Archive for the Category ◊ Refleksi ◊

10 May 2007 Tragic Story: Sebuah Rekaan based on A True Story
 |  Category: Refleksi, Serba-serbi  | Leave a Comment

Thursday, June 29, 2006, 01.59

Sudah begitu lama aku ingin menulis. Tapi komputer rusak.

What a heart-breaking story kejadian di Bandung Timur pada 8 Juni itu. Mencengangkan dan sungguh sukar dinalar dengan akal sehat. Apa yang kiranya terlintas dalam pikiran seorang ibu yang tega menghabisi nyawa ketiga anaknya. Padahal ia zahirnya adalah seorang berpendidikan tinggi dan agamis. Pikiranku melambung: mereka-reka, berspekulasi dan mencoba merekonstruksi perasaan apa sebenarnya yang ada di balik suatu kegilaan yang di luar kewajaran itu. Well, itu mustahil sebenarnya, karena, dalamnya laut bisa diduga tapi dalamnya hati siapa yang tahu?

Mungkin memang benar ada suatu slow burn anger yang terpendam dalam diri para ibu rumah tangga yang seharian hanya berkutat di rumah. As in this case: she was an ITB graduated, terbiasa hidup berkecukupan sedari muda dan ternyata bersuamikan seorang Direktur LSM nirlaba yang ‘hanya’ bergaji 2 juta. Padahal mungkin, dengan berIPK 3.24, ia merasa diri cukup mampu untuk menambah penghasilan keluarga dengan bekerja di luar. Pikiran itu lalu terus berputar-putar mengental dalam benaknya. Waktu demi waktu. Bercampur dengan keletihan dan kebosanan mengurus pekerjaan rumah tangga dan ketiga anaknya. Mungkin pikirnya, aku tak perlu kuliah setinggi ini hanya untuk berada di rumah saja. Segala ketidakpuasan, kecemasan, kekhawatiran, harapan yang berlebihan dan rasa sayang yang terlalu kemudian bercampur baur melahirkan pikiran gila yang tak berdasar. Kemudian segala pikiran negatif itu, bak sampah busuk yang mengundang lalat, mengundang syetan untuk meniup-niupkan, menghembus-hembus dan memanas-manasi segala praduga buruk yang lalu berkembang menjadi paranoia. Atau mungkin saja ia terlalu pintar, terlalu sistematis, sehingga berpikiran terlalu jauh dengan mempertanyakan sekian banyak what if  yang secara matematis jawabannya adalah tidak. Bagaimana bisa memuaskan keinginan anak, menyekolahkannya di SDIT, memberinya susu dan asupan gizi yang cukup, membayar pembantu, cicilan rumah dan segala keperluan rumah tangga lainnya dengan uang sebesar 2 juta. Sungguh tidak masuk dalam hitungan. Barangkali ia terlalu mengandalkan diri sendiri sehingga lupa bahwa rahmat Allah itu luas dan rezeki-Nya tak berbatas. Atau mungkin ia mengalami kemandegan yang luar biasa karena kebuntuan komunikasi dengan sang suami sehingga segala keresahan hanya dipendam dan dirasakan sendiri. Kurasa ia tak punya teman untuk berbagi. Mandeg karena luapan emosi yang tak tersalurkan. Know what? I keep thinking about her recently and I guess I’ve that glance of feeling yesterday.

Mungkin begini rasanya, batinku, kita pusing tapi tak ada yang tahu kita pusing. Sometimes want to scream and crying out loud just to relieve the pain. Kita selalu memperlihatkan wajah manis kala suami pulang. Bersandiwara seolah tak terjadi apa-apa dan semua baik-baik saja. Memendam semua gejolak sendiri karena tak tahu harus mencurahkan pada siapa.  Yang ada di hadapan hanyalah anak-anak. Tapi anak mengerti apa? Dalam dunianya hanya ada keriangan. Akhirnya segala ketidakpuasan berputar-putar dalam hati dan pikiran sendiri saja. Bak api dalam sekam, tinggal tunggu waktu saja untuk terbakar. Dan bagi Aniek, waktunya adalah saat ia mengakhiri nyawa anak-anaknya. Na’udzu billahi min dzalik!

