Kapan usia tepat anak mulai sekolah? Aku tak akan menulis tentang segala teori pendidikan yang rumit, yang jujur saja, memang tak begitu kukuasai. Hanya ingin menulis berdasarkan pengalaman yang kualami dan amati sendiri.
Anak pertamaku Alfath mulai menjajal sekolah ketika usianya 2,5 tahun. Kebetulan ada sebuah Play Group kecil yang baru berdiri tak jauh dari rumah kami. Mungkin karena baru, uang pendaftarannya pun teramat murah. Hanya 10 ribu kalau tak salah. Dan dengan iuran 15 ribu untuk 3 kali jadwal masuk seminggu.
Awal masuk anakku tampak tak terlalu antusias. Setelah beberapa kali masuk pun tampaknya dia belum terlalu berbaur dengan teman sebayanya. Kalau anak-anak yang lain bisa dengan tertib mengikuti gerakan senam sebelum jam masuk kelas dimulai, ia lebih memilih main papan seluncur mini yang ada di sekolah. Tidak, ia bukannya tak mengerti apa suruhan, perintah dan omongan gurunya. Ia anak yang cerdas. Lancar berbicara apa saja ketika berumur 20 bulan dan dengan sukses membuatku terharu kala dengan setengah berteriak mengatakan: “I love you, Bunda….” seraya melambaikan tangan padaku yang akan berangkat mengajar. Waktu itu umurnya sekitar 27 bulan.
Seingatku ia kerapkali merasa terpaksa tiap kali sekolah. Tentu saja ini tak bisa dipukul rata. Karena dari beberapa cerita orang tua ada juga anak mereka yang bahkan menanyakan kapan harus sekolah lagi ketika hari libur tiba. Kurasa anakku tidak termasuk tipe yang itu.
Puncaknya adalah setelah libur agak panjang setelah Hari Raya Idul Fithri. Anakku tambah enggan dan mogok sekolah. Ia suka ngambek tanpa alasan yang jelas. Kertas tugas yang disodorkan Bu Guru dikuwel-kuwel dan dicampakkannya dengan kasar.
Akhirnya aku dan ayahnya memutuskan untuk tidak memaksanya sekolah lagi. Pun tak lama kemudian, kami memang akan pindah rumah.
Di rumah baru selalu kutanya: “Alfath, mau sekolah lagi, nggak?” Yang selalu dijawabnya dengan ‘tidak’.
Umur 4 kurang sedikit ia kudaftarkan ke TPA di masjid komplek perumahan. Kebetulan ada anak tetangga yang lebih dulu masuk. Ada cerita sedikit mengenai anak tetangga ini. Ia lebih kecil dari Alfath. Selisih 2 tahun kira-kira. Mulai mengaji TPA ketika usianya 2,5 kurang. Yang aku tahu kemudian adalah anak ini setelah sekian bulan tak beranjak dari Iqro’ 1 halaman 2. Hampir seluruh catatan di kartu prestasi mengajinya tertulis ‘ULANG’. Mengapa demikian? Karena tiap mengaji ia belum bisa konsentrasi dan selalu tengok kiri kanan. Apakah anak ini bodoh? Kurasa gadis kecil itu tidak bodoh. Hanya umurnya saja belum memungkinnya untuk bisa berkonsentrasi mengaji dengan tekun. Rentang perhatiannya masih pendek.
Awal mengaji memang Alfath berteriak-teriak dan menangis histeris. Mungkin ia belum terbiasa dan belum merasa aman dan nyaman dengan lingkungan barunya. Tapi tak lama perkembangannya terlihat nyata. Maju sedikit demi sedikit dengan meyakinkan. Pelan tapi pasti.
Usia 4,5 kami daftarkan di TK Islam dekat rumah untuk tingkat TK A. Sekolahnya ini punya kebijakan ketat berkenaan kehadiran orang tua menemani anak di sekolah. Anak hanya boleh didampingi orang tua paling lama 1 minggu dalam masa adaptasi. Hari pertama tentu saja hampir semua orangtua menemani anaknya sampai kelas usai. Hari kedua orangtua sudah diminta pulang atau menunggu di luar sekolah. Kebetulan sekolahnya menempati lahan yang sempit dan terbatas. Hanya seukuran rumah.
Anakku termasuk yang merasa berat berpisah dengan ibunya dan menuntut agar aku selalu tampak di matanya. Ia menjerit hebat -dan parahnya disertai dengan mengata-ngatai guru- kala aku ‘dipaksa’ atau diminta dengan sangat oleh Bu Guru untuk menunggu di luar sekolah. “Biar saja Bu, biar kami yang tangani. Sudah biasa anak begini. Masa penyesuaian. Harus dididik untuk berani.” Demikian kira-kira ucapan Bu Guru. Memang benar. Tak lama ia jadi berani dan telah merasa nyaman dengan kelas dan teman-temannya.
Prestasi belajarnya termasuk papan tengah. Di sekolah ini, untuk tingkatan TK A belum diajari tulis baca, hanya sekedar pengenalan huruf. Persis seperti yang kami inginkan. Sekolah yang tidak memburu-buru anak dengan calistung. Karena toh, masih ada kesempatan lagi untuk belajar membaca di TK B.
Sayangnya, setelah satu semester dijalani, kami harus pindah rumah lagi mengikuti kepindahan tugas ayahnya ke Surabaya. Lagi-lagi Alfath kami daftarkan ke TK di sekitar rumah saja. Dibanding sekolah lama, rasanya TK yang ini kunilai lebih santai. Hampir tiap minggu ada jam pelajaran yang terpotong karena ada perayaan ulang tahun anak-anak di sekolah. Rasanya sudah tradisi anak-anak merayakan ulang tahun di sekolah. Meskipun acaranya biasanya hanya untuk teman sekelas. Dalam hal hafalan doa-doa dan surat-surat pendek, sekolah ini agak jauh tertinggal dibanding sekolah Alfath yang lama. Tapi ternyata, walau tampak santai, banyak juga pelajaran yang didapat di sekolah ini. Ini kuketahui setelah pada waktu pembagian ijazah dibagikan buku tugas yang selama ini dikerjakan di sekolah.
Up to this point, ketika lulus TK, Alfath sudah bisa membaca walaupun belum lancar benar. Ia masuk SD usia 6,5 tahun. Umur yang cukup matang dan pas untuk duduk di Sekolah Dasar. Ini terbukti kurasakan benar pada anakku. Tak lama, ia dapat membaca dengan lancar. Hampir tidak mengalami kesuliatan berarti dalam tiap mata pelajaran. Aku pun tidak begitu susah payah mengajarinya. Terakhir, ini yang memicuku untuk menulis ini, nilainya cemerlang dalam Ujian Akhir Semester Ganjil. Minimal dapat 88, yang lain di atas 90. Padahal aku merasa hanya menemaninya belajar seadanya saja. He’s far beyond my expectation. Alhamdulillah…
Alhamdulillah, semoga Eisha bisa mengikuti jejaknya Alfath yaa..
jadi anak pinter