Tak terasa, hampir 2,5 tahun kami bermukim di Kota Pahlawan ini. Kota yang terkenal dengan hawa panasnya yang menyengat. Sejauh ini, kami sekeluarga cukup merasa betah dan nyaman berada di sini. Meskipun nyaris tidak ada sanak saudara yang mendampingi, dan ada kerinduan pada kampung halaman yang sesekali menyelinap di hati.
Honestly, I can’t say that I love Surabaya more than Jakarta. Jakarta, sebagai kampung halamanku, pastinya punya tempat tersendiri yang istimewa di hatiku. Jakarta dengan segala kesibukan dan hiruk-pikuk kehidupannya yang sangat metropolis itu. Jakarta yang tak pernah absen dari kemacetan. Jakarta yang langganan banjir di beberapa tempat bila musim penghujan tiba. Jakarta yang diklaim sebagai tempat yang paling enak dan gampang buat cari duit.
But I can’t complain also about Surabaya. Surabaya adalah kota besar juga sehingga boleh dikata hampir semua yang ada di Jakarta, pasti ada pula di Surabaya. Dalam segi fasilitas, Surabaya tidak kalah dibanding Jakarta. Ditambah nilai plus bahwa, di Surabaya jarang kutemui kemacetan seperti yang lazim ada di Jakarta. Di Surabaya, biaya tol, bensin, dan parkir dapat kami tekan dengan jumlah yang signifikan di banding di Jakarta. Setelah, kupikir-pikir, kualitas hidup kami pun lebih baik dibanding waktu tinggal di Jakarta.
Bagi sebagian orang, hidup di Jakarta bisa berarti tua di jalan. Karena sedimikian banyaknya waktu yang dihabiskan sehari-hari untuk pergi dari rumah ke tempat kerja. Suamiku sempat mengalaminya. Waktu itu sempat selama hampir 6 bulan Mas harus pulang pergi Depok-Cikarang yang memakan waktu tempuh 2-2,5 jam sekali jalan. Berarti kira-kira 5 jam dalam sehari waktu yang dihabiskan di jalan menuju tempat kerja. Pergi pada 5.30 pagi dan baru kembali ke rumah paling cepat pukul 8 malam. Itu pun jarang, yang sering adalah pukul 9 ke atas. Dengan jadwal seperti itu, apa yang bisa diharapkan dari intensitas pertemuan dengan anak? Bahkan mencari waktu pun susah. Harus pergi begitu pagi, dan kembali ke rumah begitu larut. Pergi ketika anak masih terpejam dan kembali saat anak sudah tertidur pulas. Aku rasa, bukan kualitas hidup seperti itu yang kami inginkan. Hidup memang harus bekerja, tapi hidup (harusnya) ga melulu tentang kerja. Anak memang butuh uang, tapi tak hanya uang. Anak juga butuh waktu, perhatian, dan kasih sayang.
Sekarang di Surabaya ini, waktu tempuh suamiku ke kantor hanya 15 menit. Dia biasanya pergi jam 7 pagi dan kembali ke rumah sehabis Sholat Maghrib di kantor. Kadang memang lebih lama, tergantung kesibukan kerjanya. Tapi kadang juga lebih cepat. Tapi secara umum, kualitas dan kuantitas waktu pertemuan dengan anak jauh lebih baik. Karena stamina tubuh tidak terkuras di jalan, di rumah masih merasa segar untuk bermain dengan anak-anak. Sungguh membahagiakan melihat anak-anak bercanda suka ria di tempat tidur bersama ayahnya. Sebuah kebahagian masa kecil yang tak terbeli dan takkan pernah kembali.