Ketika seorang teman mengatakan bahwa ia telah membuat rencana pribadi bagi dirinya untuk 10 tahun ke depan, aku lalu bertanya-tanya sendiri rencana pribadi yang bagaimana yang kuinginkan untuk diriku sendiri.
Pernah juga seorang teman menanyakan apakah aku masih berkeinginan untuk kuliah lagi. Dan kujawab bahwa sampai saat ini belum tercetus keinginan untuk itu. Keadaan sekarang memang belum memungkinkan untuk itu. Aku mempunyai anak yang masih kecil-kecil. Tapi andaipun mereka sudah agak besar, aku juga tidak dapat memikirkan ide lain -setidaknya sampai saat ini- kecuali bahwa kemungkinan aku akan menambah anak lagi sampai usia produktifku usai. Let say 40 years may be. So, college may be out of option. Tapi alasan terutama bukan itu. Bukan karena aku saklek terlampau antusias menambah jumlah anak. Aku hanya belum menemukan minat pada suatu bidang yang begitu kuat yang bisa menarikku kembali ke bangku sekolah.
My passion is in writing. Personal writing. Dan rasanya aku tak perlu terdaftar dalam kelas jurnalistik manapun untuk sekedar mampu menuangkan isi kepala dan hatiku. Just write what I want to write.
Sampai saat ini belum terpikir mau dan akan mengikuti kelas-kelas informal yang dapat menambah skill tapi bukan menjadi minatku, seperti kursus memasak, membuat kue, atau menjahit. Mungkin suatu saat kelak. Tapi lagi-lagi aku tak punya timeline untuk itu.
Sebenarnya aku dalam posisi yang nyaman sekali untuk memulai suatu rencana yang besar. Insya Allah anak keempatku akan lahir ketika usiaku belum lagi menginjak 29. Aku rasa belum terlambat untuk memulai merintis mimpi ketika usiaku memasuki 30. Empat adalah jumlah yang cukup untuk menyemarakkan suasana rumah. Just stop right there. Focusing only on raising them, tanpa menambah anak lagi, dan mulai meluangkan waktu untuk pengembangan pribadiku. Lagipun rasanya suamiku sangat supportif untuk mendukung apapun rencanaku baik secara mental maupun finansial. Tapi lagi-lagi, sampai saat ini aku tidak terpikirkan hal lain selain berada bersama anak-anak. Dan pelajaran tentang bagaimana mendampingi anak-anak dengan baik adalah pelajaran yang bisa didapat secara informal dari sumber manapun dan melalui pengalaman pribadi sehari-hari.
Modal paling penting untuk mendampingi anak-anak adalah kesabaran. Andai ada sekolah sabar, aku pasti ingin terdaftar ke dalam situ. Karena yang kuinginkan adalah aku bisa lebih sabar menghadapi dan melayani anak-anakku. Memperlakukan mereka selayaknya harta yang paling berharga dalam hidupku. Tapi masalahnya, sabar tidak ada sekolahnya. Kecuali mungkin ada teorinya dalam acara rohani atau pengajian yang kita ikuti. Tapi sabar adalah sesuatu yang harus dijalani secara nyata dalam penggemblengan hidup sehari-sehari.
Jadi sampai saat ini belum ada kesimpulan tentang kemana sebenarnya arah rencana hidupku (personal life plan). I just go with the flow. Menjalani hariku sebegini adanya. Berusaha memupuk dan menambah kesabaran setiap hari. Sometimes I succeed, sometimes I failed. Jatuh bangun dalam perjuangan itu setiap hari.
Mungkin peranku di luar tidak banyak. Sumbanganku ke masyarakat tidak nyata. Tapi setidaknya kehadiranku besar bagi anak-anakku sendiri. Barangkali melalui peranku sebagai ibu anakku kelak bisa memberi kontribusi peran yang lebih nyata ke dunia luar. Semoga.
Kemarin pagi baru saja kudengar Oprah berkata. Ada banyak orang-orang besar yang namanya tercantum dalam sejarah. Tapi ada lebih banyak lagi orang besar dengan peran besar yang namanya bahkan tak tercantum dalam buku sejarah manapun. Aku ingin termasuk ke dalam situ.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa memberi sedikit arti bagi sejarah keberadaanku.
Saturday, July 04, 2009, 00.48
aku juga suka banget oprah kalau sudah bicara tema ini. Aku juga nulis rencana-rencana dalam hidupku. Bagaimanapun harapan harus tetap menyala kan…Bagiku sebagian kecil “wish” telah tercapai sebagian besar masih mimpi hehe…
Mba aku juga bingung kalau ditanya tentang rencana hidup,apalagi orang-orang disekitarku selalu bertanya-tanya ‘sudah masukin lamaran kerja belum kesana?’ atau ‘kapan mau kuliah lagi?kan masih muda’ , maklum usia ku baru menginjak 23th.
Tapi yang menjadi kendala suamiku tidak mengizinkan aku untuk bekerja,karena menurutnya mengurus anak-anakku di rumah saja sudah sangat merepotkan,anakku sudah 2.
Usia 2th & 2bln.
Akupun sangat ingin selalu bersama ke2 buah hatiku,tiap detik,menit,jam & hari..aku merasa sangat bahagia mengurusi rumah,suami & anak-anak.
Jadi aku tidak punya rencana apa-apa untuk diriku,tapi aku punya banyak rencana untuk keluarga kecilku.
hm…tyt ada teman senasib… 🙂
semoga kita termasuk di dalamnya ya mbak…
tetap semangat…
Menurutku yang terpenting adalah, apapun keputusan yang diambil, jangan ada rasa terpaksa dalam menjalaninya. Misalnya memutuskan jadi ibu rumah tangga, itu haruslah suatu pilihan sadar tanpa keterpaksaan, misal ikut kata suami, sami’na wa atho’na maka aku harus turut apa kata suamiku. Bila tak dapat menerima sepenuhnya keadaan yang ada sekarang, misal: berada di rumah saja, maka yang jadi korban/sasaran dari slow-burn anger adalah anak-anak juga.
Ada memang wanita yang cocok berada di rumah saja, yang sangat menikmati keberadaan bersama anak-anak. Tapi ada juga yang nalurinya memang untuk bekerja di luar. Misalnya temanku yang pernah curhat padaku kalau ia hanya marah-marah kalau berada di rumah saja. Suntuk katanya. Kita ga bisa pukul rata satu solusi untuk semua kasus. Apa ibu yang di rumah saja lebih baik dari yang bekerja di luar? Belum tentu. Apa ibu yang bekerja di luar lebih baik dari yang di rumah saja? Kita juga ga bisa bilang demikian. Yang terpenting adalah komunikasi, connectedness alias keterhubungan. Jadi saran saya, apapun pilhan Rosa, itu haruslah pilihan sadar yang sudah diperhitungkan baik buruknya.