29 Apr 2007 Life Seeking
 |  Category: Refleksi  | 3 Comments

Thursday, November 23, 2006, 00.09

Ini kudapat dari perbincangan dengan seorang ibu di tengah antrian membayar tagihan PAM. Kutangkap kesan bahwa ibu satu ini adalah orang yang cukup berada. Seorang fully housewife yang bersuamikan pria kaya. Usia sekitar 40-an tapi hanya mempunyai seorang anak yang bersekolah di sekolah mahal. Cukup cerdas dan tidak buta ATM kurasa. Saat kusarankan untuk sekali-sekali membayar tagihan listrik melalui ATM agar tidak merepotkan ia malah terlihat enggan. “Ga usah ah, nanti saya ga ada kerjaan lagi. Lagian sekalian antar jemput anak.”

Bagiku waktu itu, ia terdengar seperti orang yang mencari-cari sesuatu yang dapat dikerjakan. Mencari-cari sesuatu yang dapat dilakukan untuk mengisi hidup ini. Mungkin ia punya begitu banyak waktu lowong karena semua pekerjaan rumah sudah ada yang mengerjakan, lalu akhirnya berlama-lama antri membayar tagihan menjadi salah satu cara baginya untuk menyibukkan diri.

Apa sebenarnya yang penting dalam kehidupan ini? Mengapa yang seringkali kujumpai adalah hal remeh temeh yang membuat hidup ini jadi begitu meletihkan. Infotainment-infotainment yang sibuk membahas panjang lebar soal artis yang kehidupannya sama sekali gak ada hubungannya dengan kita. Sinetron-sinetron picisan yang gak jelas ujung pangkal dan juntrungannya. Seolah mereka hadir hanya untuk ‘mengisi’ kekosongan dalam hidup kita. Membuat kita ‘melakukan sesuatu’ daripada tidak melakukan apa-apa sama sekali. Membuat kita merasa ‘ada yang ditunggu’ kelanjutan ceritanya keesokan hari.

Thanks to Teteh, aku jadi punya banyak waktu luang sebulan belakangan ini. Kadang malah sampai bosan hidup bagai pengangguran. Coba mencari-cari  kesibukan yang bermanfaat dan bermakna untuk mengisi hidup. Jadi berpikir banyak tentang teman-teman yang ada di sekelilingku. Susah juga mencari teman yang cocok dan enak diajak ngobrol di lingkungan ibu-ibu yang heterogen. Perbedaan usia, tingkat pendidikan, minat dan hobi sering menjadi kesenjangan dalam berkomunikasi. Aku belum bertemu orang yang cukup ‘dalam’ dan berwawasan yang bisa memberi penyegaran ketika mengobrol. Ordinary mom is always complaining about everything.

29 Apr 2007 Apalah Arti Sebuah Nama
 |  Category: My Self, Refleksi  | 2 Comments

Tuesday, February 21, 2006, 11.07

Dalam perbincangan ibu-ibu, nama pribadi seringkali menjadi sesuatu yang tidak penting lagi diketahui. Seolah-olah nama seorang wanita serta-merta lenyap saat harus bersanding dengan seorang pria. Ia segera dipanggil sebagai Ibu A, Ibu B, atau Ibu C saat menikah dengan laki-laki A, B, atau C. Segera setelah anak-anak lahir, tercipta pulalah nama-nama alias baru sang ibu. Aku misalnya, tidak lagi dikenal sebagai seorang perempuan bernama Nurul, tetapi lebih dikenal orang sebagai Mama Alfath, Mama Aslam, atau nama-nama anakku berikutnya yang insya Allah akan terlahir kemudian. 

Belum begitu lama ini aku menanyakan nama seorang ibu, dan aku terkejut ketika mendapatinya seolah enggan menyebutkan nama aslinya dan hanya minta dipanggil sesuai nama anaknya. Hey, what’s going on here? Apa memang begitu yang seharusnya? Sampai saat cerita ini kutuliskan, entah sudah berapa puluh kali aku bertemu dan berbincang dengan ibu Anu yang tersebut di atas. Sayangnya hingga saat ini pun, aku masih belum mengetahui sepotong pun nama aslinya.

16 Apr 2007 Life Seeking (4)
 |  Category: Refleksi  | Leave a Comment

Pusing juga sehabis menyortir dan membereskan mainan Alfath. Sebagian besar terdiri dari bagian kecil yang terberai-berai seolah sudah tak ada harga dan gunanya lagi. Padahal dulu mainan itu diperoleh dengan harga belasan atau bahkan puluhan ribu rupiah. Disayangi dan dianggap penting sehingga ia menangisinya ketika salah satu bagian mainan itu hilang, rusak, atau tercecer.  Tapi sesudah lewat masanya, mainan itu dilupakannya begitu saja dan tidak dipedulikannya sama sekali.

