Sabtu adalah hari terakhir kebersamaanku dengan suami dalam seminggu. Besok jadwalnya berpindah rumah.
Saat asik berselancar di sosial media, aku menemukan foto suamiku dengan istrinya yang bukan diriku. Itu bukan foto pertama, tapi sepertinya pertahanan diriku sedang lemah saat itu.
Kejadian selanjutnya bisa ditebak, aku menangis berjam-jam bahkan hingga malam harinya. Mataku sampai bengul, tulang rahangku sakit dan kepalaku pusing bukan kepalang. Aku berkali-kali bilang ingin lari dari pernikahan ini. Aku ingin menyudahi semua kepedihan ini.
Aku sempat mengirim pesan pribadi ke maduku, mengatakan bahwa aku memang mengizinkan dia menikah dengan suamiku tapi tolong bertenggang rasa tak perlu memamerkan kemesraan karena aku sesungguhnya juga sakit.
Suamiku hanya bereaksi dengan mengelus-elusku, memijitiku. Dia paham, tiada kata yang bisa meredakan kepedihan ini. Aku bilang padanya jangan pernah lagi foto berdua dengan mesra karena itu hanya akan menyakitiku. Aku juga berencana menutup albumku dengannya.
Ahadnya aku masih berat saat suamiku harus pergi. Keesokan Seninnya pun aku masih berat. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain banyak-banyak berdoa agar Allah melapangkan dadaku.
Tiba-tiba aku diberi keinginan untuk menulis di blog setelah maduku meresponku di WAG kami bertiga walaupun tak tuntas. Aku tuangkan semua yang ada di kepala dan hatiku. Alhamdulillah setelah menulis tiba-tiba hatiku plong sekali. Allah yang Maha Pembolak-balik hati telah memberiku ketenangan.
Aku berusaha mendudukkan persoalan pada porsinya. Asal muasal masalah adalah aku menjadi marah karena melihat, maka sekarang aku tak mau lagi melihat. Sebagai istri sebenarnya aku paham dia berhak melakukan itu. Jadi daripada meminta pihak lain untuk ‘bermurah hati’ tidak melakukan sesuatu yang kupandang menyakiti, lebih baik membentengi hati sendiri dengan tidak melihat ke luar pagar.
Juga opsi lain agar aku tidak berfoto lagi dengan suami akhirnya kunilai sebagai pilihan yang bodoh. Buat apa mengorbankan kebiasaan kami hanya demi orang lain. Aku bisa membuat pagar agar halaman rumahku juga tidak dilihat orang luar.
I choose my own battle. Ajaibnya, setelah memutuskan demikian, serasa ada beban berton-ton yang diangkat dari dadaku. Mungkin sebelumnya ada terselip niat memanas-manasi agar membuat cemburu. Sehingga setelah itu hilang, dadaku jadi ringan. Aku seperti kembali pada masa sebelum berpoligami saat aku bisa posting sesukaku tanpa berniat ini itu. Hanya ingin menyimpan kenangan indah bersama keluarga.
Aku juga jadi mengerti bahwa tidak bijaksana membatasi kebahagiaan orang lain hanya karena aku merasa berat. Biarlah dia bahagia dengan caranya. Toh, aku sudah jauh lebih lama merasakan kebahagiaan itu.
What doesn’t kill you makes you stronger. Terima kasih ya atas gesekan-gesekan ini yang sejatinya menjadikan hatiku lebih kuat. Mudah-mudahan semua jadi bisa didudukkan sesuai porsi masing-masing. Yaitu suami bisa berlaku adil dan berkasih sayang yang sama pada kedua istrinya.
Kebahagiaan orang lain itu sejatinya tidak mengurangi kebahagianmu kok bila hatimu bersih. Tak usah lihat kiri kanan, fokus saja pada kebahagiaanmu sendiri. Kamu punya banyak hal yang harus disyukuri.
Selasa, 18 Januari 2022. Finished 13.23.