak jadi menikahi pacarnya yang berkepala botak. Alasannya: “Because there’s always something better comes around….”
And Sandra replied: “Be careful. She could spend her whole life waiting…”).

Sangat mungkin bila karena satu dan lain hal, kita akhirnya tak berjodoh panjang dengan pasangan kita. Tapi toh, itu sudah takdir dan nasib yang digariskan oleh-Nya. Dan dalam batas tertentu, manusia memang tidak bisa memilih nasib.

Friday, April 03, 2009, 18.00

02 Apr 2009 Malik bin Dinar
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | Leave a Comment

Pergaulilah dunia sebagaimana Malik bin Dinar mempergaulinya:

Aku membagi dunia ini menjadi dua bagian: Apa yang memang untukku dan apa yang bukan untukku.

Yang kudapat adalah yang memang jadi milikku. Tak akan lepas dariku walaupun seisi dunia menolaknya.

Yang luput dariku adalah memang yang bukan milikku. Takkan kudapat walau seisi dunia mengusahakannya.

31 Dec 2008 Refleksi Tahun Baru
 |  Category: Refleksi  | One Comment

Bagaimana teman-teman memaknai tahun baru? Apakah hanya sekedar hura-hura, melakukan counting down dan bersiap-siap meniup terompet keras-keras ketika jam menunjuk pukul 00.00? Ataukah ada yang lebih dalam dari sekedar itu?

Alhamdulillah diberi umur sampai penghujung 2008 yang kira-kira tinggal 4 jam ini. Mudah-mudahan sampai ke permulaan 2009 nanti. Mudah-mudahan 2009 bisa diisi dengan kebajikan yang lebih, dengan perbaikan atas kekurangan 2008 di sana-sini.

Setelah 00.00 lewat, sedetik kemudian, kira-kira apa rasa yang mungkin timbul? Mungkin biasa saja. Toh, detik demi detik berjalan seperti biasa. Kecuali bahwa mulai detik itu kita akan menuliskan 2009 ketika mencantumkan tahun. Atau sebaliknya, justru merasa luar biasa bagaikan ada energi baru yang mengaliri darah, ada tekad baru untuk menjadikan hari ke depan menjadi lebih baik.

Sebetulnya detik yang berharga itu tak hanya pada detik pergantian tahun baru, di mana kita mengadakan counting down di hotel, tempat-tempat hiburan, dengan konvoi di jalan, atau bahkan sekedar berkumpul dengan keluarga di rumah saja. Tiap detik adalah berharga.

Ada sebuah perkataan bijak yang pernah saya dengar. Allah menciptakan waktu selalu baru. Tiap detik adalah fragmenyang terpisah satu sama lain. Jangan terberati oleh masa lalu. Jangan dipusingkan dengan masa depan. Sekarang adalah sekarang, yang ada di depan mata kita. The Power of Now, demikian tulis Eckhart Tolle. Bertobatlah jika ingin bertobat. Tak pernah ada kata terlambat. Menjadi baiklah, tak usah dipusingkan kita ini dulunya apa dan bagaimana.

 Akhir kata:

 

Selamat Tahun Baru 1430 Hijriyah

 

Selamat Tahun Baru 2009

 

*should be posted at 20.00 yesterday. But again, connection error.