Cita-citaku yang tak pernah padam adalah aku ingin sekali menjadi penulis dengan karya yang diterbitkan. Aku tak pernah berniat menjadi pedagang seperti yang sementara ini sibuk kulakoni. Aku tak pernah berniat jadi guru seperti yang pernah kujalani beberapa tahun yang lalu. Setelah kucermati benar-benar, aku hanya ingin menjadi penulis.
Sudah sejak lama sekali aku menulis. Mulai dari diary kecil-kecilan sejak SD. Lalu diary berisi roman picisan ketika memasuki saat puber ketika Tsanawiyah (SMP). Lalu diary tentang segala pernak-pernik kehidupan dan pencarian jati diri di SMA. Di SMA juga aku mulai aktif menulis di Sie Penerbitan ROHIS yang menerbitkan bulletin Islam. Seingatku, dulu aku nyaris tak pernah belajar kecuali menyendiri mengutak-atik kata untuk tulisan yang akan diterbitkan sebulan sekali.
Masuk jenjang kuliah pun kurang lebih sama. Aku bergabung menjadi bagian redaksi di sebuah bulletin bernafaskan Islam bernama Filosofia, yang digagas oleh seorang teman yang akhirnya menjadi suamiku sekarang. Bulletin itu dicetak terbatas untuk kalangan mahasiswa UI waktu itu.
Ketika menikah aku sempat vakum menulis diary. Baru ketika memasuki 2004 aku mulai menulis lagi. Kali ini medianya berpindah. Tidak lagi menulis di buku, tapi langsung di komputer.
Aku menemukan bahwa menulis bisa menjadi terapi yang luar biasa efektif bagiku. It’s just like my own little sanctuary. Tempatku berteduh sejenak dari hiruk pikuk dunia yang meletihkan. Kepenatan dan kesusahan dalam hidup bisa mendadak menguap begitu aku terhanyut dalam menulis. Aku bisa terkikik sendiri bak orang sinting atau malah menangis berderai air mata saat menulis.
Tahun 2007 aku mulai terhubung dengan dunia internet. Waktu itu yang tengah marak adalah Friendster. Maka aku mulai mempublish satu persatu tulisanku diblog Friendster. Tak dinyana sambutannya positif. Beberapa teman menyarankan untuk dibukukan. Setiap kali ada yang mengatakan bahwa tulisanku bagus, or at least it means something to them, semangatku untuk membuat buku langsung terbakar. Tapi mungkin aku kurang gigih dan berkeras hati untuk serius mewujudkan itu. Kesibukan dan rutinitas sehari-hari seringkali mengubur mimpi itu.
Tahun 2008 aku akhirnya mengirimkan naskah ke sebuah penerbit yang gencar menerbitkan buku-buku Islam. Tapi responnya nihil. Mungkin naskahku cuma menjadi onggokan kertas di atas meja mereka (atau mungkin malah sudah berakhir di tempat sampah?) Akhirnya mimpi itu terkubur lagi.
Baru-baru ini ada beberapa teman lagi yang menyemangatiku. Mereka mengatakan bahwa mereka adalah pembaca setia tulisanku dan lagi-lagi menyarankan agar aku membukukan tulisanku. Duh, tersanjung rasanya. Tanpa maksud bangga diri dan besar kepala, tapi aku berangan seandainya tulisanku ini diterbitkan dan dibaca oleh lebih banyak orang, mungkin ada yang merasa terinspirasi dengan cerita keseharianku sebagai diri pribadi, wanita, istri dan ibu. As simple as that.
Belakangan aku mulai mensearching tentang percetakan indie. Yang membantu menerbitkan buku secara independen. Tapi sejauh ini belum ada respon jelas. Sebenarnya aku sangat ingin serius menggarap proyek buku ini. Sebelum niat ini kembali redup dan padam. Tapi tampaknya saat ini aku belum bisa berharap banyak. Suamiku punya rencana dan mimpi sendiri yang tak tega kuganggu gugat. Aku pun tenggelam dalam kesibukan mengurus keempat anak kami yang masih kecil. Sebenarnya aku sangat berharap 2010 ini bisa menjadi tahun di mana aku berhasil mewujudkan mimpiku. Hanya Allah tempatku berharap. As a wise man says: “Jangan pernah berhenti berharap! Mimpi hari ini adalah kenyataan esok hari…”
Tuesday, January 05, 2010, 04.05
mb Nur…coba hubungi penerbit Kalamedina Surabaya (ada di google). Mrk sedang berburu buku2 motivasi diri, parenting… Insya Allah buku curhatku juga bakal diterbitkan oleh penerbit ini. Have a go!
Coba juga ke Andrei Budiman mbak, penulis Travellous (ada di Facebook). Setau saya dia menerbitkan bukunya sendiri dan sukses. Siapa tau bisa pake penerbitan dia mbak.
aminnnnnnnn
smngt mbk