Ada pepatah mengatakan: “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.” Tepat sekali. Siapa yang tahu apa yang ada di dalam hati manusia. Manusia itu makhluk yang complicated. Rumit. Tak tertebak. Terlalu banyak faktor yang mempengaruhi pilihan manusia atas suatu keputusan tertentu.
Contohnya pilihan hidup yang dipilih suamiku. Dulu ia sempat bilang tak akan melangkah lebih jauh tanpa izinku. Walaupun izin bukanlah syarat sah perkara itu. Tentu saja ada pergulatan batin yang sengit dalam diriku. Walaupun kebanyakan orang menyatakan keheranan atas pilihanku, tapi aku punya alasan sendiri. Bila aku tak mengizinkan, apa lantas hidupku jadi lebih tenang? Belum tentu. Mungkin saja pikiranku dipenuhi prasangka macam-macam ini itu. Bagaimana mereka di belakangku. Bagaimana kedudukanku sebenarnya di hatinya. Bagaimana perasaan suami saat aku menolak menerima petunjuk yang diterimanya. Aku membayangkan serangkaian what if dari sekian banyak kemungkinan pilihan. What if I chose this one instead of that one?
Akhirnya aku memutuskan untuk mengambil posisi yang jelas bagi diriku. Setidaknya aku berproses untuk menerima dengan lapang karena semuanya terbuka dan atas seizinku. Aku belajar menerima dan merasa puas dengan apa yang memang jadi bagianku. Aku fokus dengan apa yang menjadi bagianku. Aku fokus dengan apa yang memang kumiliki. Ketimbang gamang dan terombang-ambing dalam ketidakjelasan status. Terjebak dalam prasangka dan ilusi liar yang kuciptakan sendiri.
Ketentuan Allah, tak ada yang dapat menolak. Justru aku mengharapkan banyak keberkahan karena taat pada ketentuan Allah. Sehingga bagaimanapun pandangan orang di luar sana, aku tetap merasakan kebahagiaan di dalam sini.