Tepat pukul 1 dinihari saat aku menulis catatan ini. Badan lumayan segar, setelah tidur selama beberapa jam tadi. Mumpung ada ide, tak apalah bilasan kutinggal sebentar. Sebelum idenya mabur entah ke mana.
Sebelum Maghrib tadi aku menelpon Mas. Berharap ia tak berlama-lama di kantor karena badanku tak kuat lagi. Lelah. Akumulasi dari kekurangan tidur sejak kemarin. Nuri bangun tiap ditaro tapi tertidur pulas bila digendong. Barusan menangis kejer saat kutinggal Ashar sebentar saja. Ashar di penghujung waktu. Telfonku tak terjawab. Ternyata semenit kemudian mobilnya tiba di depan pagar.
Aku langsung ‘menyerahterimakan’ Nuri ke gendongannya. Baru teringat bahwa aku belum makan. Padahal tangki perlu diisi karena aku harus memberi ASI.. Sambil memaksa mata terus terbuka, aku menyuapi anak-anak makan malam setelah sebelumnya agak memaksa mereka bangun. Jadwal tidur mereka kacau karena susah menyuruh mereka untuk tidur siang. Akhirnya mereka tidur sore karena kelelahan.
Sekitar setengah tujuh aku pergi ke pulau kasur. Toh, ada bapaknya anak-anak yang bersedia stand-by. Jam sembilan aku baru bangun. Mata masih terbuka setengah. Belum poll rasanya. Tapi aku tahu Mas sudah kelelahan. Nuri ditaro dan langsung beranjak ke atas ke ruang kerjanya. Jam dinasnya usai. Sekarang giliranku. Sudah waktunya aku bangun. Sebenarnya kasihan juga dia. Setelah lelah di kantor seharian, pulang-pulang masih harus menjalankan ‘peran domestik’. Tapi kan memang seharusnya begitu. Saling bahu-membahu satu sama lain. Lantas aku menambah tidur 1 jam lagi sebelum benar-benar merasa segar, sambil mengeloni Nuri yang tertidur di sampingku.
Berputar-putar saja ceritaku. Sebenarnya yang ingin aku tekankan adalah, aku bersyukur punya suami yang begitu baik yang bersedia ringan tangan membantu tugas istrinya. Tak peduli sehebat apapun jabatan seorang lelaki di luar sana, ia haruslah dinilai dari bagaimana cara ia memperlakukan keluarganya. Istri dan anak-anaknya. Banyak lelaki yang kelihatannya hebat, tapi tak tahu bagaimana cara mengenakkan istrinya. Boro-boro membantu, memuji saja irit. Lebih parah lagi yang mentally abusive, menggerogoti mental istri dengan celaan dan cemoohan yang menjatuhkan harga diri. Mungkin suami macam itu lupa betapa beratnya tugas sebagai seorang istri sekaligus ibu. Bukannya membantu, justru membebani pikiran dan perasaannya. Ini bukan soal KDRT. Sudah parah kalau suami memperlakukan istri kasar secara fisik.
Alhamdulillah, beratnya tugasku diperingan oleh kesediaan suamiku untuk membantu.
Kata Nabi SAW: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya. Dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.”
God bless you, Mas…
Saturday, November 21, 2009, 01.00