 

Bukankah hal yang sama juga terjadi dalam kehidupan kita? Betapa banyaknya perkara yang semula kita anggap penting ternyata adalah sesuatu yang remeh belaka ketika sudah lewat masanya. Aku begitu memusingkan rankingku saat sekolah dulu. Tapi kini, di antara pergaulan ibu-ibu, apakah ada bedanya antara sang juara kelas dan the mediocre?

 

Bisa jadi pola didik ibu yang dulu prestasi sekolahnya biasa-biasa saja lebih bagus karena ia lebih sabar dan tidak terlalu menuntut apapun dari anaknya.

 

Kembali ke topik asal: begitu banyak hal yang remeh temeh dalam kehidupan ini terlebih dilihat dari perspektif keakhiratan dan hakikat sejati keberadaan kita di dunia ini. Beberapa hari yang lalu aku menyaksikan sebuah acara talkshow yang membahas tentang kecantikan. Dangkal dan meletihkan. Dunia terasa betul bagai sebuah permainan dan senda gurau belaka. Apa yang kita anggap penting saat ini mungkin adalah sesuatu yang tidak ada artinya sama sekali untuk bekal kehidupan nanti.

 

Seorang artis mengungkapkan: untuk perawatan kuku saja dia menghabiskan 175 ribu per dua minggu.  Untuk spa, perawatan tubuh dan rambut kira-kira 500 ribu per dua minggu, itu frekuensi minimal. Kalau diundang ke suatu acara atau ada event besar tertentu perawatannya lain lagi. Belum lagi special treatment seperti suntik botox yang lazim dilakukan oleh ibu-ibu kaya. Paling tidak, menurut artis level menengah itu, ia menghabiskan anggaran kira-kira 5-6 juta sebulan untuk  semua perawatan kecantikan itu. Yang sekarang jadi tren adalah melukis kuku. Kalau perawatannya benar, sekali lukis bisa tahan 2-3 minggu. Setiap 3 hari sekali harus dilapisi ulang oleh cairan pelindung tertentu agar tetap baik dan mengkilap. Agar lebih cantik bisa ditambahkan beberapa pearl atau manik-manik di atasnya. Supaya tidak rusak tentunya tidak dianjurkan makan menggunakan tangan. Wuihh, ribet!!! Gimana air wudhu bisa masuk ya? Mungkin itu gak pernah jadi konsiderasi mereka. Yang penting kan bagaimana supaya terlihat cantik, segar dan senantiasa muda. Muka halus, tubuh langsing dan perut ramping.

 

What a fake !!! 

 

 

Sunday, December 11, 2006, 22.02

13 Apr 2007 Friday, June 24, 2005, 20.05
 |  Category: My Husband, Refleksi  | Leave a Comment

Agak malam Mas pulang akhir-akhir ini. Pasti banyak pekerjaan di kantor. Sebenarnya ini belum terlalu malam juga. Ada banyak orang yang mungkin pulang lebih larut. Jam 10, 12, atau bahkan lebih larut lagi. Sabtu dan Minggu akhirnya jadi kemestian untuk keluar rumah. Untuk melemaskan urat syaraf, meredakan ketegangan atau menghilangkan kejemuan. Toh, buat apa capek-capek mencari uang kalau bukan untuk dinikmati sebagiannya? Hidup lalu berputar ke itu-itu saja. Seperti yang ditulis oleh seorang teman yang mengalami kegelisahan yang merasa bahwa hidup hanya seperti sekedar tarikan antara senang dan sedih atau antara keberhasilan dan kegagalan. Itu juga yang kerap kali kupikirkan belakangan ini sampai kadang pikiran itu terasa begitu menyesakkan dada dan ingin kukeluarkan dengan menangis sekeras-kerasnya. Terpikir bahwa setelah selesai aku mengerjakan pekerjaan ini aku harus kembali mengerjakan hal yang sama keesokan hari dan keesokannya lagi dan keesokannya lagi. Dan begitu seterusnya. Aku seperti kehilangan semangat hidup karena tak tahu apa yang harus kukejar. Kemarin malam aku seperti mendapat sentakan saat membaca surat Ibrahim ayat 19: “Tidakkah kamu perhatikan bahwa sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi dengan haqq…” Tapi sentakan itu rupanya tidak cukup menyemangatiku untuk menjalani hari ini dengan lebih baik. Untuk belajar dengan lebih baik.Ya Allah, sesungguhnya apakah arti haqq keberadaanku di dunia ini?